Tugumalang.id – Tim Jelajah Jawa Bali, Mereka yang Memberi Arti telah sampai di Jawa Timur (Jatim). Dekat dengan perbatasan Jawa Tengah (Jateng), tepatnya di Kabupaten Ngawi, kami tertarik untuk singgah di Museum Oerip Indonesia, sebuah museum yang disebut mempunyai koleksi ratusan wastra langka dan unik dari berbagai daerah.
Menurut pengertiannya, wastra merupakan kain tradisional yang memiliki makna dan simbol tersendiri, mengacu pada dimensi warna, ukuran, dan bahan. Contohnya batik tenun, songket, dan sebagainya.
Museum Oerip Indonesia berada di Jalan Sunan Kalijaga Ngawi. Letaknya tidak jauh dari Alun-alun Kabupaten Ngawi, bisa ditempuh sekitar lima menit perjalanan dengan kendaraan bermotor. Lokasinya agak tersembunyi di dalam gang, namun bisa dijangkau dengan mobil.
Sesampainya di Museum Oerip Indonesia, tampak bangunan besar tiga lantai yang didominasi bata dan kayu. Tertera tulisan besar “Oerip Indonesia” di atas pintu masuk. Dengan beberapa potongan kain sebagai ornamen penghias. Juga terdapat alat musik gamelan lengkap tersusun rapi di sebelah kiri bangunan.
Di lantai satu bangunan tersebut, terdapat baju-baju terjajar rapi bak berada di dalam butik. Serta beberapa pencapaian Oerip Indonesia terbingkai rapi di dinding galeri. “Ini galeri Oerip Indonesia,” jelas General Manager Oerip Indonesia, Siwi Widjayanti Hadiprajitno menyambut kami.
Dengan ramah, wanita yang memakai wastra dari ujung kepala hingga ujung kakinya ini menjelaskan kelompok baju di setiap rak gantung tersebut. Setidaknya ada tiga kategori koleksi, yakni irit, premium, dan masterpiece.
Koleksi irit dijual pada harga ratusan ribu rupiah. Koleksi ini menggunakan kain tenun dari berbagai wilayah di Indonesia. Sementara koleksi premium dibanderol dengan harga jutaan rupiah. Masuk kategori premium karena menggunakan kain tenun nusantara dengan kualitas yang lebih bagus.
Beberapa contoh koleksi premium Oerip Indonesia, yakni Arae alam, Rongkong Luwu Utara aksen Sasak Lombok lawas, Bali lawasan, Riau lawasan, Tanimbar Maluku, Endek Bali alam, Ayutopas lawasan kapas, Sikka Ayutopas, hingga Rongkong Luwu Utara.
Terakhir, koleksi masterpiece yang dibanderol hingga puluhan juta rupiah. Di galeri sendiri, koleksi paling mahal berada di harga Rp25 juta. Karya masterpiece Dian Oerip ini menggunakan wastra nusantara yang sudah berumur dan sudah tidak ada lagi penenunnya maupun tenunannya sudah tidak dibuat lagi. Karya ini menggunakan kain-kain bernilai tinggi, untuk mendapatkannya tidaklah mudah, dan selalu memiliki kisah.
Jaket Jokowi
Di dekat kaca, terdapat gantungan baju yang memajang beragam outer. Outer-outer tersebut cukup tebal, mengingat bahannya dari wastra nusantara. Berada di bagian paling depan gantungan sebuah jaket bermotif peta Indonesia yang terletak pada bagian dada dan punggung.
Peta Indonesia itu disusun dari beragam wastra. Kain dari Sumatera menggambarkan pulau Sumatera, kain dari Kalimantan menggambarkan pulai Kalimantan, dan seterusnya, hingga membentuk peta Indonesia.
Menariknya, jaket ini pernah dibeli oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, saat berkunjung ke Ngawi untuk meresmikan Pasar Besar Ngawi, akhir tahun 2021 lalu. Jokowi, sapaan akrabnya, tak ragu membeli dan langsung memakai jaket yang dibanderol dengan harga jutaan rupiah itu.
Museum Oerip Indonesia
Siwi lalu mengajak kami naik ke lantai dua bangunan. Usai menaiki beberapa anak tangga yang cukup curam, terlihat oleh pandangan mata pertama kali adalah sebuah meja. Di atasnya terdapat beberapa pernak-pernik dengan nuansa etnik. Juga beberapa batang dupa yang kemudian dinyalakan Siwi sebelum memulai menjelaskan koleksi Museum Oerip Indonesia.
“Ini Museum Oerip Indonesia,” jelasnya. Tempat menyimpan ratusan wastra yang masih berbentuk kain utuh dan tidak dijual karena memiliki nilai historisnya masing-masing. Kain-kain itu tertata rapi, ada yang menggantung, juga ada yang dilipat, lengkap dengan kertas menempel berisi penjelasan singkat tentang kain tersebut.
