Tugumalang.id – Sekujur tubuh tiba-tiba bergetar. Air mata tidak terasa mengenang di kelopak mata saat saya membaca biografi singkat tentang KH. Yahya Syabrowi di internet
Aneh, sungguh aneh. Saya merasa dekat dengannya, tapi di saat bersamaan saya bukanlah santrinya. Ingatan tentangnya membawa saya ke masa Sekolah Dasar (SD) ketika pertama kali melihat fotonya ada di rumah, rumah abah (kakek) dan di rumah paman.
Bagi keluarga abah, Kiai Yahya jelas tidak asing lagi. Sebab, semua cucunya adalah santri Kiai Yahya. Kecuali saya, yang tidak berkesempatan nyantri di Raudlatul Ulum I. Tetapi berkesempatan untuk belajar di kampus yang dulu ia perjuangkan, IAI Al-Qolam.
Baca Juga: 3 Ribu Orang Hadiri Peringatan Haul KH Yahya Syabrowi di Gondanglegi
Siapa sangka, hari ini saya berkesempatan menuliskan kisahnya. Duduk di kamar belajar dan bersanding dengan buku biografi KH. Yahya Syabrowi yang saya pinjam dari Perpustakaan Raudlatul Ulum I.
Mengenal KH. Yahya Syabrowi
KH. Yahya Syabrowi atau yang kerap dikenal sebagai Kiai Yahya merupakan ulama yang berasal dari Gondanglegi, Malang. Ia dikenal sebagai ulama yang tawadhu, istikamah, cinta akan ilmu sekaligus mukasyaf. Pendiri sekaligus Pengasuh Pondok Raudhlatul Ulum I Gondanglegi ini lahir di Sampang, pada tahun 1907 dan wafat tahun 1987.
Menurut riwayat, pendidikan awal yang didapatkan oleh Yahya muda adalah hasil dari didikan orang tuanya sendiri, KH. Syabrowi. Kegigihannya dalam menuntut ilmu membawanya kepada Kiai Makki Sampang untuk melanjutkan pendidikan selama delapan tahun. Bersama Kiai Makki, ia dipercaya untuk membantu mengajar di pondok tersebut.
Selepas itu, pengembaraan ilmu ia dilanjutkan ke pondok pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo yang diasuh oleh KH. Khozin. Berkat kepandaian ia, ia mendapat kepercayaan untuk mengajarkan kitab kuning. Tak berhenti di situ, pada tahun 1937, Yahya muda merantau bersama pamannya, KH. Bukhori ke desa Ganjaran untuk menyebarkan ilmu agama.
Baca Juga: Antisipasi Penolakan Pendirian Ponpes, DPRD Kabupaten Malang Usulkan Perda Penyelenggaraan Pesantren
Hingga setibanya ia di Ganjaran, pamannya menikahkan Kiai Yahya dengan anaknya sendiri, Mamnunah Bukhori. Keluarga yang dibina oleh Kiai Yahya dikaruniai putra-putri yang berjumlah 14. Di antaranya, Khozin, Rosyidah, Asiyah, Munifah, Ahmad Hariri, Hamimah, Muhammad Sa’id, Mahmudah, Qoshidah, Ghoniyah, Khosyi’ah, Jazilah, Muklis dan Muhammad Madarik.
Namun, meskipun sudah berkeluarga, semangat untuk menuntut ilmu tidak pernah surut. Hal ini terbukti bahwa ia masih sering mengikuti pengajian kilatan kepada gurunya di Sidoarjo, tepat di bulan puasa.
Namun, siapa sangka, dari perjuangan berat itulah, Kiai Yahya menjadi seorang alim ulama seperti sekarang ini. Ia menjadi tokoh sentral di Malang Selatan, dan jasa-jasanya terus hidup sampai sekarang.
