Oleh: Dr H Abdurrahman Said
Tujuan akhir dari kewajiban puasa di bulan suci Ramadhan adalah memupuk ketakwaan kepada Allah Swt pada diri dan sanubari seorang Muslim. Ini ditegaskan dah dialam Al-Quran surah Al-Baqarah, bahwa telah diwajibkan puasa kepada kita, sebagaimana telah diwajibkan kepada kaum sebelum kita, agar kemudian kita menjadi orang yang bertakwa kepada Allah Swt (QS. Al-Baqarah: 183). Ketakwaan biasanya diartikan sebagai sikap ketaatan kepada Allah Swt, dengan berusaha menjalankan apa yang diperintahkan dan menjauhi segala yang dilarang Agama. Sehingga ketakwaan memang akan terlihat ketika seseorang melaksanakan salat, puasa wajib, mengeluarkan zakat bagi yamg kaya atau berangkat berhaji bagi yang memiliki kemampuan. Itu semua adalah ketakwaan yang menjadi pilar Agama, disebut juga dengan Ibadah murni (ibadah mahdlah).
Namun di samping kewajiban beribadah murni di atas, ketakwaan juga harus terwujud dalam ibadah dalam bentuk lain. Allah Swt menyatakan bahwa orang yang bertakwa adalah mereka yang beriman kepada yang Ghaib, menjalankan salat dan menginfakkan sebagaian rejeki yang dianugerahkan Allah (QS. Al-Baqarah: 3). Dari ayat ini terlihat jelas bahwa ketakwaan tidak hanya terbukti dengan keimanan dan ketaatan kepada Allah Swt dengan melaksanakan ibadah murni saja, seperti salat. Namun juga harus diterwujud dalam bentuk kepedulian sosial. Menyisihkan sebagian rejeki dalam ayat tersebut tidak hanya bermakna zakat yang wajib, namun segala bantuan, kepedulian dan semangat berbagi dalam bentuk lain, misalnya infak, shadaqah atau hibah.
Dalam ayat yang lain, Allah menyatakan bahwa orang yang bertakwa kepada Allah adalah mereka yang memiliki semangat untuk berbagi, baik dalam kondisi mudah atau kondisi sulit (QS. Ali Imran: 134). Artinya ketakwaan itu terwujud ketika semangat berbagi tidak hanya kepada sesama, namun kepada siapapun dan dalam keadaan apapun. Baik dalam keadaan kaya atau miskin papa. Sebab rejeki yang bisa kita bagi dengan orang lain tidak hanya rejeki dalam bentuk harta semata, namun segala anugerah yang diberikan kepada kita adalah rejeki. Ilmu pengetahuan, keterampilan, tenaga, kesehatan, empati, simpati dan banyak lagi bentuk-bentuk lain dari rejeki yang dapat kita bagi dengan orang lain.
Demikian juga dalam kondisi mudah untuk memberi atau sulit untuk memberi. Disebut mudah, jika yang akan kita bantu adalah keluarga sendiri, teman sendiri, orang yang pernah atau selalu membantu kita, atau orang yang selalu mendukung kita. Maka akan mudah sekali kita berbagi dengannya. Namun tidak hanya itu, ketakwaan baru terbukti ketika kita dapat berbagi dengan orang yang memusuhi kita, tidak pernah mendukung kita, atau bahkan berbuat jahat kepada kita.
Dalam ayat yang sama, Allah Swt menyatakan bahwa Allah mencintai mereka yang berbuat ihsan (muhsinin). Nabi Muhammad Saw pernah menjelaskan bahwa ihsan adalah sikap keasadaran seseorang yang beribadah kepada Allah, bahwa ia tengah berada di hadapan-Nya, tengah dalam pengawasan-Nya. Sehingga selayaknya seorang hamba yang tengah bekerja menjalankan perintah majikannya, dan ia bekerja langsung di hadapan majikannya itu, dalam pengawasan ketat majikannya itu, maka niscaya hamba tersebut akan selalu berusaha memperbaiki diri, berhati-hati dalam bekerja agar tidak ada kesalahan, dan tentu akan selalu berusaha meningkatkan kualitas kinerjanya. Ia bahkan sudah tidak peduli lagi dengan upah atau bonus yang akan diberikan sang majikan, yang terpenting baginya adalah rasa senang dan cinta majikannya saja. Itulah yang disebut dengan ihsan dalam ibadah. Nabi Isa as juga pernah mengingatkan bahwa sesungguhnya belum disebut ihsan, ketika kita hanya dapat berbuat baik kepada orang baik kepada kita, namun ihsan adalah kita mampu berbagi dengan orang yang justru pernah berbuat jahat kepada kita.
Itulah yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw, bahkan sampai akhir hayatnya. Nabi sering pergi ke suatu pasar di Madinah, yang di tempat itu ada seorang pengemis yahudi yang buta. Pengemis yahudi tersebut selalu jahat perkataannya terhadap Nabi, dengan memprovokasi semua orang yang lewat dihadapannya untuk tidak percaya kepada Nabi Muhammad Saw, “Muhammad adalah penipu dan pendusta” katanya. Namun begitu, Nabi selalu datang kepadanya dan memberikan sedikit makanan, bahkan dengan lembut sampai menyuapinya. Pengemis yahudi tidak pernah tahu bahkwa yang memberinya makanan, dan menyuapinya dengan lembut itu adalah orang yang selama ini ia benci.
Setelah Nabi Muhammad Saw wafat, dan Abu Bakar ra diangkat sebagai khalifah, Abu Bakar mendatangi Siti Aisyah dan bertanya, apakah ia telah melaksanakan seluruh ajaran Nabi? Siti Aisyah menjawab bahwa masih ada satu kegiatan yang belum dilakukan oleh Abu Bakar, yaitu mendatangi pengemis yahudi di pasar, dan memberinya makanan. Abu Bakar ra lantas berusaha melakukan itu, ia mendatangi pengemis yahudi, dan memberinya makanan. Namun saat itu ia sedang mencerca dan mencaci maki Nabi Muhammad Saw. Abu Bakar yang memberikan makanan sesungguhnya tidak kuat menahan amarahnya, sehingga yahudi itu bertanya, “siapa gerangan Anda ini?, Anda tidak seperti orang yang biasa memberiku makanan, yang dengan lemah lembut, dan akhlak yang tinggi ia menyuapiku”. Abu Bakar ra lantas berterus terang bahwa yang ia maksudkan itu sudah wafat, ia adalah Nabi Muhammad Saw yang selalu dicacinya dan dibencinya.
Sekilas, kadang masih ada diantara kita yang merasa bahwa orang yang membantu orang lain, non muslim misalnya, adalah perbuatan yang tidak baik. Namun sebenarnya ini adalah ajaran Islam yang sesungguhnya. Akhlak yang begitu mulai itu, yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw secara langsung, yaitu berbagi dengan siapapun dan dalam kondisi apapun, yang kemudian mengalirkan air mata pengemis yahudi, dan mengucapkan syahadah.
Tulisan ini adalah intisari dari sebagian khutbah Hari Raya Idul Fitri 1443 H/2022 M di Masjid Al-Hidayah Kota Malang.
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1443 H/2022 M
—
Terima kasih sudah membaca artikel kami. Ikuti media sosial kami yakni Instagram @tugumalangid , Facebook Tugu Malang ID ,
Youtube Tugu Malang ID , dan Twitter @tugumalang_id