Oleh: Ulul Azmy*
Sore itu, Sabtu (9/12/202), langit masih mendung dan hujan tak kunjung henti. Mendadak banyak grup di WhatsApp mengabarkan kejadian erupsi — atau disebut pemangku kebijakan dengan istilah ‘guguran awan panas’— dari Gunung Semeru, gunung berapi tertinggi di Pulau Jawa.
Mulanya, saya mencoba untuk tidak reaksioner atas informasi ini karena dalam setahun ini banyak kabar erupsi, namun terbilang aman. Lagipula, saya juga sedang menikmati jatah hari libur. Lamat-lamat sejumlah videopun beredar mengabarkan langit di sana sampai gelap gulita, padahal hari masih sore.
Orang-orang di sana berteriak dan menangis histeris dengan mengucap kalimat istighfar. Tak lama lagi, video lain mulai muncul dan menampakkan kondisi rumah warga tertutup abu vulkanik tebal. Korban jiwa sudah mulai disebut. Lebih dari satu orang.
Saya mulai bangun. Namun masih mencoba tenang. Tak lama kemudian, sebuah video menampakkan Jembatan Gladak Perak terputus. Ya, jembatan favorit nan menantang para pengendara saat mengakses jalur selatan di Lumajang itu kini telah roboh, tak tersisa.
”Jembatan Gladak Perak, Piket Nol, putus. Habis tak tersisa,” ucap Fotografer Tugu Malang, Bayu Eka Novanta atau akrab disapa Mas Ben menjawab pertanyaan saya, M Ulul Azmy.
Waktu itu, saya juga spontan menghubungi Bayu, yang memang orang asli Tempursari, Lumajang, menanyakan kondisi di sana. Hanya dia yang tahu seberapa parah kondisi di tanah pegunungan kelahirannya itu. ”Parah, Sam. Berangkat kita?,” jawabku sejurus kemudian.
Saya dan Bayu, bukan kali pertama datang langsung meliput bencana erupsi Semeru. Sebelum ini, kami juga telah meliput erupsi Semeru pada 1 Desember 2020 lalu. Beda tiga hari. Tapi waktu itu, dampaknya belum sedahsyat sekarang. Ada apa dengan Semeru di Bulan Desember?
Singkat cerita, kami memutuskan berangkat pukul 02.00 WIB dini hari dari Malang. Sebenarnya, kami berdua ingin langsung berangkat malam itu juga. Namun hujan masih terus mengguyur sehingga kami tunda hingga cuaca benar-benar kondusif.
Perjalanan ke lokasi memakan waktu hampir lima jam dengan kontur jalan pegunungan dan banyak jalan berlubang. Kami tidak ingin celaka karena berita. Sayapun santai-santai dulu menyiapkan keperluan harian yang saya estimasikan hidup untuk 1-2 hari.
Namun ekspektasi saya salah. Saya harus tinggal di lokasi bencana sampai tiga hari. Bahkan, rekan-rekan media besar lain terpaksa harus menetap hingga 6-7 hari. Kondisi di sana jauh dari kata nyaman karena harus berhadapan dengan hujan abu yang terus turun secara periodik.
Celana dan jaket yang saya bawa hanya sepasang, begitu juga kaos dan lainnya. Tiga hari di sana sudah membuat saya merasa jijik dengan diri sendiri. Lepek, lengket, dan berdebu hingga rambut terasa jadi gimbal. Beruntung saya masih bawa keperluan mandi dan pengharum tubuh.
Kami tidak sendiri. Dini hari itu, dari Malang kami berangkat bersama para fotografer dan wartawan senior Malang lainnya. Total gerombolan ada 10 orang. Perjalanan jadi terhibur jika dibandingkan pada erupsi 2020 lalu di mana kami hanya berangkat berdua.
Di setengah perjalanan, kami transit di Polsek Ampelgading. Ternyata di sana juga sudah ada banyak wartawan senior lain sedang beristirahat dan menyiapkan sejumlah perangkat.
Sekira pukul 05.45 WIB, kami sampai di perbatasan Kecamatan Candipuro-Pronojiwo, sekitar 1,5 km dari Jembatan Perak. Sampai di sana tengkuk saya mulai bergidik. Serasa ada di dunia fiktif.
Pohon-pohon tropis berwarna putih bertumbangan menutup sebagian jalan. Artinya, ada badai dahsyat yang diperkirakan kecepatan angin saat itu bisa sampai 60-70 knots/jam.
Melihat pemandangan seganas itu, saya tidak bisa membayangkan apa yang dirasakan orang-orang semalam. 10 menit perjalanan, dari kejauhan, saya mulai melihat lautan lahar dengan asap mengepul-ngepul. Masih monga-monga, kalau orang Jawa Timur bilang.
Sampai di jembatan Piket Nol itu, saya hanya bisa geleng-geleng kepala. Saat saya tanya-tanya ke warga, mereka mengamini bahwa ini adalah erupsi paling ganas. Diperkirakan masih ada banyak orang dan kendaraan yang tertimbun lahar dingin di bawah sana.
Di sebelah jembatan, ada warung kopi yang sudah ditinggal pemiliknya. Isi gelas-gelas kopi masih terlihat segar. Hitam. Di warung, kopi-kopi kemasan sachet dan minuman-minuman ringan lain masih tertata rapi. Namun sudah berselimut abu tebal.
