Tugumalang.id – Bumi sedang tidak baik-baik saja, tapi mungkin manusia tidak terlalu merasakan karena tidak peka terhadap perubahan yang terjadi di sekitar mereka. Termasuk saya. Sejauh ini saya merasa lingkungan di sekitar saya tidak mengalami banyak perubahan.
Padahal, apabila dilakukan penelusuran, ada banyak sekali isu lingkungan di Malang Raya. Mulai dari kekeringan, pengelolaan sampah yang tidak tepat, banjir dan tanah longsor, deforestasi, hingga konflik agraria yang sampai saat ini masih berlangsung. Ini belum termasuk potensi kerusakan alam yang akan timbul akibat pembangunan.
Apabila wartawan seperti saya saja tidak peka dengan isu-isu lingkungan seperti ini, bagaimana dengan masyarakat biasa?
Baca Juga: Kuliah Perdana D4 Bisnis Properti Vokasi UMM, Praktik Langsung di Lapangan
Saya beruntung menjadi salah satu dari 20 peserta pelatihan Green Growth Journalism Batch 1 yang diselenggarakan oleh Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) bersama dengan BBC Media Action. Melalui pelatihan tersebut, saya menjadi lebih tahu bahwa ada banyak sekali isu lingkungan yang bisa saya angkat.
Pelatihan Green Growth Journalism dilakukan di Yogyakarta pada 11-13 September 2023 lalu. Di sana saya bertemu dengan 19 jurnalis yang peduli dengan isu lingkungan dari Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.
Selama tiga hari, kami mendapatkan berbagai materi tentang peliputan isu lingkungan. Materi disampaikan oleh jurnalis senior yang sudah makan asam garam dalam peliputan isu lingkungan seperi Wenseslaus Manggut, Anastasya Andriarti, dan I Nengah Muliarta. Tak ketinggalan, Dosen Fakultas Kehutanan UGM, Oka Karyanto juga turut membagikan ilmu serta pengalamannya kepada kami.
Baca Juga: Kekeringan Melanda Malang Selatan, H Puguh Wiji Pamungkas Gagas 1 RT 1 Sumur
Di dalam pelatihan ini, saya disadarkan bahwa kebanyakan media hanya memberikan informasi tentang peristiwa yang berkaitan dengan lingkungan, tetapi tidak menggali lebih dalam apa akar permasalahan dari isu tersebut.
“Banyak wartawan yang menulis berita saat terjadi kekeringan, tapi bagaimana supaya tidak kekeringan itu jarang didapatkan dari narasumber (sehingga tidak ditulis),” kata Wenseslaus Manggut.
Ini seperti yang selama ini saya lakukan. Saya beberapa kali menulis tentang isu lingkungan, namun hanya berhenti di ‘permukaan’ saja. Saya tidak menyelami lebih dalam dan menulis lebih banyak tentang isu saya tulis.
Di dalam sesinya, Wenseslaus Manggut juga menyampaikan bahwa media harus menjadi pencipta gelombang dan bukannya penumpang gelombang, khususnya di isu lingkungan. Jangan sampai wartawan hanya mengikuti apa yang sedang viral tapi mengabaikan isu yang lebih penting hanya untuk mengejar jumlah klik.
“Akhirnya media terseret menulis sesuatu yang disukai, bukan yang dibutuhkan,” kata pria yang akrab disapa Wens ini.
Sesi lainnya yang diisi oleh Anastasya Andriarti mengajarkan kami bahwa penulisan berita lingkungan tak melulu harus berdasarkan wawancara. Berita bisa ditulis dengan menggunakan riset dan data. Kami juga diberikan referensi data-data terbuka yang bisa diakses siapa saja untuk menjadi dasar liputan isu lingkungan.
“Data terbuka bisa dijadikan data utama dalam penulisan berita. Ini tidak ada wawancara sama sekali,” kata Anas sembari menunjukkan salah satu berita Harian Kompas yang hanya menggunakan riset dan data.
Pelatihan ini juga menyadarkan saya bahwa ada banyak isu lingkungan yang bisa dikaitkan dengan topik lainnya seperti bisnis dan gaya hidup. Mengaitkan topik lain dengan isu lingkungan justru akan lebih mudah menarik perhatian pembaca, khususnya kalangan anak muda.
Usai pelatihan, kami diminta membuat daftar berita yang ditulis setiap harinya. Dari daftar tersebut kami bisa mengetahui seberapa banyak proporsi berita lingkungan yang ditulis dibandingkan dengan topik lainnya.
Sepuluh hari setelah pelatihan berakhir saya baru menulis tiga berita yang berkaitan dengan lingkungan. Saya rasa ini peningkatkan dibandingkan sebelum pelatihan, tapi tentunya belum maksimal.
Meski belum meliput banyak berita lingkungan, namun sepulang dari Yogyakarta saya jadi lebih banyak melihat permasalahan apa yang sekiranya bisa saya angkat. Jika awalnya saya menganggap isu lingkungan tak begitu banyak di Malang Raya, kini saya melihat lebih banyak kesempatan, potensi, dan narasumber yang bisa saya wawancara terkait isu lingkungan.
Misalnya, seperti keberagaman satwa di hutan-hutan yang ada di Kabupaten Malang, limbah yang dihasilkan pabrik-pabrik, pengembangan pariwisata yang mengorbankan hutan, dan sebagainya.
Reporter: Aisyah Nawangsari Putri
Editor: Herlianto. A