MALANG – Fenomena mahasiswa yang bekerja mungkin sudah menjadi hal yang biasa terjadi di hampir seluruh kampus di Indonesia, tak terkecuali kampus-kampus di Malang.
Namun, sering terjadi dilema diantaranya para mahasiswa dimana pekerjaan ini seringkali mengganggu jadwal perkuliahan. Sehingga membuat para mahasiswa ini harus memilih antara mendapatkan cuan atau penilaian.
Lalu, kenapa sih para mahasiswa ini mau merepotkan diri dengan tetap berkuliah sambil bekerja?
Seperti yang Dicky Hanafi, mahasiswa semester 12 jurusan Desain Komunikasi Visual, Universitas Negeri Malang (UM). Yang mengatakan bahwa kuliah sambil bekerja karena adanya gengsi di lingkungan pertemanannya.
“Latar belakangku bekerja sambil kuliah karena dulu aku anak vokasi, kesadaran untuk bekerja ini sangat penting walaupun bukan penghasilan utama buat hidup. Kemudian juga karena aku lulusan vokasi, rata-rata temanku sudah bekerja, jadi lebih banyak lingkunganku sendiri yang membentuk diriku,” tuturnya saat dikonfirmasi pada Jumat (23/07/2021).
Dicky bahkan menceritakan kalau dulu sebelum kuliah sebenarnya ia sidah bekerja dulu di perusahaan percetakan dan pabrik. Lalu kesadaran buat kuliah sebenarnya gak ada, Tapi kemudian orang tua Dicky ingin agar anaknya lulus S1.
“Kemudian memilih kuliah bekerja karena kita sudah dewasa, jadi gak enak kalau harus minta uang jajan ke orang tua. Sejak semester satu itu juga aku sudah gak pernah minta uang jajan,” bebernya.
“Aku sendiri pada dasarnya suka jalan-jalan, tapi masalahnya gak punya uang. Jadi gimana caranya aku bisa jalan-jalan seperti naik gunung dengan uang sendiri,” sambungnya.
Tapi, pria asli Malang ini mengatakan sebenarnya kuliah sambil bekerja bukanlah hal yang buruk kalau bisa mengatur waktu.
“Soalnya saat saya jaga warung kopi mulai sore sampai subuh, kemudian paginya tidak tidur langsung kuliah, tetap beres kuliahku dan nilainya mulai A sampai B aja. Jadi, mulai semester satu itu aku sudah bekerja sebagai penjaga warung kopi meskipun uangnya cuman cukup buat beli rokok dan jalan-jalan,” ceritanya.
“Lalu saat awal-awal masuk gojek itu lumayan bisa buat bayar UKT sampai pameran. Soalnya juga dari jurusanku sendiri membutuhkan budget yang tinggi,” imbuhnya.
Dicky bahkan pernah membuktikan bahwa bekerja tidak menggangu kuliah saat semester 1 dan 2. Saat itu ia meraih IPK mencapai 3,6 di semester tersebut.
“Malah yang menghancurkanku itu ikut organisasi seni di jurusanku, tapi jadwal organisasi kuliah banyak berbenturan dengan jadwal kuliah. Karena kalau pekerjaan itu kita hanya dituntut disiplin dan memiliki gairah untuk produktif. Sementara jadwal di organisasi terlalu random, dan aku dulu pernah mati-matian ikut organisasi sampai kuliahku terganggu,” tandasnya.
Dicky sendiri bisa sibuk dengan 3 aktivitas tersebut karena merasa di pekerjaannya waktu itu jarang bisa bertemu teman-temannya.
“Aku takut gak berkembang, soalnya aku punya prinsip kuliah itu tidak hanya cari ilmu tapi juga teman yang banyak. Akhirnya bagaimana caranya agar organisasi harus bisa juga aku jalani, tapi memang ada keuntungan dari hal yang saya korbankan seperti jaringan yang luas,” ungkapnya.
Saat ini karena sedang mengerjakan skripsi, Dicky merasa harus ada skala prioritas.