Stephen R.Covey dalam buku Everyday Greatness menyebutkan bahwa, “sesekali dunia menyaksikan tindakan heroik atau menemukan orang yang memiliki bakat langka. Tetapi, kebanyakan orang tahu ada jenis kehebatan lain yang cenderung lebih terpendam secara alami, kehebatan yang luput dari tajuk surat kabar”.
Baca Juga: Para Perempuan Fenomenal Penulis tentang Pesantren, Ada Sosok Favoritmu?
Padahal, kehebatan itu adalah kehebatan yang menurut pendapatku layak mendapatkan penghormatan yang lebih tinggi, bahkan yang lebih dihargai. Aku menyebutnya Everyday Greatness, Kehebatan Sehari-Hari KH. Yahya Syabrowi yang menginspirasi hingga saat ini
Everyday Greatness KH Yahya Syabrowi
Apa yang terlintas dalam pikiran Anda tentang kehebatan? Apakah tentang membangun 1001 candi dalam semalam? Apakah tentang memenangkan Olimpide? Atau tentang mendapatkan gaji Rp1 M dalam satu bulan? Everyday Greatness berbicara tentang siapa sosok seseorang, bukan apa yang dimilikinya, lebih tentang perbuatan kecil, sederhana dan bermakna.
Everyday Greatness berbicara mengenai kehebatan sehari-hari, yang dilakukan langkah-langkah kecil oleh orang tersohor di dunia, seperti: John Baker, Walt Disney, Maya Angelou, dan lainnya termasuk juga KH. Yahya Syabrowi. Inilah kehebatan sehari-hari yang dimiliki oleh seorang alim ulama masyhur asal Ganjaran, Gondanglegi.
1. Kontribusi
Sepuluh tahun sejak tahun 1937 ia bermukim di desa Ganjaran, ia merintis lembaga pendidikan madrasah yang bernama Miftahus Shibyan yang hari ini dikenal menjadi Raudlatul Ulum. Pondok pesantren Raudlatul Ulum 1 (PPRU 1) yang didirikan oleh KH. Yahya Syabrowi selepas Agresi Belanda II, tepatnya pada tahun 1949 masehi itu merupakan salah satu pondok masyhur di daerah Malang.
Awalnya, PPRU 1 hanya terdiri dari bangunan asrama yang amat sederhana. Perpaduan dari bambu, kayu dan daun tebu menjadi aksesoris awal pesantren ini. Kemudian, kelak PPRU 1 mengalami peningkatan hingga menjadi pondok yang luas dan maju seperti saat ini.
Kemajuan ini dibuktikan dengan semakin banyak pendidikan formal yang ada di PPRU 1. Antara lain, MI Raudlatul Ulum Putra dan Putri, MTs Raudhlatul Ulum Putra dan Putri, SMP Pesantren Raudhlatul Ulum, MA Raudhlatul Ulum Putra dan Putri, SMK Al-Khozini Putra dan Putri. Sedangkan pendidikan informalnya adalah madrasah diniyah dan TK/RA Raudhlatul Ulum.
Selanjutnya, pada tahun 1985 Kiai Yahya bekerja sama dengan KH. Utsman Mansoer, salah satu pendiri Unisma Malang, membuka Fakultas Syari’ah Unisma di desa Putat Lor. Fakultas yang kini menjadi IAI Al-Qolam itu dimaksudkan untuk menjadi jenjang lanjutan bagi para siswa lulusan madrasah Aliyah rintisannya dan madrasah Aliyah yang lain.
Tak hanya sebagai pendiri, Kiai Yahya juga berkontribusi dalam proses belajar mengajar. Selayaknya pesantren salaf pada umumnya, dia membina para santri dengan berbagai pengajian kitab kuning seperti Tafsir Jalalain, Rayadhussolihin, dan kitab Gramatikal bahasa Arab (Nahwu-Sorrof, Ibnu Aqiel)
Kitab-kitab itu sebagai bacaan rutin yang terus menerus diulang seusai salat magrib hingga menjelang Isya. Dan, selepas salat zuhur, Kiai Yahya membaca kitab Al-Iqna dan ditambah kitab kecil lainnya dengan metode sorogan.
