Fans MU biasa saja timnya kalah 1-2 di kandang sendiri. Laga perdana liga inggris. Lawan Brighton. Tidak ada berita supporter blokade jalanan. Mendukung klub sewajarnya.
Sejarah tercatat tak luput dari perkara-perkara fanatisme. Saya ingat betul penceramah kondang dan fenomenal KH Zainudin MZ. “cintailah orang yang kamu cintai sekedarnya saja”. itu hadits Nabi Muhammad SAW.
Hampir setiap habis subuh bapak saya setel radio, yang menayangkan ceramah Sang Dai Sejuta Umat itu. Saya masih umur 7 di tahun 1998. Tahun dimana banyak orang katanya bankrut. Tapi nelayan desa kami tetap menerjang ombak. Seperti biasa. Melaut cari ikan. Seperti nenek moyang.
Cinta dan benci sekedarnya saja. Tak perlu berlebihan. Fanatisme bikin kolot. Sulit membuka ruang diskusi dengan orang lain.
Anda masih ingat James Eagan Holmes Si Joker. Cerita penembakan brutal di bioskop Century, Colorado AS. Tahun 2012. Sejumlah pengakuannya yang ditulis media, Holmes adalah Joker di dunia nyata. Tugasnya melibas Batman.
Holmes fanatik betul terhadap Joker. Saat bioksop akan memutar film Batman, dia bertindak. Holmes melesatkan tembakan brutal ke area penonton. Hingga saat ini, peristiwa 20 Juli 2012 tercatat sebagai peristiwa mengerikan di AS.
Kisah fanatisme lain juga diperankan Ibnu Muljam. 17 Ramadhan 40 Hijriah. Atau tahun 661 Masehi. Tebasan pedang berlumur racun menghujam Khalifah Ali. Peristiwa ngeri ini digambarkan di sejumlah kitab lama karangan para ilmuan.
Perbedaan tafsir. Perbedaan pandangan. Seolah jalan keluarnya hanyalah pertumpahan darah. Padahal pokok dari perbedaan itu adalah kesatuan. Bukan jadi perpecahan yang wajib terpecah belah. Tersekat-sekat.
India dan Pakistan juga akhirnya jadi terpecah. Mahatma Gandhi yang menyerukan kesatuan, ditembak mati Nathuram Gosde. Penganut aliran “fanatisme” Hindu. Padahal Gandhi berkata; Tuhan tidak punya agama.
Ketiga contoh tadi, para pelaku bukan orang biasa. Holmes itu Sarjana Neurosains. Muljam guru ngaji kepercayaan Khalifah Umar. Dan Godse, tokoh nasional India.
Fanatisme menjadi sumber kekuatan untuk bersatu. Tapi konotasi fanatisme seperti diperlihatkan Holmes, berbuah bahaya.
Tan Malaka pernah bilang; Setiap orang berkumpul dengan jenis dan wataknya. Ibarat air berkumpul dengan air. Minyak dengan minyak.
Banyak pendapat menyatakan, pemilu jadi ajang pertunjukan fanatisme. Media sosial tak terbendung. Klaim dan perang komentar melesat-lesat. Bagai miliaran anak panah berapi. Beterbangan di atas rumah.
Apalagi 2 periode terakhir. Duel Jokowi-Prabowo. Banyak makan energi. Fanatisme kedua pendukung jadi tontonan sehari-hari. Yang tanggung (harus) jadi golput. Yang mikir belum tentu sampai.
Untuk itu, saya perlu belajar kepada Gus Dur. Yang membubarkan sikap fanatik pasukan berani mati. Gus Dur tak perlu dibela dengan pertumpahan darah. “Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan,” kata gajah yang meninggalkan gading itu.
Fajrus Sidiq
GM Tugumalang.id
—
Terima kasih sudah membaca artikel kami. Ikuti media sosial kami yakni Instagram @tugumalangid , Facebook Tugu Malang ID ,
Youtube Tugu Malang ID , dan Twitter @tugumalang_id