KOTA BATU – Dinas Kesehatan Kota Batu terus berupaya untuk menurunkan angka balita stunting. Salah satu caranya dengan menggelar workshop antropometri dan pemberian makan bayi dan anak (PMBA) atau cara pengukuran tubuh dimensi manusia dari tulang, otot dan jaringan adiposa atau lemak, dan untuk menentukan stutus gizi anak.
Penilaian status anak dilakukan dengan membandingkan hasil pengukuran berat badan dan panjang/tinggi badan anak. Pengukuran ini salah satunya untuk mengetahui apakah balita mengalami stunting atau tidak.
Menurut Emi Kusrilowati Kasi Kesehatan Keluarga dan Gizi Masyarakat Dinas Kesehatan Kota Batu menyampaikan, di Batu pernah tercatat angka balita stunting yang cukup tinggi. Tetapi setelah diteliti secara mendalam/dilakukan validasi ulang untuk pengukuran berat badan dan tinggi badan ternyata ada kesalahan pengukuran pada balita.
“Sehingga seolah-olah angka stunting di Kota Batu tinggi, padahal itu salah satu penyebabnya adalah kurang tepat dalam pengukuran,” ungkap dia.
Misalnya pengukuran menggunakan timbangan dacin dengan penyeimbang yang kurang pas atau juga ketika mengukur tinggi badan memakai meteran itu cara mengukur yang dilakukan oleh kader kurang tepat.
Sehingga oleh dinkes dan nutrisionis puskesmas bersama bidan desa harus dicek lagi dan ternyata ditemukan ada yang kurang tepat. “Kalau timbangan yang pakai timbangan dacin dengan penyeimbang pakai pasir agar lebih tepat dan untuk pengukuran tinggi badan menggunakan micritoise,” ujar Emi.
Untuk itu lanjut dia, melalui workshop tersebut para petugas pengukuran/kader balita sudah diberi pelatihan tentang tata cara pengukuran yang benar. Misalnya ketika mengukur panjang badan bayi harus dilakukan oleh tiga orang. Dua orang memegang bayi agar tidak bergerak gerak, satu orang melakukan pengukuran.
Nah, selama ini masih banyak pengukuran dilakukan oleh satu orang. Sehingga ketika bayi bergerak ukurannya menjadi berbeda dengan ukuran yang sebenarnya.
Diungkapkan oleh Emi, pada tahun 2019 lalu tercatat ada 700 bayi stunting di Kota Batu. Angka tersebut dinilai jauh lebih rendah dibanding dengan data sebelumnya yang mencapai 1.400 bayi. “Setelah diukur ulang ternyata hanya 700 bayi yang dinyatakan stunting, padahal sebelumnya tercatat 1.400,” terang dia.
Sementara itu, untuk pelayanan di masa pandemi, petugas atau kader posyandu dan bidan yang menjadi mitra dinkes mengunjungi rumah warga. Dengan ketentuan setiap ada 10 bayi/lewat dasa wisma dijadikan satu dan kemudian diadakan kunjungan ke sana.
Tujuannya agar pertumbuhan mereka bisa tetap terpantau dengan maksimal. Karena bila selama tiga bulan berturut- turut bila tidak ada kenaikan berat badan /pertumbuhan bayi tersebut maka akan terus dipantau.
Jika diketahui tidak ada perkembangan yang baik maka akan dilakukan rujukan berjenjang mulai dari puskesmas diperiksa lebih lanjut kenapa tidak ada kenaikan berat badan dan tinggi badan balita tersebut. Apakah ada penyakit lain pada balita tersebut, dan jika ditemukan maka bisa dirujuk ke rumah sakit untuk ditangani oleh dokter spesialis anak.
Dikatakan Emi, selama ini jika ada bayi yang tidak mengalami perkembangan biasanya ada penyakit penyerta, seperti jantung bocor atau gangguan pada jantung atau penyakit penyerta lain nya.
Penyebab yang lain misal karena pola asuh atau pemberian makan yang tidak tepat. Yaitu memberi asupan yang tidak memiliki protein terutama protein hewani. Termasuk pemberian makan setelah asupan ASI 6 bulan (ASI eksklusif) juga bisa mempengaruhi.
Untuk itu, kepada para ibu menyusui setelah ASI eksklusif diminta untuk memberikan asupan yang tepat bagi bayi. Misalnya jika memberi makanan pendamping ASI jangan asal membeli makanan, tetapi harus dicek dulu kebersihan dan kandungan gizinya. (lid)