Inilah kontribusi yang diberikan oleh Kiai Yahya. Ia tidak berpangku tangan dan mementingkan diri sendiri. Ia memilih untuk berkontribusi pada umat.
2. Kemurahan Hati
Pada masa awal Kiai Yahya mendirikan pesantren, perjalanan dakwah ia tidak berjalan dengan mulus. Hal ini lantaran, warga setempat tidak langsung menerimanya. Bahkan di lingkungan ia masih banyak tempat-tempat yang dijadikan sabung ayam, perjudian dan lain sebagainya.
Pernah suatu hari, pada saat diadakan pertunjukkan Ludruk yang bertempat di sebelah pesantren, Kyai Yahya tidak langsung menegur atau membubarkan para warga. Tindakan ia justru sebaliknya, perlahan mendekati warga.
Kadang di pagi hari, ia berkeliling kampung untuk menyapa para warga. Dari berkeliling inilah ia akhirnya tahu alasan mengapa mereka tidak pernah salat dan lupa waktu saat sedang bekerja. Tak berhenti disitu, Kiai Yahya kerap kali menyumbangkan gula pada saat latihan ludruk, memberikan uang kepada warga yang tidak mampu, bahkan sering memberikan sebungkus rokok kepada warga. Inilah kemurahan hati yang dimiliki oleh Kiai Yahya.
Tak hanya murah hati kepada para tetangga, Kiai Yahya juga dikenal sangat dermawan kepada santrinya. Ia pernah memiliki pohon manga tepat di depan rumah ia. Ketika sudah musimnya tiba, buah manga di pohon itu berbuah lebat. Bahkan sampai-sampai banyak buah manga yang matang masih berada di dahan pohon dan dimakan codot.
Lebatnya buah tersebut tentu saja juga membuat santri-santrinya tergiur. Tapi mereka tidak berani untuk mengambil atau meminta buah-buah itu. Pernah ada satu santri, yang mungkin saat itu begitu inginnya untuk menikmati mangga, ia memanjat dan dia sangat kaget ketika ketahuan oleh Kiai Yahya.
Kiai Yahya lantas meminta ia untuk memetik semua mangga yang matang, lalu dibagi dua. Satu untuk ditaruh di ndalem, satunya dibagi-bagikan ke para santri.
3. Perhatian
Di antara banyaknya kesibukan Kiai Yahya, perhatian ia terhadap santrinya sangat luar biasa. Terutama mengenai kedisiplinan belajar di madrasah. Hal ini tampak ketika waktunya para santri berangkat sekolah, ia pergi memeriksa kembali keberangkatan para santri, hingga kadang sampai pergi ke kamar-kamar mereka.
Untuk mengecek apakah santri-santrinya benar-benar sudah berangkat. Hal ini tidak hanya berlaku pada para santri, tetapi juga pada para guru. Jika masih ada yang masih belum berangkat menuju madrasah, maka ia akan menyuruh untuk memukulnya sekalipun dia seorang guru. Perhatian kecil semacam inilah yang membawa dampak besar bagi para santri. Kiai Yahya tidak melupakan nilai satu per satu orang.
Perhatian itu, juga terlihat dari dalam cerita dari seorang santri ia. Ia pada suatu ketika, pernah kehabisan bekal hidup ketika masih nyantri, karena kiriman orangtuanya tak kunjung datang, maka ia kemudian memutuskan untuk meminta izin kepada Kiai Yahya agar diperbolehkan pulang.
Kiai Yahya bertanya alasan ia hendak pulang, sebab saat itu bukan waktu liburan pesantren. Ia pun menjelaskan keadaan yang dialaminya. Mendengar hal itu, Kiai Yahya kemudian dawuh agar ia meminta beras ke Nyai Mamnunah untuk digunakan, dan ia pun tidak perlu pulang.
