MALANG, Tugumalang.id – Nama Ki Sholeh Adi Pramono mungkin tidak asing bagi pecinta seni di Malang. Ia merupakan pendiri Padhepokan Seni Mangun Dharma yang melahirkan ribuan seniman di Malang Raya, bahkan hingga luar daerah.
Sejak akhir abad ke-19, keluarga Ki Sholeh telah berkecimpung di dunia seni di Malang. Mulai dari buyutnya, kakek, pakdhe, hingga bapak dari Ki Sholeh merupakan seniman yang sangat dikenal. Buyut dan kakek Ki Sholeh merupakan seniman topeng malang. Pakdhe Ki Sholeh mulai merambah seni wayang kulit malangan dan juga topeng malangan. Sementara bapak dari Ki Sholeh lebih fokus pada macapat malangan.
“Ini (padhepokan) adalah meneruskan apa yang dilakukan oleh buyut, kakek, pakdhe, dan bapak,” ujar Ki Sholeh saat ditemui beberapa waktu lalu.
Tumbuh di Keluarga Pecinta Seni
Kesenian tradisional bukan hal yang baru bagi Ki Sholeh. Rusman, kakek Ki Sholeh merupakan salah satu seniman yang memiliki peran penting dalam pengembangan topeng malangan pada tahun 1911 hingga 1928. Sayang, nama tersebut jarang digaungkan sehingga tidak banyak orang yang mengenalnya.
Bahkan, di buku tentang seni jawa berjudul Javaansche Volksbertoningen yang ditulis oleh Thomas Pigeud, nama Rusman tidak disebutkan sebagai orang yang turut andil dalam mengembangkan topeng malangan. Justru, yang disebutkan dalam buku tersebut ada penari bernama Saritruno yang merupakan murid Rusman.
“Di buku tersebut menyebutkan ada wayang topeng terkenal di Pucangsongo dan di Senggreng (Kabupaten Malang). Di Pucangsongo, yang mengajar adalah kakek saya. Nama kakek saya tidak disebut, malah yang terkenal adalah penarinya,” tutur Ki Sholeh.
Belajar Pedalangan Sejak Kecil
Ki Sholeh menyebut ayahnya berperan dalam mengenal kesenian kepadanya. Sejak kecil, Ki Sholeh dan dua saudaranya sering mendengarkan ayah mereka melantunkan macapat malangan.
“Ayah saya tukang, tapi memang seniman. Tiap malam Jumat Legi, anak-anak lesehan, Ayah membaca kitab-kitab wayang. Dari situ penularannya. Telinga kami jadi terbiasa mendengarkan macapat,” jelas Ki Sholeh.
Saat masih kecil, Ki Sholeh sering menemani ayahnya belanja ke pasar. Sambil menunggu ayahnya selesai belanja, Ki Sholeh melihat orang berjualan wayang yang terbuat dari kertas.
“Di Pasar Tumpang itu ada orang jualan wayang dari kertas. Saya duduk nggelempoh (lesehan) melihat wayang. Ayah saya selesai belanja baru (saya) dibelikan wayang dua,” kenang pria kelahiran Desa Wates, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang ini.
Setelah dibelikan wayang, ayah Ki Sholeh juga menyediakan pelepah pisang sebagai media untuk bermain wayang. “Terus saya diajari, karena ya memang dari keluarga dalang,” imbuh Ki Sholeh.
Sekolah Seni Lewat Konservatori Karawitan dan Beasiswa
Kecintaan Ki Sholeh terhadap kesenian terus berlanjut hingga ia lulus SMA. Ia bermaksud melanjutkan kuliah kesenian, namun terkendala biaya. Hingga akhirnya ia mendapat informasi ada pembukaan Konservatori Karawitan Indonesia untuk jurusan Pedalangan, Karawitan, dan Tari.
