Tugumalang.id – Insiden Tragedi Kanjuruhan masih membekas dan menjadi perhatian banyak pihak, khususnya bagi keluarga korban, Aremania dan warga Malang. Hingga saat ini, penegakan hukum atas tragedi yang menewaskan 135 orang dan 600 lebih lainnya luka-luka ini dinilai masih tumpul ke atas.
Gelombang kekecewaan dari banyak pihak mulai kentara di sejumlah lini masa media sosial. Terlebih di jelang 100 hari pasca kejadian. Usai Aremania berbondong-bondong memutuskan gantung syal, kini gelombang mosi tidak percaya alias golput juga mulai terlihat.
Ancaman golput ini terakhir terdengar dari keluarga korban yang sowan ke DPRD Kota Malang beberapa hari lalu. Mereka menuntut barisan legislatif ikut andil dalam mengawal penegakan hukum dengan membentuk Pansus di tingkat DPR RI.
Di tengah dialog itu juga mulai muncul suara-suara golput dalam Pemilu 2024 nanti. Suara itu muncul sebagai respons kemuakan dari sejumlah upaya Aremania untuk mencari keadilan menemui jalan buntu.
Aremania kecewa dengan penanganan Tragedi Kanjuruhan yang terkesan tidak serius dan bertele-tele. Hingga saat ini pun berkas perkara yang dibuat Polda Jatim belum jelas juntrungan objektivitasnya.
“Jelas kami kecewa. Saat ini kami membutuhkan negara, tapi responsnya tidak ada. Tidak heran jika sudah mulai ada rasan-rasan bahwa kasus ini tidak diusut tuntas, maka mereka akan golput,” ujar Dian Berndinandri, salah satu perwakilan keluarga korban.
Dalam pertemuan itu, para keluarga korban Tragedi menumpahkan semua tangis dan kekecewaannya. Menurut mereka, nyawa anggota keluarga mereka hanya bisa ditebus dengan keadilan, tidak dengan uang ratusan miliar sekali pun.
Penanganan Tragedi Kanjuruhan Tak Berkembang
Kekecewaan serupa juga diungkapkan Aremania asal Lesanpuro, Ridwan (34). Menurut dia, perkara ini sebenarnya bisa dituntaskan dengan cepat dan tegas. Bukti-bukti dari video yang beredar, maupun yang dikumpulkan oleh banyak pihak sudah cukup jelas menjelaskan situasi yang terjadi.
“Sudah jelas yang salah siapa, korban siapa, karena apa. Tapi penanganannya kok ruwet banget. Di saat-saat seperti ini kan harusnya negara hadir? Kemana lagi kita berharap kalau bukan ke negara. Tapi mana, tetap gini-gini aja. Gak berkembang blas,” ujarnya.
Sebagai warga Malang dan juga pecinta sepak bola, lanjut Roni, Tragedi Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022 itu menjadi puncak kemuakannya. Terus terang, kata Roni, peristiwa yang juga menewaskan seorang temannya itu juga berdampak pada psikologisnya.
Kekecewaannya semakin memuncak ketika Mahfud MD, Menkopolhukam memberikan statement bahwa Tragedi Kanjuruhan bukanlah pelanggaran HAM berat. Belum lagi dihadapkan dengan keganjilan lain penegakan hukum seperti yang sudah diketahui.
“Sudah, daripada ruwet-ruwet. Saya sudah malas. Sudah gak usah Pemilu-Pemiluan kalau kayak gini terus. Tiap ada masalah, tiap dibutuhkan, sikap mereka (pemerintah, red) kan ya gini-gini aja. Kok yo kebacut,” kata dia.
“Lagi pula, rakyat berhak dan sangat bisa mengatur dirinya sendiri. Ada gak ada pemerintah, hidup kita kan juga gini-gini aja. Anda ruwet, kami juga bisa lebih ruwet. Semoga arwah sahabat saya tenang di sana,” tegasnya.
Kekecewaan Aremania Mentok
Andik (32) Aremania asal Kedungkandang juga sudah merasa jengah saat mengikuti jalannya penanganan hukum Tragedi Kanjuruhan. Andik sendiri mulai jengah membaca pernyataan para petinggi publik terkait penanganan Tragedi Kanjuruhan di media massa.
Menurut mereka, statement mereka tidak menjawab apa-apa dan tidak menyelesaikan masalah apapun. “Rasanya sudah muak. Jawabannya semua petinggi A sampai Z gitu-gitu aja, gak ada sama sekali mendengar tuntutan Aremania selama aksi. Mereka ini apa gak baca berita apa gimana ya,” ungkapnya.
Menurut Andi, kekecewaan itu wajar karena perkara ini adalah soal nyawa ratusan orang tak bersalah. Ini kata dia bukan tindak pidana biasa yang juga bisa ditangani dengan cara-cara biasa.
“Rasanya kekecewaanku sudah mentok. Jadi kira-kira misal banyak yang berpikir kayak aku ya jangan disalahin ya. Kalau kata Arek-arek, kalau gak tuntas-tuntas, kami juga siap menuntut keadilan dengan gaya bebas,” tegasnya.
Sejauh ini, berkas perkara Tragedi Kanjuruhan masih berkutat pada penetapan 6 tersangka. Berbeda dengan kritik dan tuntutan Aremania yang menilai pelakunya lebih banyak dari itu, khususnya dari pihak aparat penembak gas air mata.
Jauh sebelum itu, sejumlah prosedur pembuatan berkas perkara juga dinilai tidak adil. Mulai dari pemanggilan saksi, rekonstruksi yang dilakukan tidak di lokasi kejadian, autopsi yang baru dilakukan setelah 30 hari pasca tragedi, penerapan pasal dan masih banyak lainnya.
Adapun, total enam tersangka yang telah ditetapkan yakni Ketua Panpel Arema Arema FC, Abdul Haris, dan Security Officer, Suko Sutrisno, Danki 3 Brimob Polda Jatim, AKP Hasdarmawan, Kabag Ops Polres Malang, Wahyu Kompol Setyo Pranoto, dan Kasat Samapta Polres Malang, AKP Bambang Sidik Achmadi.
Adapun tersangka dari pihak Dirut PT LIB, Akhmad Hadian Lukita, sementara ini dilepas dari tahanan oleh penyidik Polda Jatim karena masa tahanannya habis.
Seperti diketahui, selama hampir tiga bulan ini Aremania terus bergerak menuntut keadilan bagi para korban. Mulai melakukan aksi turun ke jalan, advokasi hukum keluarga korban hingga mengadu ke Komnas HAM, Bareskrim Polri, Komisi III DPR RI, Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, termasuk bertemu dengan Ombudsman dan lembaga negara lainnya.
Reporter: M Ulul Azmy
Editor: Herlianto. A