4. Tanggung Jawab
Suatu hari dalam perjalanan ke rumah dr. Ansori (dokter di Rumah Sakit Islam Gondanglegi), Kiai Yahya sempat gelisah atas jabatan yang disandangnya di RSI Gondanglegi. Hal yang memberatkan ia kala itu adalah hal yang mungkin sama sekali tidak dipikirkan oleh orang lain.
Ia sangat memikirkan pakaian yang digunakan untuk perawat perempuan di rumah sakit itu. Jika menggunakan celana, maka akan serupa dengan laki-laki. Tetepi, jika mereka diharuskan memakai rok, tentu akan menyulitkan perawat saat bekerja, apalagi jika sedang menangani pasien yang kritis.
Mereka akan kerepotan berjalan cepat sehingga penanganan terhadap pasien akan lambat. Kiai pun terus berpikir. Apa yang harus ia lakukan. Di satu sisi, ini adalah tanggung jawabnya sebagai penasihat rumah sakit, di sisi lain ia tidak ingin melakukan kesalahan karena membiarkan perawat perempuan membuka auratnya.
Dengan sepeda motor bersama abdi ndalemnya, Kiai Yahya mendapatkan inspirasi dari orang-orangan sawah. Kayu-kayu yang diikat itu dibuat hingga menyerupai manusia, berkerudung dan memakai baju panjang hingga melewati pinggang lengkap dengan celananya.
Dengan pakaian seperti itu kan tidak menyerupai laki-laki dan perawat perempuan tetap bisa melaksankan tugasnya dengan baik. Jika permintaan itu diterima oleh para dokter dan perawat, Kiai Yahya tetap bersedia menjadi Dewan Penasihat di RSI.
Setelah itu, ia dawuh kepada abdi ndalemnya, “khawatir saya meninggal duluan, kalau pakaiannya berubah, kamu pegang pintu Rumah Sakit Islam itu dan bilang; Yahya Syabrowi keluar dari penasehat Rumah Sakit Islam. Kalau berubah pakaiannya.”
5. Disiplin
Menurut alumni, Kiai Yahya sering bepergian jauh dan datang malam pukul 03.00 pagi. Letih, tentu saja. Namun, itu tidak membuat ia meninggalkan rutinitasnya untuk salat malam dan mengajar kitab tafsir setelah salat subuh. Datang dari mana pun dan jam berapa pun, jika waktunya untuk mengajar, ia akan tetap datang, meskipun telat.
Dan kedisiplinan ini berulang kali ia lakukan. Pernah suatu kali, ia telat cukup lama untuk mengajar. Para santri kembali ke kamar karena mereka mengira Kiai Yahya tidak akan datang. Tapi nyatanya tidak, ia marah dan memeriksa ke kamar santri satu per satu untuk segera kembali ke tempat belajar. Sontak para santri berhamburan kembali ke kelas masing-masing.
Kiai Yahya terkenal sebagai sosok yang dalam urusan apa-apa selalu tegas dan disiplin. Kalau salah, ya salah dan harus diberikan sanksi sebagaimana mestinya. Peran ia sebagai guru selalu mengajar tiap hari, menjadikan ia menjadi seorang pendidik yang tidak pandang bulu, mengajar dengan tegas dan ikhlas agar muridnya benar-benar mengerti dan mendapatkan ilmu yang bermanfaat.
Kalau ada santri yang ‘rame’ ketika waktunya belajar atau sekolah, ia tidak segan-segan melemparkan batu bata pada mereka. Ketika ia mengajar kitab-kitab ilmu nahwu dan sharaf, ia juga sangat disiplin dalam mendidik para santri. Karena kedua ilmu tersebut merupakan jembatan untuk memahami ilmu-ilmu yang lain.