Melihat kesempatan itu, Ki Sholeh mendaftar dan mengikuti seleksi. Berkat kemampuannya, ia lolos dan bisa melanjutkan pendidikan ke Surabaya. “Akhirnya saya berangkat dan bisa sekolah. Terus saya mengabdi karena ada ikatan dinas selama empat tahun,” ujarnya.
Saat mengikuti konservatori dan mengabdi sebagai pegawai, Ki Sholeh bertugas mengurus nomor induk kesenian. Suatu hari, ia mendapat kabar bahwa dirinya tidak akan diangkat sebagai pegawai tetap. Akhirnya ia memutuskan untuk kembali melanjutkan pendidikan ke Institut Seni Indonesia di Yogyakarta.
“Kuliah satu semester, prestasi saya baik. Saya dapat beasiwa sampai rampung kuliah,” kata Ki Sholeh.
Mendirikan Padhepokan Seni Mangun Dharma
Padhepokan Seni Mangun Dharma dibangun dibuka pada 26 Agustus 1989 dengan bangunan yang sangat sederhana, yaitu berdinding bambu dan beratap daun tebu. Nama Mangun Dharma diambil dari nama jalan tempat padhepokan itu berdiri, yaitu Jalan Raya Mangun Dharma dan petilasan patih Malang yang bernama Ki Mangun Yudha (Mangun Dharma).
Tanah yang digunakan untuk mendirikan Padhepokan Seni Mangun Dharma merupakan milik bibi Ki Sholeh yang bernama Siati. Ki Sholeh bersama beberapa orang lainnya bergotong-royong membangun padhepokan dengan bahan-bahan seadanya.
“Saat saya lulus dari ISI itu, saya meminta tanah yang miring ini, yang nggak terpakai di bibi saya. Terus tanahnya tambah dikit-dikit, terus semakin luas. Saat ini luas padhepokan adalah 40×40 meter,” ujar Ki Sholeh.
Komitmen Mengajar dan Melestarikan Kesenian
Di tengah terpaan seni modern, Padhepokan Seni Mangun Dharma masih banyak diminati anak-anak muda. Ratusan anak menimba ilmu terkait kesenian tradisional asli Malang. Mereka belajar seni tari, karawitan, macapat, kerajinan topeng dan wayang kulit, hingga pedalangan.
“Adik-adik (murid) yang di sini menamakan Padhepokan Seni Mangun Dharma ini sebagai sumber daya khas kesenian malang. Misi kami adalah pemuda-pemuda di Malang harus mengerti kebudayaannya sendiri,” ujar pria kelahiran tahun 1951 tersebut.
Keberadaan Padhepokan Seni Mangun Dharma ini juga didukung oleh orang-orang desa. Mereka senang dengan kesenian.
“Kalau kendala hambatan pergolakan sosial, nggak ada. Ternyata orang-orang desa senang semuanya dengan kesenian. Jelas pendukung utama (padhepokan) adalah mereka,” kata Ki Sholeh.
Kendala yang dihadapi oleh padhepokan ini adalah pendanaan. Biaya untuk belajar seni di sini terbilang cukup murah, yaitu Rp 50 ribu per bulan. Sumber penghasilan lainnya adalah dengan menawarkan jasa seni pertunjukan dan mengisi seminar. Selain itu, Ki Sholeh juga menyewakan padhepokan untuk lokasi foto prewedding hingga pertemuan-pertemuan.
“Kami sempat terbentur pandemi COVID-19. Karena kami adalah organisasi profesional, makan nggak makan, (penghasilan didapat) dari seni,” ujarnya.
Kendati banyak tantangan yang harus dihadapi dalam mengelola Padhepokan Seni Mangun Dharma, Ki Sholeh berkomitmen untuk terus mengajar dan melestarikan kesenian. Anak angkat Ki Sholeh yang bernama Bambang juga mendalami dunia kesenian.
“Dia saya sekolahkan di Solo, supaya di padhepokan ini nanti ada yang mulang (mengajar),” pungkas Ki Sholeh.
Reporter: Aisyah Nawangsari Putri
editor: jatmiko