Tenun Besikama, tenun dari dataran Kupang dengan motif-motif fauna, bunga-bunga momuli, segitiga perhiasan wanita. Begitu kalimat tertulis pada salah satu kertas yang menempel di salah satu wastra yang bergaris warna-warni.
Pada selembar kain bermotif abstrak warna biru merah abu, terdapat kertas menempel bertulisankan: Sasirangan, kain adat suku Banjar di Kalimantan Selatan, kain yang didapat dari proses pewarnaan rintang dengan menggunakan bahan perintang seperti tali, benang, atau sejenisnya menurut corak-corak tertentu. Desain atau corak didapat dari teknik-teknik jahitan dan ikatan yang ditentukan oleh beberapa faktor, selain dari komposisi warna dan efek yang timbul antara lain: jenis benang atau jenis bahan pengikat. Dibuat oleh ibu Warsilah.
Tersebut di atas merupakan contoh koleksi wastra nusantara di Museum Oerip Indonesia. Masih ada ratusan kain lagi yang terpajang lengkap dengan histori masing-masing.
Di ujung ruangan itu, ada sebuah mesin tenun terpajang. Berwarna hitam gelap dan nampak antik. Saat kami mengamati mesin tenun tersebut, tak lama berselang, Dian Oerip datang. “Itu tenun ATBM, Alat Tenun Bukan Mesin, tapi juga bukan gedog, lebih modern,” jelas Fashion Designer Oerip Indonesia sekaligus pemilik Museum Oerip Indonesia ini.
Wanita berambut sebahu yang kerap memakai tenun dalam kegiatannya sehari-hari ini mengaku mendapatkan ATBM itu dari Klaten, Jawa Tengah. Diberi oleh kenalannya dalam keadaan alat masih berfungsi. “Bikin tenun dengan ini bisa lebih cepat,” jelasnya.
Kembalikan Tenun Mollo ke Ibu Pertiwi
Setelah menjelaskan soal ATBM, wanita bernama lengkap Dian Erra Kumalasari itu menjelaskan soal empat potong kain tenun selebar kepalan tangan. Kain itu berasal dari Mollo, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT). Tenun itu diperkirakan berusia sekitar 200 tahun. Terlihat dari jenis seratnya yang berbeda dengan tenun modern.
“Benangnya beda. Zaman dulu benang kapas asli. Terus warnanya jelas warna alam,” jelasnya sambil menyentuh serat kain tenun tersebut.
Wanita yang menyebut dirinya Mbois Designer itu mendapatkan kain tenun tersebut dari seorang guru tekstil di Paris, Prancis, bernama Piere. Kolektor kain yang fasih berbahasa Indonesia tersebut mendapatkan tenun tersebut saat ke Indonesia pada kurun tahun 80-an. “Tahun 80-an aja dia mendapat kain ini usianya sudah tua. Dan bisa dibayangkan, jadi ini (usianya) sudah lama sekali,” ucapnya.
Ketika berkesempatan ke Paris, Dian menyempatkan diri berkunjung ke museum milik Piere. Dia mengaku takjub dengan koleksi yang ada di sana. “Kain-kain yang orang Indonesia tidak tahu, itu malah dia yang punya,” kenangnya, antusias.
Kata Dian, pengunjung Museum Oerip Indonesia kerap kagum dengan koleksi wastranya. Namun ketika di Paris, dia mengakui bahwa koleksi Piere membuatnya terkesima. “Orang Indonesia ke museum ini sudah takjub. Saya ke Paris lihat dia, lebih takjub lagi. Koleksinya semakin tua, semakin bagus, (wastra) yang gak pernah saya lihat,” bebernya.
Akhirnya, Dian bertekad mengembalikan wastra nusantara itu ke pangkuan Ibu Pertiwi. Namun karena harganya sudah mencapai tiga digit per lembar kain, dia memutuskan membeli dalam bentuk potongan kecil.
“Saya mampunya beli kecil, ini saja sudah Rp5 jutaan sehelai kecil. Kalau kain besar aja, dia jual sudah ratusan juta ya. Bahkan itu dia ngejual miliaran (rupiah) ke museum-museum Eropa. Paling tidak, saya punya niat mengembalikan ini ke Ibu Pertiwi,” jelasnya.
Tenun Garuda Pancasila Bung Karno
Selain tenun Mollo tersebut, Dian berlanjut menjelaskan sebuah kain yang dominan berwarna hitam, menggantung di antara kain lainnya. Tampak jelas dalam kain itu motif sebuah pohon yang mempunyai lima cabang. Kain itu bernama Garuda Pancasila, berasal dari Ende, Provinsi NTT, Pulau Flores, sebuah wilayah yang kini kerap dijuluki Kota Pancasila.
“Ilham kain ini dari Pak Karno (Soekarno atau Bung Karno) ketika dia diasingkan di Ende. Dia akhirnya muncul ide sila Pancasila, lima sila,” jelasnya sambil menunjukkan kain tersebut.
