MALANG – Perubahan usia minimal pernikahan yang tercantum dalam UU No. 6 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tak lantas membuat angka pernikahan anak menurun.
Sebelumnya, batas usia seseorang agar bisa menikah adalah 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan. Tiga tahun lalu, sejak disahkannya UU No. 6 Tahun 2019, batas usia bertambah menjadi 19 tahun baik untuk laki-laki maupun perempuan.
Meski begitu, masyarakat Indonesia bisa memohon dispensasi kepada Pengadilan Agama setempat agar bisa menikah meskipun usia mereka belum mencapai 19 tahun.
Permohonan dispensasi harus disertai dengan alasan yang sangat mendesak dan bukti-bukti pendukung yang cukup. Pengadilan juga harus mendengarkan pendapat kedua belah calon mempelai sebagai pertimbangan.
Sepanjang tahun 2021, terdapat 1.711 permohonan dispensasi nikah yang dikabulkan Pengadilan Agama Kabupaten Malang. Angka ini merupakan tertinggi di Jawa Timur.
“Kabupaten Malang berada di urutan pertama terbanyak memberikan dispensasi nikah di Jawa Timur. Disusul Kabupaten Jember. Kami meyakini yang tidak tercatat pasti lebih banyak,” ungkap Juwita Hayyuning Prastiwi, Pakar Perempuan dan Politik di Koalisi Perempuan untuk Kepemimpinan (KPuK).
KPuK sendiri merupakan organisasi non-profit. Saat ini memperjuangkan hak-hak anak dan perempuan di Kabupaten Malang yang terjebak dalam pernikahan anak.
Angka pernikahan anak di Kabupaten Malang pada tahun 2021 tidak berbeda jauh dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Perubahan batas usia di UU No. 16 Tahun 2019 yang seharusnya mencegah pernikahan anak justru membuat jumlah pemohon dispensasi nikah semakin tinggi.
Juwita berharap dispensasi nikah tidak diberikan dengan mudah. Ia menganggap dispensasi nikah ini tidak sejalan dengan tiga undang-undang.
“Praktik dari dikabulkannya dispensasi nikah ini sebenarnya mengkhianati tiga undang-undang. Pertama, UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup dan tumbuh kembang. Lalu UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,” paparnya.
Pernikahan di bawah umur memiliki dampak yang serius pada anak-anak. Sebanyak 85 persen anak-anak yang menikah tidak melanjutkan pendidikan atau putus sekolah. Ini juga akan mempengaruhi kondisi ekonomi mereka ke depannya.
Kemudian 41 persen anak-anak yang menikah mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Hal ini terutama dialami pihak perempuan. Dalam pernikahan dini, kebanyakan hanya pihak perempuan yang masih di bawah umur, sementara pihak laki-laki sudah berusia dewasa.
Pernikahan anak juga bisa berdampak pada kesehatan ibu dan anak. Ibu yang melahirkan saat masih di bawah umur memiliki risiko meninggal lima kali lebih besar saat melahirkan dibandingkan ibu yang berusia dewasa.
Anak yang dilahirkan juga memiliki risiko meninggal yang tinggi. Saat lahir dengan selamat pun, 40 persen anak yang dilahirkan akan memiliki risiko stunting.
Melihat dampak-dampak tersebut, Juwita meminta Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, dan Dinas Sosial Kabupaten Malang untuk turun tangan dalam menangani anak-anak, yang sudah terlanjur melakukan pernikahan dini.
“Ada tiga dinas utama yang bisa diberi kewenangan untuk melakukan penanganan pascapernikahan dini. Pertama Dinas Kesehatan yang berkaitan dengan risiko kematian ibu dan stunting pada anak. Kedua, Dinas Pendidikan berkaitan dengan anak-anak yang putus sekolah setelah menikah. Terakhir Dinas Sosial berkaitan dengan KDRT,” ujar Juwita.
Terakhir, Juwita mengaitkan pernikahan anak dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Kabupaten Malang yang masih rendah.
“Mengutip data IPM di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur, Kabupaten Malang menempati ranking ke-24,” ungkapnya.
Melansir bps.go.id, IPM merupakan indikator yang bisa digunakan untuk melihat kualitas hidup masyarakat di suatu tempat. IPM dibentuk oleh tiga dimensi dasar, yaitu umur panjang dan hidup sehat, pengetahuan, dan standar hidup layak.
Pernikahan anak dapat menurunkan kualitas kesehatan, pendidikan, dan ekonomi mereka. Oleh karena itu, untuk membentuk masyarakat yang berkualitas dengan IPM tinggi, pernikahan anak perlu dicegah dan ditangani dengan baik.
Reporter: Aisyah Nawangsari Putri
editor: jatmiko