“Sebenarnya kalau skripsi dikerjakan 3 bulan sudah selesai. Jadi, selama 3 bulan ini skala prioritas untuk skripsi, lalu pekerjaan diturunkan intensitasnya,” tukasnya.
Sama halnya dengan Dicky, Rexy Reynaldi Praditama, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang jurusan Ilmu Komunikasi. Ia menilai bahwa bekerja juga memiliki manfaat tersendiri.
“Sekarang selain kerjakan skripsi, kerja freelance sebagai penulis artikel. Kalau sulit memang sulit, tapi buka sulit yang susah, cuman kalau lulus nantinya kuta memiliki pengalaman dan punya kepercayaan diri,” tuturnya.
Ia juga menerapkan skala prioritas untuk memilih apakah akan mendahulukan pekerjaan atau tugas kuliah.
“Pernah kejadian deadline bertabrakan dengan tugas, tapi aku sendiri selalu menerapkan prioritas yang utama. Misalnya saat ini yang prioritas kerjaan maka aku tinggalin kuliahku, cuma kalau kuliah ini penting maka aku aku utamakan kuliah, jadi fleksibel,” bebernya.
“Alhamdulillah selama ini dapat pekerjaan yang kaku yang harus selalu ontime, dapat yang fleksibel untuk waktuku sendiri,” sambungnya.
Saat ini, pemuda asal Lampung ini sedang tahap mengerjakan skripsi, dan belum ada masalah berarti. Namun, ia menceritakan jika dulu pernah ada masa dimana kuliah terlantar akibat pekerja.
“Kalau untuk waktu skripsi gak ada kendala, cuman dulu waktu pelajaran sempat ada masalah dimana aku harusnya lulus salah satu mata kuliah, tapi terganjal kerjaan akhirnya gak lulus. Itu waktu tahun 2018 aku mulai kerja-kerja di event organizer atau yang sifatnya volunteer,” ujarnya.
“Setelah mengulang ini akhirnya kerjaan aku lepas, karena sifatnya event jadi kadang sebulan sekali atau sebulan 2 kali,” tambahnya.
Ia juga sempat menceritakan bahwa saat mahasiswa baru sampai semester 6, ia belum menyadari pentingnya pekerjaan dan uang, benar-benar masih bergantung orang tua.
“Kemudian kebutuhan buat rokok dan happy-happy selalu terbatas. Kemudian mencoba menggeluti di ojek online, dan ternyata setelah saya geluti kok enak, aku kok malah mengerti banyak hal dari dunia pekerjaan. Kemudian berpikir bahwa kerja ini lebih banyak positifnya,” tuturnya.
“Lalu karena aku memang tidak aktif di organisasi mahasiswa yang formal, kalau pengalaman kerjaku kurang, maka dari situ akhirnya aku tekuni pekerjaan tersebut,” ucapnya.
Bekerja sambil kuliah tentu sempat membuat orang tuanya khawatir. Orang tua Rexy mempertanyakan kenapa dirinya mulai menjadi sopir ojek online.
“Katanya apa gak capek apalagi ngojek aku selalu pas malam. Tapi saat saat aku kasih tau kalau hasilnya lumayan, akhirnya lama kelamaan mungkin karena kondisi keuangan di rumah mulai menipis juga, akhirnya beliau mendukung,” bebernya.
Terakhir, ia juga memberi tips untuk memilih pekerjaan yang tidak mengikat, salah satunya freelance.
“Tapi, kalau memang kebutuhannya banyak, ya harus siap tang mengikat. Kemudian harus aktif komunikasi dengan bos, kalau ada masalah diobrolkan aku yakin keluangan waktu akan didapatkan,” pungkasnya.
Di tempat terpisah, Neni Eka Meidyningsih, mengatakan memang dari awal datang ke Malang memang berencana untuk bekerja sambil kuliah.
