MALANG – Federasi Kontras menilai rekomendasi Komnas HAM atas Tragedi Kanjuruhan masih menggantung. Pasalnya, tidak ada poin dalam rekomendasi tersebut yang benar-benar berpihak pada korban.
Sekjen Federasi Kontras Andy Irfan menuturkan, dalam poin rekomendasi yang dipublikasikan Komnas HAM tidak menyebut soal dugaan terjadi pelanggaran HAM berat dalam Tragedi Kanjuruhan.
”Teknologi kita sudah sedemikian maju. Sudah ada digital forensik dan lain-lain. Jadi kalau kita masih bersikukuh dengan rekonstruksi itu, maka tidak akan ada keadilan yang terjawab,” kata Andy, Senin (7/11/2022).
Federasi Kontras yang melakukan pendampingan hukum kepada Tim Gabungan Aremania (TGA) itu menyayangkan atas rekomendasi tim independen lain yang sudah ada. Komnas HAM dibentuk untuk mengurusi HAM, namun tidak merekomendasikan adanya pelanggaran HAM dalam Tragedi ini.
”Sejujurnya, kami dan teman-teman meragukan hasil rekomendasi Komnas HAM,” tegasnya.
Kenapa? Kata Andy, sudah jelas dalam investigasi yang dilakukan Komnas HAM tidak melibatkan pihak lain. Mulai masyarakat sipil, korban hingga pakar independen. Menurut dia, itu jauh dari harapan karena masih banyak keterangan dari korban yang harus digali dan dianalisis.
Menurut dia, Komnas HAM terlalu terburu-buru untuk menyimpulkan dalam kejadian ini tidak ada pelanggaran HAM berat. ”Ini saja penyelidikan polisi masih kacau balau, TGIPF juga begitu, apalagi Komnas HAM,” kata dia.
Sebagai contoh, ada sejumlah variabel kunci yang tidak dijelaskan Komnas HAM, yaitu soal serangan sistematis personel keamanan di saat empat menit mematikan itu. Berdasarkan catatan digital forensik yang dilakukannya, setidaknya ada empat poin temuan penting.
Pertama, jelas Andy, ada pengelompokan pasukan (grouping) personel Brimob di tempat-tempat yang spesifik. Kedua, ada mobilisasi pasukan pergerakan pasukan yang sistematik. ”Menyesuaikan sasaran dan target yang kemudian akan ditembak gas air mata,” ujarnya.
Ketiga, target dan sasaran tidak acak dan tidak dilakukan secara membabi buta. Namun justru langsung diarahkan ke sudut yang berpotensi menimbukjan korban.
”Ancaman ada di tengah lapangan, tapi tembakan ke arah Tribun. Dilakukan secara jelas, tanpa keraguan dengan pengawasan perwira di lapangan. Dimana temuan Komnas HAM soal ini?,” gugatnya.
Poin keempat, ritme dan intensi penyerangan polisi disebutkan Andy juga terbilang dilontarkan secara sistemik. Bukan membabi-buta karena merasa terancam dengan agresi penonton.
”Empat poin kunci ini kalau mau didetail lago, kota bisa masuk ke substansinya. Soal tanggungj) jawab komando,” bebernya.
Bahkan publik juga masih berkutat dalam isu-isu kebobrokan PSSI. Namun, masalahnya lokasi di TKP harus diselesaikan dulu, sebelum kemudian nanti merambah ke urusan penyelenggaraan sepak bola.
”Ya memang PSSI kita buruk, tapi perkara ini di Kanjuruhan, bukan di tempat lain. Ada urgensi di Kanjuruhan yang harus jadi konsentrasi dalam penyelidikan,” tegasnya.
”Nah, dalam rekomendasi ke polisi, Komnas HAM juga tidak berani unjuk gigi. Tidak ada uraian soal pihak kepolisian. Komnas HAM tidak bergerak sampai jauh kesana,” imbuhnya.
Sebab itu, pihaknya mendesak Komnas HAM untuk membuka kembali penyidikan, dengan melibatkan masyarakat sipil yang terkait, pakar dan pihak-pihak terkait agar menemukan hasil penyelidikan yang otentik dan sesuai dengah fakta di lapangan, tanpa ragu-ragu menindak siapa yang salah,” tandasnya.
Reporter: Ulul Azmy
editor: jatmiko