6. Integritas
Menurut H. Asroji (seorang abdi ndalem), Kiai Yahya sangat berhati-hati dalam setiap perbuatannya. Tidak hanya hal-hal yang berkaitan dengan ubudiyah saja, tetapi meyangkut hal lain dalam berumah tangga ia lakukan sesuai tuntunan syariat. Mulai dari urusan bersih-bersih hingga urusan melayani tamu kesemuanya ia ajarkan dengan detail, tertib, dan sangat telaten.
Asroji bercerita, di beberapa saat ketika ia melakukan bersih-bersih dan menemukan beberapa kitab masih berserakan di meja ia, Asroji diajari bagaimana caranya membersihkan dan menyusun kitab-kitab itu sesuai penempatannya. Ia mengajari bahwa urutan penempatan kitab-kitab itu dimulai dari kitab-kitab syariat ditaruh paling bawah, kemudian kitab hadist dan yang paling atas adalah kitab suci Al-Quran.
Selain itu, suatu hari, Asroji pernah diberi tugas supaya tidur di komplek pondok putri. Patuh kepada sang Kyai, bagi santri adalah harga mati. Asroji menjalankan perintah itu dengan ikhlas. Pada saat itu pondok putri memang kerapkali mendapat gangguan dari pihak-pihak yang tidak suka dengan keberadaan pondok pesantren.
Sebagai santri terpercaya, Asroji diperintah untuk tidur sekaligus memastikan keamanan santri-santri putri. Rupa-rupanya, perintah dari ia tidak diketahui oleh pengurus Pesantren terutama pengurus keamanan.
Akibatnya, Asroji mendapat masalah dan surat skorsing pun sudah selesai ditulis. Pengurus pondok saat itu beberapa diantaranya adalah KH. Khozin Yahya (putra KH. Yahya), KH. Qosim Bukhori, adik ipar ia dan KH. Mursyid Alifi, menantu ia. Untuk menindaklanjuti sanksi kepada Asroji, pengurus sowan kepada Kyai Yahya. Sesaat setelah Kyai membaca surat sanksi itu, ia berdawuh, “kalau begitu, yang menyuruh juga harus dihukum). Betapa terkejutnya para pengurus-pengurus itu.
Itulah salah satu bentuk integritas yang amat luar biasa dan selalu ia jaga dan diajarkan kepada keluarga dan para santrinya. Oprah Winfrey pernah berkata, “integritas sejati adalah melakukan hal yang benar, padahal tahu bahwa tidak akan ada seorang pun yang tahu apakah kita melakukannya atau tidak.” Dan integritas sejati inilah yang dimiliki oleh KH. Yahya Syabrowi.
7. Kerendahan Hati
KH. Yahya tidak pernah merasa jika dirinya adalah orang mulia dan bangga akan gelar ‘kiai’ yang disematkan masyarakat kepadanya. Pernah suatu hari ketika salah seorang santri yang mengabdi di ndalem ia membutuhkan bantuan santri lain, ia disuruh meminta tolong pada santri lain.
Lantas ia pun merasa heran akan hal itu, sampai-sampai ia sempat berhenti diam di depan musala dan bergumam dalam hatinya, “mengapa kiai kok tidak langsung menyuruh para santri saja, padahal kan sangat pantas memerintah para santri.”
Melihat wajah santri tersebut yang seolah memendam sesuatu, Kiai Yahya pun memanggil dan menyanyakan apa yang sedang dipikirkan. Akhirnya Kiai Yahya pun menjawab, “memangnya para santri itu datang ke sini dipekerjakan kepada saya? Saya ini cuma katanya orang-orang itu pintar baca kitab.” Mendengar jawaban tersebut, dia pun langsung bergegas ke pondok melaksanakan amanah sang guru.
Meskipun kerendahan hati bukanlah sesuatu yang bisa diraba. Kita mengenalnya saat kita menyaksikan dan kita merasakan saat kita mendengarnya. Seperti yang dilakukan oleh KH. Yahya Syabrowi.
