Lebaran Idul Fitri 1443 Hijriah tahun ini mungkin istimewa. bagi saya dan juga Anda. yang selama berapa tahun tidak mudik, kali ini bisa pulang kampung. kumpul keluarga di momen lebaran.
Saya yakin banyak pelajaran yang bisa dipetik. di momentum ramadan hingga lebaran tahun ini. baik bagi yang mudik atau yang tidak.
Pertama, saya ingin ucapkan selamat lebaran. saya memohon maaf lahir dan batin. kepada guru, kolega, mitra, dan pembaca sekalian. guru saya sebut pertama, karena beliau-beliaulah yang besar jasanya.
Momentum lebaran setiap tahun, seolah jadi gerbang maaf. memberi maaf adalah sifat Allah SWT. maka siapa yang senang memberi maaf, berarti mengamalkan sifat Tuhan. dan memberi maaf lebih utama dari pada meminta maaf. begitu yang disampaikan imam salat ied di kampung saya saat khutbah.
“Saya memberi maaf kepada semua santri saya, yang belum sempat meminta maaf kepada saya,” kata khatib menyampaikan pesan ulama kharismatik Madura, almaghfurlah K.H. Idris Jauhari. khatib menyampaikan pesan, bahwa ulama sekaligus guru besar Al-Amien Prenduan tersebut bisa menjadi contoh. mengamalkan sifat memberi maaf.
Itu mungkin akan berarti begini. setiap orang tentu bisa salah. tapi kita tidak seharusnya terus mengecap orang yang bersalah. kerelaan hati untuk memaafkan adalah sifat terpuji.
Memberi maaf juga dicontohkan Gus Dur kepada Amien Rais. kita bisa cek saat Andy Noya mewawancara Gus Dur dalam program Kick Andy. begitu gampang Gus Dur memaafkan lawan politiknya, yang disebut-sebut bertanggungjawab menggulingkannya.
“Maafkan, lupa sih enggak,” kata Presiden RI ke-4 itu.
Kedua, momen lebaran mengingatkan saya pada masa lalu. baik yang pahit, atau yang menantang. apa itu? yaitu berjanji pada diri sendiri. untuk melakukan tindakan baik.
Kebetulan lebaran kali ini saya bisa mudik bawa mobil. nenek saya -adik nenek dari ibu- langsung minta diantar ke Surabaya sehabis hari lebaran. menepati nazarnya, ziarah ke makam Sunan Ampel. saat itu saya langsung flashback.
Tambah terkejut lagi, nenek saya -dari ibu- minta diantarkan ziarah ke Asta Tinggi. makam para sepuh Sumenep. nenek punya nazar ziarah kesana. saya jadi ingat dulu sering bernazar.
Al-Amien Prenduan, saya ingat betul. jadi medan awal saya bernazar. saya tidak ingat, apakah sebelum mondok disana, pernah bernazar. nazar bagi saya, janji kepada Allah SWT atas kemenangan, atau melewati rintangan.
Sebagai santri, waktu itu nazar yang bisa dan gampang dilakukan, ya puasa. di kelas yang sangat kompetitif, saya berusaha mendapat rangking. tapi saat ujian, belajar saya tidak ngotot. bahkan kalau teman ngajak ke kantin, belajar saya tinggal dulu.
Intinya kalau ada waktu belajar, saya rasa kurang maksimal. kalau belajarnya bisa nanti, kenapa tidak guyon dulu saja. kira-kira begitu yang terjadi. tapi orang tua selalu berharap, saya bisa mendapat rangking utama.
Memang susah dapat rangking 1. tapi paling tidak bisa rangking 2. atau 1 digit, dari ratusan santri angkatan saya. dengan rangking yang lumayan, tapi belajar tidak terlalu, ini mengherankan teman-teman dekat. yang rangkingnya di kisaran 100. atau lebih 200.
Apakah untuk dapat rangking terbaik harus belajar? tentu. saya harus belajar. tapi saya juga meyakini energi selain dari belajar. yaitu berdoa. lalu dimana posisi nazar? nazar bagi saya, jadi yang nomor 3.
Saya berjanji jika rangking 10 besar, akan puasa Senin dan Kamis pasca pengumuman. kira-kira begitu nazar saya dulu. dan itu dahsyat sekali. saya meyakini betul kekuatan dari nazar.
Sehingga nazar bagi saya terus berlanjut. terutama saat kuliah. lagi-lagi yang gampang dulu bernazar puasa. itupun saya sesuaikan dengan tingkat ujian, atau kesulitannya. artinya tidak hanya soal ujian atau meraih prestasi. nazar saya amalkan saat mendapat kesulitan.
Di masa kuliah, kesulitan agak kompleks. saya masih ingat, bernazar puasa selama 10 hari. karena suatu masalah yang saya buat. masalah yang menghabiskan banyak energi dan materi.
Meski tidak semuanya menjadi nazar. karena kadang saya, kita, lupa akan diri kita. seolah masalah yang terjadi bisa diselesaikan dengan tangan sendiri. tanpa campur tangan siapapun, termasuk Yang Maha Berkehendak. dan ketika masalah selesai, kita bangga bisa mengatasinya.
Bagi teman-teman santri, saya kira sangat mengenal yang namanya nazar ini. ada teman yang bernazar cukur rambut saat lepas dari masalah. ada yang bersedekah. dan lain-lain.
Nazar ini juga diajarkan Nabi Ibrahim. bagaimana ayahanda Nabi Ismail itu menepati janjinya kepada Allah SWT. janji berkurban agar dikaruniai anak.
Nazar bagi saya sebuah janji holistik. segala yang terjadi, berkaitan dengan apa yang kita lakukan. Maka melakukan kebaikan sesuai niat yang dijanjikan -karena hal buruk terjadi- bisa jadi balasan setimpal.
Beruntunglah saya lebaran kali ini. nenek mengingatkan kembali pada kekuatan sebuah janji holistik. maka, sudahkah saya menepati janji?(*)
Fajrus Sidiq
GM Tugumalang.id
—
Terima kasih sudah membaca artikel kami. Ikuti media sosial kami di Instagram @tugumalangid , Facebook Tugu Malang ID ,
Youtube Tugu Malang ID , dan Twitter @tugumalang_id