Oh ya, saya juga sempat iseng ‘mbludus’ mengecek akses jembatan lama yang sudah ditutup. Lokasinya ada di sebelah utara jembatan baru. Jalan menuju jembatan lawas jaman kolonial ini kini sudah ditutup bangunan warung kopi.
Kondisi memang sepi karena hampir tidak tersentuh pandangan orang-orang yang terpusat di jembatan baru. Sendirian, saya iseng-iseng menengok ke belakang warung. Hanya ada musala, kamar mandi, dan beberapa joglo.
Lokasi jembatan lama ada di ujung. Tandanya ada dua tebing batu besar yang membentuk sebuah gapura jembatan. Sejurus kemudian, saya sudah berada di bibir jembatan yang sudah putus tersebut dan saya merasakan getaran.
Seolah memijak papan loncat dan kemudian terjun bebas. Tapi tenang, saya tidak terjun dan justru berlari kembali. Hingga saat ini, saya masih heran dan mengategorikannya sebagai halusinasi atau memang tanah penopangnya sudah ikut terkikis.
Bertemu Mas Bayu yang sedang memotret di belakang warung kopi, saya lega. Saya sadar masih selamat walafiat. Saya memilih untuk tidak cerita ke siapapun waktu itu. Hanya di sini saja.
Total kami berdua mencurahkan tenaga, otak, dan materi di sana selama tiga hari tiga malam. Jarak adalah bagian paling menyita konsentrasi dan tenaga. Masing-masing lokasi, baik dusun terdampak, lokasi pengungsian, dan jembatan terpaut waktu 10-15 menit.
Belum lagi hembusan debu vulkanik yang terbang seiring kendaraan lewat juga menyita emosi dan tenaga kami untuk mengucek mata. Beruntung, di samping gapura Desa Supiturang ada warung yang mungkin nanti menyimpan banyak kisah bagi banyak orang.
Warung lesehan itu cukup besar dan banyak colokan listrik. Warung paling dekat untuk menuju daerah liputan prioritas dan narasumber. Mulai dusun terdampak, posko pengungsian, balai desa, dan jembatan. Tentu sangat mendukung kerja kami. Bahkan setiap melihat warung itu, hati saya merasa lega.
Makanannya enak dan murah. Meski hanya ada dua menu saja, lalapan dan pecel. Paling penting adalah kopi. Hanya saja, lokasinya tepat berada di pinggir jalan raya dengan debu vulkanik yang beterbangan dan tak habis-habis. Saya yakin, apa yang ada di dalam organ kami sudah terkonsetrasi dengan abu vulkanik.
Kendala lain yang menyusahkan bagi kami pekerja media di sana adalah susah sinyal. Terutama di hari pertama dan pengguna kartu provider proletar. Di hari pertama itu, kami bahkan merelakan diri turun jauh ke kawasan Ampelgading untuk mengirim berita. Waktu perjalanannya satu jam.
Di hari kedua, kami memilih tinggal di dekat sana. Kami bersama wartawan media lain menyewa sebuah rumah warga di Desa Oro-oro Ombo untuk tempat singgah. Di sana kami juga dibantu dipinjami genset agar tetap dapat bekerja meski listrik padam. Kami menemukan tempat aman, meski masih dihantui suara gemuruh Gunung Semeru.
Di sisi lain, warga di tempat pengungsian sudah mulai gerah. Banyak dari mereka mulai rasan-rasan meminta jatah bantuan yang padahal distribusinya sudah berlimpah ruah. Sementara, lokasi dapur umum yang dibuat, bagi saya jaraknya terlalu jauh dari lokasi bencana. Entah apa maksudnya.
Kami bergerak berkeliling sejak pagi hingga malam hari. Kesana kemari untuk keperluan dan tanggung jawab menyajikan karya jurnalistik yang akurat dan terverifikasi. Sebisa mungkin kami membuat berita yang tidak membuat panik para pembaca di luaran sana. Meski otak juga sudah lelah.
Semua lelah kami seketika buyar waktu bos kami, Irham Thoriq memberikan pesan singkat. ”Tinggal di mana di sana? Nanti ada apa-apa bilang saja ke Bayu. Jangan sampai kelaparan ya di sana,” ujar Thoriq pada kami, sekaligus mengirim gambar bukti transfer. Saya dan Bayu hanya bisa tersenyum lebar dan berjabat kepalan tangan. 🤜🏽🤛🏽
Sudah empat hari ini kami meninggalkan rumah tercinta di Kota Malang. Setelah mengukur daya dan upaya, kami putuskan sudah cukup. Jaket dan celana kami sudah lepek. Sudah waktunya kami pulang untuk istirahat. Bertemu anak, bertemu pacar, dan orang tua.
Semoga, rekan-rekan wartawan kami dan relawan yang masih tetap bertahan diberi keselamatan dalam bertugas. Begitu juga para warga setempat untuk senantiasa diberikan kesehatan dan kesabaran luar biasa. Yakin saja untuk bangkit lagi, nanti setelah keadaan sudah membaik.
*Penulis merupakan wartawan Tugu Malang ID