8. Visi
Pada masa awal berdirinya lembaga pendidikan Raudlatul Ulum, corak dan ciri khas pesantren salaf sangat melekat dalam segala pelaksanaan proses pembelajaran di madrasah ini. Tetapi, seiring dengan perkembangan zaman, Kiai Yahya memiliki visi untuk mengembangkan madrasah ini secara lebih luas.
Ia merancang apa yang harus dilakukan, kapan akan melakukannya dan bagaimana ia harus menyelesaikannya. Akhirnya, Kiai Yahya dibantu oleh beberapa tokoh lainnya termasuk Drs. KH. Mursyid Alifi (menantunya, Putra KH. Se-namah pengasuh PPRU II), kemudian berinisiatif mengembangkan lembaga pendidikan ini dengan memasukkan kurikulum dari pemerintah.
Semenjak itulah madrasah Raudlatul Ulum semakin pesat perkembangannya dan mulai diminati. Masyarakat menilai Raudlatul Ulum merupakan lembaga pendidikan yang mampu menempatkan diri di ruang dan waktu sesuai tuntutan perkembangan zaman.
Bahkan konon, siswa yang belajar di sana mencapai jumlah hingga ribuan yang berasal dari berbagai daerah seperti Sukosari, Gondanglegi, Panggung Rejo dan hampir seluruh daerah di kabupaten Malang.
9. Inovasi
Siapa sangka, di balik latar belakang ia dalam bidang pendidikan pesantren murni, ternyata tak menghalangi ia untuk berinovasi. Sebagaimana disaksikan langsung oleh Kiai Mastuki yang saat itu menjadi kaula abdi dalem dan yang selalu diajak kemana pun ia pergi.
Suatu saat terjadilah sebuah pertemuan yang diprakarsai oleh 11 orang, termasuk di antara inisiatornya adalah KH. Yahya Syabrowi. Tujuan pertemuan itu adalah untuk membangun sebuah rumah sakit yang dapat digunakan untuk membantu masyarakat Gondanglegi dan sekitarnya dalam keperluan pelayanan kesehatan. Rumah sakit inilah yang kemudian menjadi salah satu rumah sakit ternama di Gondanglegi, yaitu Rumah Sakit Islam Gondanglegi.
Pelajaran yang dapat dipetik dari Kiai Yahya adalah kunci menumbuhkan inovasi dengan menjawab kebutuhan yang ada di masyarakat. Seperti Kiai Yahya yang selalu ingin bermanfaat, gigih dan luas pengetahuannya sehingga dapat melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang. Selain itu ia adalah karakter kepekaan terhadap kemaslahatan kehidupan masyarakat (faqi-han bi mashalih al-khalq).
10. Empati
Pada awal pembangunan pesantren dulu, area pesantren tidak begitu luas. Kiai Yahya memperluas wilayah pesantren dan tempat tinggal keturunan ia dengan cara menyicil sedikit demi sedikit. Membeli sepetak demi sepetak tanah hingga sampai seluas seperti sekarang. Ketika Kiai Yahya ingin memperluas area komplek pesantren di sebelah timur, ada satu kejadian yang melibatkan pertikaian antara santri dan tetangga kampung.
Saat itu, Kiai Yahya mengutus salah satu santri untuk mendatangi rumah tetangga yang lahannya akan dibangun pesantren itu. Namun, ketika santri tersebut tiba, pemilik tanah justru marah-marah karena menganggap tanah tersebut masih menjadi miliknya. Kemudian santri tersebut kembali dan mengaduh kepada kyai yahya. Lalu, jawaban Kiai Yahya membuat santri tersebut terharu.
“Sudah biarkan saja dulu, meskipun tanahnya sudah dibeli. Memang orang itu tidak punya rumah. Sudah biar saja dulu.” Sikap Kiai Yahya tersebut mencerminkan rasa empati yang tinggi. Ia melihat orang lain masih membutuhkan tanahnya. Maka ia tidak langsung mengambilnya.
