Oleh: Akhmad Mukhlis*
Ada satu kesamaan saat masyarakat kita berkumpul dalam skala besar. Kesamaannya adalah kita bisa melihat sampah berserakan sesaat setelah hajatan usai.
Tugumalang.id – Sepanjang Agustus, kita disuguhi banyak hal yang melibatkan manusia dalam skala besar. Minimal kita melihat bagaimana meriahnya 17-an lewat karnaval. Saya sendiri kebetulan menyaksikan lebih banyak, ada bersih desa, gerebek desa, konser dan beberapa even di kampus seperti ospek dan wisuda.
Perilaku manusia di ruang publik merupakan salah satu hal yang terus menarik untuk diperhatikan. Melalui perilaku massal inilah kita bisa melihat sejauh apakah kita berkembang sebagai masyarakat. Pertanyaannya, apakah yang paling mencolok dan menarik perhatian kita sesaat setelah beberapa even tersebut selesai?
Sampah berserakan. Ya! Kita akan melihat sampah bungkus makanan, dan masih menyisakan makanan. Pun begitu juga botol minuman dengan sisa minumannya. Belum lagi punting rokok dan berbagai jenis sampah lainnya. Sayangnya, banyak diantara sampah tersebut adalah sampah yang tidak mudah diurai.
Masalah sampah yang tidak mudah diurai adalah hal pertama, membuang makanan dan minuman merupakan masalah kita selanjutnya. Kita tahu dampak sampah bagi kesehatan dan lingkungan di masa depan, namun kita jarang tahu dan peduli tentang biaya dan anggaran yang dihabiskan dalam program-program berkait dengan sampah. Itu belum terkait bagaimana evaluasi dan tindak lanutnya.
Membuang sampah sembarangan (littering behavior) merupakan masalah estetika, ekologis dan sekaligus masalah psikologis. Jangan bilang jika masalah ini dibiarkan begitu saja, terutama oleh pemerintah.
Beberapa upaya untuk mengurangi membuang sampah sembarangan, seperti larangan, ketatnya undang-undang, sampai penyediaan fasilitas tempat sampah telah ditempuh dan dijalankan. Nayatanya, kita masih melihat bagaimana sampah berserakan, terutama di tempat umum dan terlebih sesaat setelah even. Bahkan itu terjadi setelah even wisuda di kampus.
Kita tahu, bahwa mereka adalah kaum terdidik dan keluarga yang mengantar adalah keluarga yang mengusahakan pendidikan bagi anak-anaknya. Nyatanya itu tidak cukup. Littering adalah masalah lintas kelas sosial ekonomi di Indonesia, siapapun memiliki kemungkinan yang sama.
Psikologi Sampah
Perilaku kita banyak dipengaruhi oleh norma sosial yang kita sepakati. Kita bersepakat bahwa littering adalah perilaku negatif, tidak keren dan bahkan buruk. Kebersihan adalah dambaan setiap orang, buktinya semua orang akan lebih memilih tinggal di tempat yang cenderung bersih dan rapi.
Tapi nyatanya, pemandangan sampah berserakan tetap saja kita temukan setiap kita berkumpul, apalagi dalam skala besar. Harusnya kita dapat dengan mudah memprediksi perilaku manusia karena setiap dari manusia mempercayai apa yang pantas atau tidak pantas secara sosial. Namun nyatanya tidak, bukan?
Cialdini, Reno dan Kallgren adalah sekelompok ilmuan psikologi yang menyebut bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh perilaku orang lain. Dalam tulisan yang dipublikasikan dalam Journal of personality and social psychology tahun 1990, mereka menyebut terdapat dua jenis norma sosial yang mempengaruhi perilaku manusia, descriptive dan injunctive.
Norma deskriptif berkaitan dengan perilaku terlihat sedangkan norma injuctive berkaitan dengan kepercayaan terkait apa yang benar dan salah. Seperti kebanyakan orang menyeberang sesuai rambu lalu lintas (descriptive) dan itu memang yang seharusnya (injuctive). Masalahnya adalah tidak selamanya kedua norma ini berjalan beriringan.
Misalnya, kebanyakan orang percaya bahwa lingkungan bersih adalah baik dan diharapkan (injunctive) namun banyak orang membuang sampah tidak pada tempatnya (descriptive) karena melihat banyak sampah berserakan.