“karena sebelumnya di rumah juga bekerja, tapi karena permintaan orang tua disuruh lanjut kuliah makanya saya kuliah. Tapi, karena dari keluarga juga minim biaya buat kuliahin jadi pilihannya ya kuliah sambil bekerja. Untungnya memang ambil kuliahnya ini yang masuk malam buat karyawan,” bebernya.
Perempuan asal Probolinggo ini menceritakan awal perkuliahannya ia sudah mulai melamar kerja di mana-mana dan mulai kerja-kerja serabutan.
“Baru di semester tinggi itu aku menemukan pekerjaan tetap, saya ambil ini karena jam kuliah mulai berkurang dan jam nganggurnya lebih banyak,” kenangnya.
Mahasiswi Jurusan Industri Media Komunikasi, Sekolah Tinggi Teknik Malang, ini mengatakan jika tentu ada kesulitan untuk berkuliah sambil kerja.
“Saya sempat cuti kuliah juga tahun 2017 ke 2018 habis lulus D1, karena kebetulan program dari kampus itu setelah lulus D1 ada 2 pilihan buat lanjut, cuti atau terminal tapi tetap berstatus masih mahasiswa. Jadi, masih ada peluang buat nabung dan menata keuangan lagi,” tuturnya.
Pernah ada juga komentar dari keluarga besar Neni yang mengatakan buat apa kerja jauh-jauh kalau sebenarnya di kota sendiri sebenarnya juga ada.
“Tapi, seandainya aku bekerja di kampung halamanku aku merasa stuck, ya kalau gak kerja di pabrik, ya daftar PNS, atau melamar di mana sesuai peruntungan. Aku merasa seperti orang yang cukup nekat karena punya banyak keinginan untuk mencoba hal baru. Aku juga tipe irang yang ingin mengembangkan apa yang ada di potensiku. Misalnya aku kan suka nulis, dan nulispun di kotaku gak akan banyak yang minat. Paling cuma segelintir orang yang minat, dan itupun gak merata minatnya,” tegasnya.
“Dan aku melihat di Malang ini apapun bisa jadi, mulai dari anak muda yang punya bisnis kecil-kecilan, yang punya outlet sampai sekarang punya kafe. Itu aku pikir banyak kemungkinan, jadi kita bisa mengembangkan potensi kita ketika tidak berada di zona nyaman,” imbuhnya.
Nilai-nilainya juga sempat turun karena kesibukannya bekerja saat mulai bekerja menjadi marketing salah satu perusahaan.
“Pastinya sempat ada pikiran capek, nilaiku bahkan sempat turun saat semester 4-6, saat itu karena terlalu fokus ke pekerjaan tapi pekerja sebelum yang sekarang. Itu lebih memforsir waktu, karena pekerjaannya lebih ke marketing. Jadi, ketemu orang terus, dan saat waktunya selalu dekat jam kuliah tapi tugas juga belum dikerjakan sehingga akhirnya gak masuk kelas,” ujarnya.
“Nilai turun akhirnya otomatis harus memperbaiki, akhirnya semester itu nilaiku pas-pasan. Kemudian mulai semester 6,7, dan 8 ini waktu mulai longgar dikit buat disesuaikan. Tapi memang capek, tapi ini memang jadi pilihan dan ini resikonya,” bebernya.
Terakhir, Neni berharap dengan segala pengalamannya selama ini, suatu hari bisa melanjutkan usaha almarhum ayahnya.
“Aku anak dari wiraswasta, ayahku itu dulu pernah punya usaha salon dan barbershop, tapi saat ayah meninggal itu usahanya berhenti karena gak ada yang ngelanjutin. Pikirku sambil aku nambah relasi, nambah ilmu di sini, ingin tahu strategi bisnis manajemen dan lainnya. Nantinya ingin nerusin itu entah di kampung halaman entah di kota rantau. Jadi, biar aku pulang tidak dengan tangan hampa, tidak hanya sekedar kuliah habis itu wisuda lalu pulang dan menikah,” pungkasnya.
Reporter : Rizal Adhi Pratama
Redaktur : Sujatmiko