11. Kegigihan
Kiai Yahya dikenal sangat menjaga salatnya untuk selalu berjemaah dalam kondisi apa pun, bahkan saat ia sakit. Ada cerita ketika ia dalam keadaan sakit parah di ujung masa sebelum wafat. Ia hanya bisa berbaring saja di ranjang. Ketika ia mendengar iqomah dari musala pesantren, ia bersusah payah segera bangkit untuk mengimami salat.
Dan saat itu, untuk duduk saja ia terlihat begitu kepayahan. Salah satu putrinya yang tidak tega melihat kejadian tersebut menganjurkan ia agar salat sendiri saja di kamar dengan duduk. Namun, ia menolak dengan keras dan berkata, “ya bentar, dicoba dulu. Nanti kalau gak bisa, baru (tidak usah ke musala).”
Selain dalam menjaga sholat berjemaah, ia juga gigih dalam menjaga salat malam. Ia selalu menjaga waktu yang sudah menjadi kebiasaan ia bangun pada jam satu malam. Menurut ibu Nyai Mamnunah, pada awalnya ia bangun jam tiga malam, tapi menginjak semakin sepuh, ia bangun sekitar jam satu atau setengah dua. Dan ketika bangun ia akan langsung pergi ke kamar mandi. Sekalipun hawa dingin atau hujan.
Di masa-masa akhir ia sebelum wafat, ketika itu ia bangun malam pukul setengah satu. Ia meminta abdi ndalemnya untuk mengantarkan ke kamar mandi. Ia berjalan dituntun dan dipapah oleh abdi ndalem karena kondisi kesehatan yang menurun.
Untuk keperluan wudlu’ air dihangatkan yang kemudian dikucurkan oleh Nyai Mamnunah di setiap basuhan. Sedang ia sendiri berwudlu dalam kondisi berbaring dipapah oleh abdi ndalem ia. Kemudian ia salat, zikir dan seterusnya hingga menjelang waktu Subuh. Hal ini adalah kebiasaan ia yang terus-menerus dilakukan sampai ia wafat.
Dari abdi dalem ia yang disuruh menemani tidur selama 3 tahun itu, diceritakan bahwa setiap kali melakukan salat malam pasti ia memikirkan santri-santrinya dan mendoakan mereka. Ia selalu mengusahakan bangun malam meski ketika sedang sakit parah.
Subhanallah, sungguh luar biasa sekali kegigihan yang Kiai Yahya miliki. Kegigihan yang memang layak membawa Kiai Yahya menjadi sosok yang patut diteladani oleh semua orang.
12. Kesederhanaan
Setelah melanjutkan pendidikan di Kiai Makki, pengembaraan ilmu Kiai Yahya dilanjutkan ke pondok pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo yang diasuh oleh KH. Khozin. Di pesantren inilah, Yahya muda tumbuh menjadi anak yang sederhana dan tidak mudah mengeluh. Dua karakter ini diceritakan dalam kisahnya saat tak membawa perlengkapan apa pun ketika berangkat ke Pesantren Panji.
Keperluan yang ia bawa adalah hal-hal yang berhubungan dengan belajarnya saja, seperti: kitab, buku, pena dan lainnya. Bahkan, menurut cerita yang beredar, Yahya muda hanya memiliki satu setel baju yang ia gunakan setiap hari. Saat baju tersebut terlihat lusuh, ia akan menuju sungai (tempat para santri berbersih) untuk mencuci pakaiannya.
Sembari menunggu pakaiannya kering, ia berendam di dalam sungai untuk tetap menjaga auratnya. Jika pakaiannya sudah kering, barulah ia keluar dari dalam sungai untuk mengenakan baju yang telah bersih dan suci itu. Bahkan, saat Kiai Yahya hidup penuh kecukupan, ia tetap memilih hidup yang sederhana. Kesederhaan inilah yang tergambar jelas dari penuturan keluarga dan santri-santrinya.
Penulis: Rahayu SJ (Magang)
Editor: Herlianto. A