Usai mendapatkan ilham Pancasila, Bung Karno disebut meminta tolong kepada penenun lokal untuk menenunkan ide tersebut, maka lahirlah kain tenun Garuda Pancasila ini.
Dalam Buku Kisah Istimewa Bung Karno, presiden pertama Republik Indonesia itu diasingkan di Ende mulai 14 Januari 1934 hingga 18 Oktober 1938. Dalam pengasingannya, Bung Karno memikirkan rumusan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Dia memperoleh gagasan tersebut usai merenung di bawah pohon sukun selama berjam-jam satiap Jumat malam. Bung Karno mendapatkan ide dari lima cabang pohon itu.
Pohon sukun tersebut menghadap ke laut Pantai Ende. Jaraknya hanya 700 meter dari rumah pengasingan Bung Karno. Pohon tersebut telah tumbang pada tahun 1970-an. Pohon yang asli diganti dengan pohon serupa dan dijuluki Pohon Pancasila sejak 1980-an. Namun motifnya telah melekat di wastra karya Mama Penenun lokal dan kini berada di Museum Oerip Indonesia. “Ini termasuk saya berhasil mendapatkan hasil ide dia,” ujar Dian, bangga.
Berawal dari Travelling
Dian menceritakan awal mula terjun ke dunia wastra ini. Bermula dari hobinya menjelajahi berbagai daerah di Indonesia, seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan, NTT, NTB, hingga Papua, dia menemukan bahwa setiap daerah di Indonesia mempunyai kain khas masing-masing.
“Saya suka ngebolang, suka naik gunung, dan suka foto. Kemudian mendapati di setiap daerah itu punya kain. Akhirnya senang ngumpul-ngumpulin. Indonesia ini terlalu kaya,” ucapnya.
Awalnya, Dian mengubah kain koleksinya menjadi baju untuk dia kenakan secara pribadi. Namun lambat laun, banyak yang tertarik untuk membelinya. “Awalnya bikin buat aku sendiri, terus ada yang ‘mau dong mau dong’, akhirnya terciptalah jualan online, di Facebook,” kenangnya.
Berawal dari hobi, ternyata hal itu mendatangkan pundi-pundi cuan kepadanya. Baju-baju karyanya laris manis hingga saat ini. Dulu, Dian hanya memiliki satu penjahit. Kini, dia telah mempunyai 60 orang pekerja di bawah naungan Oerip Indonesia. Oerip Indonesia juga memiliki distributor resmi di beberapa negara seperti Eropa, Amerika Serikat, hingga United Kingdom.
Dian sendiri mengaku belajar desain secara otodidak. Dia tidak mempunyai latar belakang pendidikan fashion sama sekali. “Saya lulusan Teknik Kimia Universitas Diponegoro, Semarang,” bebernya.
Penghormatan untuk Mama Penenun
Kiprah Dian selama ini semata-mata untuk menghormati Mama Penenun dari berbagai daerah di Indonesia. Sebisa mungkin, dalam setiap desainnya, dia tidak banyak memotong kain. “Jadi kita menggabungkan dua kain. Misalkan kain Ende dengan kain Sumatera, kita jadikan satu. Menceritakan kita ini Indonesia. Kita kaya akan kain,” ujarnya.
Begitupun dengan ukuran kain, Dian tidak banyak mengubahnya dalam setiap mahakaryanya. “Dari ukurannya sesuai lebar kain, jadi emang besar-besar, tapi tidak untuk orang (berbadan) besar saja,” jelasnya.
Di masa pandemi COVID-19 dua tahun ke belakang, Dian banyak berkeliling Indonesia untuk membantu Mama-Mama Penenun untuk tumbuh dan semangat menenun. Selama pandemi, nyaris tidak ada orang datang dan membeli kain tenun mereka.
“Yang saya lakukan sangatlah sederhana, menjualkan kain tenun mereka melalui akun Instagram saya. Sangat berdampak sekali terhadap kehidupan mereka. Hal kecil yang saya lakukan sungguh berarti buat mereka. Walau satu jam live IG ini berjalan, tetapi membuat semua merasakan kebahagiaan,” ujarnya.
Selain itu, kata Dian, apa yang dia lakukan juga menginspirasi anak-anak penenun untuk tetap bangga akan tenunan ibunya.
Momen paling berharga bagi Dian adalah saat membantu Mama-Mama Penenun mendapatkan penghasilan untuk menghidupi keluarganya.
Catatan ini adalah bagian dari program Jelajah Jawa-Bali, tentang Inspirasi dari Kelompok Kecil yang Memberi Arti oleh Tugu Media Group x PT Paragon Technology and Innovation. Program ini didukung oleh Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan (GWPP), Pondok Inspirasi, Genara Art, Rumah Wijaya, dan pemimpin.id.
Reporter: Lizya Kristanti
Editor: Herlianto. A