Inilah yang disebut Cialdini yang juga seorang professor psikologi di Arizona State University sebagai isyarat alam, atau perilaku sangat bergantung pada apa yang orang lihat di sekitar mereka.
Mereka menyarankan dua cara untuk menstabilkan kedua norma tersebut. Yang pertama, untuk memantik norma descriptive mereka menyarankan agar tempat umum dibuat serapi dan sebersih mungkin. Jika ada yang secara sengaja atau tidak menempatkan sampah tidak pada tempatnya, maka hal tersebut akan sangat menonjol.
Cara kedua untuk meantik norma injunctive mereka menyarankan agar para pekerja kebersihan sengaja meninggalkan beberapa sampah dan kemudian baru memungutnya setelah beberapa pengunjung datang. Tujuannya agar dilihat oleh pengunjung dan memberikan pelajaran secara langsung bahwa sampah harus berada pada tempat yang semestinya.
Teori jendela pecah (broken windows theory) adalah teori yang cukup menarik terkait perilaku manusia membuang sampah sembarangan. Teori yang dipopulerkan James Q. Wilson dan George L. Kelling tahun 1982 tersebut menyatakan bahwa isyarat kecil kerusakan lingkungan dapat menyebabkan perilaku anti-sosial.
Sati bagian kaca jendela pecah akan memantik orang untuk merusak bagian lainnya. Dari teori ini kita bisa melihat bahwa bisa jadi seseorang membuang sampah secara sembarangan karena mereka melihat banyak sampah berserakan di tempat tersebut. Sebaliknya, menurut teori ini seseorang cenderung tidak membuang sampah sembarangan di lingkungan yang hijau dan rapi.
Artinya, perilaku massa sangatlah rentan. Satu saja orang membuang sampah sembarangan, maka bisa jadi ini dianggap sebagai bagian jendela yang pecah. Ini memantik orang lain untuk memecahkan bagian jendela lainnya.
Prediktor lain yang bisa menjadi perhatian adalah kecenderungan manusia untuk lebih ‘malas’ jika dalam kondisi sosial. Psikologi menyebutnya sebagai social loafing. Konsep ini sebenarnya digunakan untuk melihat kemalasan dalam sebuah kondisi kelompok dan ada tujuan khusus.
Jika kita transformasikan teori ini dalam konteks membuang sampah, maka kita bisa melihat melalui beberapa faktor. Kita cenderung menjadi pemalas dalam kondisi sosial dan mengharapkan orang lain (petugas kebersihan) untuk menyelesaikan tugas dan bertanggung jawab (diffusion of responsibility).
Ukuran kelompok juga menyebabkan kita menjadi pemalas, itulah mengapa kita melihat sampah dalam even besar daripada di perkantoran atau pusat perbelanjaan. Selanjutnya adalah tidak adanya motivasi.
Hal ini berhubungan dengan bagaimana kepercayaan individu akan sebuah nilai atau norma. Seorang litter mungkin telah terbiasa dengan keadaan kotor dan atau tidak merasa memiliki dan bangga dengan tempat tersebut.
Melanjutkan bersama
Memahami perilaku dibalik littering setidaknya memberikan gambaran spesifik mengapa banyak dari kita masih melakukan hal tersebut. Kampanye dari berbagai elemen harus terus mendapatkan dukungan dan perluasan. Pemerintah dan otoritas terkait membutuhkan kajian lebih komprehensif dalam mengambil kebijakan terkait sampah, terutama kebijakan terkait kantong plastik.
Pembangunan fasilitas yang ramah dan nyaman untuk membuang sampah harus terus dikembangkan. Masyarakat juga membutuhkan edukasi berkelanjutan, terkait sampah dan pengelolaannya. Tak kalah penting adalah kampanye terkait perasaan memiliki dan mencintai lingkungan, karena seseorang cenderung akan lebih merawat sesuatu yang menjadi miliknya.
Jika menggunakan kacama psikologi, kita tahu bahwa membuang sampah hanyalah sebuah pengambilan keputusan yang tidak lebih dari beberapa detik sesaat setelah kita menghabiskan makanan atau minuman.
Pekerjaan rumah kita selanjutya adalah bagaimana pendidikan benar-benar membangun pondasi karakter anak-anak untuk mencintai dan memperlakukan lingkungannya. Sudah waktunya kurikulum pendidikan kita mengarah serius juga pada lingkungan.
*Dosen Psikologi PIAUD FITK UIN Malang