MALANG – Tragedi Kanjuruhan 1 Oktober 2022 telah menewaskan sedikitnya 131 korban jiwa. 400 lebih berhasil selamat meski mengalami luka-luka. Salah satunya ialah Nur Saguanto (19), Aremania asal Desa Tegalsari, Kecamatan Gondanglegi, Kabupaten Malang.
Meski selamat dia harus menanggung rasa sakit yang parah, Wajahnya memar, matanya merah dan kaki kanannya retak. Sekarang, Nur hanya bisa beraktivitas di kasurnya dibantu ibunya Dewi Fitria (38).
Nur bercerita jika dirinya tidak begitu mengingat apa yang terjadi di sekelilingnya waktu malam kejadian. Satu hal yang dia ingat hanya dia sedang berdesak-desakan menunggu antrean keluar di pintu gate 11.
“Waktu itu saya lihat ke atas, tiba-tiba saya melihat kilatan putih. Dada saya rasanya penuh. Setelah itu, gak ingat. Bangun-bangun saya di rumah sakit. Gak bisa melek dan kaki saya rasanya patah,” ujar Nur ditemui di rumahnya, Kamis (6/10/2022).
“Bahkan waktu itu saya sudah nanya ke Tuhan. Ya Allah, kulo niki wis mati ta? (Ya Tuhan, saya ini sudah meninggal kah?),” imbuhnya.
Hingga kemudian dia tersadar telah berada di RSUD Kanjuruhan. Nur pun berinisitif mencari ponselnya dan menghubungi ibunya. Sesampainya di rumah sakit, Nur meminta untuk pulang saja dan akhirnya dibawa pulang.
Namun namanya ibu, Dewi tak yakin melihat kondisi anaknya seperti itu untuk pulang. Dewi berinisiatif untuk merujuknya ke RS Hasta Brata. Di situ, anaknya tetap menolak dirawat inap karena merasa trauma dan takut.
“Waktu saya tanyakan ke dokter katanya gak papa pulang. Jadinya rawat jalan sampai sekarang. Tapi ya di rumah itu sampai sekarang ya pakai infus,” kata Dewi.
Disebutkan Dewi, kondisi anaknya cukup parah karena banyak luka di bagian wajah dan tubuhnya. Selain itu, kaki kanannya juga mengalami retak. Diduga, Nur terjatuh dan terinjak suporter lain yang saling berebut keluar stadion.
Usai kejadian itu, pihak desa bahkan juga baru tahu kalau Nur Saguanto menjadi korban dalam tragedi tersebut. Artinya, sejak awal dia tidak masuk dalam pendataan oleh Crisis Center Dinkes Kabupaten Malang.
Tak heran jika hingga saat ini, keberadaannya nyaris tak terdeteksi oleh radar. Selama ini, sang ibu hanya berfokus menyelamatkan anaknya, meski harus keluar biaya sendiri. “Sampai hari ini saya sudah habis sekitar Rp750 ribu. Itu saya juga sudah pakai KIS (Kartu Indonesia Sejahtera),” ungkapnya.
Namun saat ini, keberadaannya sudah terdata oleh Pemerintah Desa Tegalsari. Selain dia, juga ada suporter lain asal desa tersebut sudah dilaporkan ke Crisis Center. “Saya berangkat sama 2 temen lain tetangga. Mereka juga korban, tapi Alhamdulillah selamat,” ujar Nur.
Nur sendiri tidak menyangka dalam laga melawan Persebaya malam itu berakhir tragis. Sejauh pengalaman dia menonton sejak kelas 1 SMP, baru kali ini dia merasakan kengerian akibat paparan gas air mata.
“Sebelumnya sudah pernah ngalamin, di tahun 2018 itu waktu lawan Persib. Tapi saya berhasil lari keluar dan selamat. Gak separah sekarang,” kata dia.
Reporter: Ulul Azmy
Editor: Herlianto. A