Oleh: Sugeng Winarno*
DEMAM Citayam Fashion Week merambah ke sejumlah wilayah. Tak terkecuali di Kota Malang. Muncul Gerakan Kayutangan Street Style yang sudah mulai viral dipergunjingkan di media sosial (medsos). Sejumlah muda-mudi berlenggak-lenggok di zebra cross layaknya di catwalk. Mereka bukan model dan tak mengenakan baju rancangan designer terkenal. Dengan baju dan dandanan seadanya mereka bergaya bak model top ibukota.
Para remaja belasan tahun itu selanjutnya memfoto dan memvideokan aksi jadi model dadakan itu sebagai konten di aneka platform medsos. Hingga muncullah aneka konten aksi catwalk jalanan di TikTok, Instagram, Facebook, YouTube, dan sejumlah akun medsos lain. Demi konten medsos inilah yang menjadi motivasi kuat para remaja yang menggunakan ruang publik jalan dan tempat umum untuk mendemonstrasikan aksinya.
Fenomena seperti Citayam Fashion Week sejatinya bukan yang perdana. Sejak lama aksi catwalk jalanan sejatinya sudah muncul. Namun fenomenanya dulu tak mampu semeledak sekarang. Medsoslah yang menjadikan aksi peragaan busana amatiran itu tersebar luas dan menjadi perbincangan publik. Keunikan perilaku ini mengundang banyak anak-anak muda ingin mencoba atau sekedar menyaksikan aneka konten yang diunggah di medsos.
Bukan Dominasi Kelas Atas
Munculnya catwalk jalanan membuktikan bahwa urusan peragaan busana bukan lagi dominasi mereka yang berada di kalangan atas. Acara fashion show tak harus di hotel-hotel megah dengan baju rancangan para designer terkemuka. Para peraga busananya pun tak musti harus seorang model. Tak butuh syarat postur tubuh, tinggi dan berat badan, atau syarat harus memenuhi kriteria good looking.
Menilik Citayam Fashion Week atau Kayutangan Street Style, banyak di antara anak remaja yang mengenakan busana apa adanya. Bahkan tak jarang busana yang mereka kenakan dari membeli di toko baju bekas. Seperti diketahui saat ini muncul tren berburu pakaian bekas import. Dengan busana bekas pakai ternyata mampu membuat mereka tetap percaya diri dan memamerkan busana tersebut di ruang publik.
Fashion busana daur ulang ini memang unik karena tidak umum seperti layaknya acara peragaan busana yang biasa. Inti dari aksi catwalk jalanan bukan soal baju dan dandanannya, tetapi keunikannya karena tampilan nyentrik dan apa adanya. Fashion jalanan ini telah mendekonstruksi pemahaman banyak orang selama ini tentang fashion show sebagai simbol kalangan jetset semata.
Fashion jalanan sejatinya merupakan aktualisasi dan ekspresi diri. Kalau selama ini banyak anak-anak remaja yang hanya dapat menyaksikan para model papan atas berjalan di catwalk dengan busana spesial melalui layar televisi atau YouTube, kini mereka bisa mencoba dan merasakan sensasi lewat catwalk jalanan. Disinilah sejatinya urusan fashion tak lagi dominasi kalangan tertentu. Semua orang punya hak yang sama dalam menyalurkan kreativitasnya.
Fenomena peragaan busana di jalan sesungguhnya juga menunjukan demokratisasi jalan. Jalanan dan areal sekitarnya sebagai sebuah ruang publik menjadi hak siapa saja untuk dapat memanfaatkannya asalkan sesuai dengan tata aturan yang berlaku. Jalanan ternyata bisa sebagai sebuah etalase kreativitas karya bagi anak-anak remaja dan bagi siapa saja. Untuk itu seperti Citayam Fashion Week, Kayutangan Street Festival, atau tajuk lain dari peragaan busana catwalk street sejatinya merupakan wadah kreativitas yang perlu terus di-support.
Masyarakat sangat butuh ruang-ruang publik yang inklusif sebagai sarana berinteraksi dan mengembangkan potensi diri. Lewat sarana seperti kawasan Kayutangan Herritage sejatinya bisa menjadi public space yang bisa berbuah menjadi public sphere yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Untuk itu, jangan pernah coba-coba mematikan atau membungkam aksi kreativitas jalanan seperti untuk fashion show ini.
Siapa yang Untung?
Siapa sejatinya yang diuntungkan dari munculnya catwalk jalanan ini? Jawabnya tentu beragam. Yang jelas, para kreator konten adalah salah satu pihak yang bakal memanen rezeki dari aksi fashion jalanan itu. Tempat yang dijadikan lokasi konten juga akan terpromosikan lewat beragam konten yang diunggah banyak orang. Nilai promosi sebuah wilayah akan cepat menyebar luas, apalagi kalau konten yang dibuat mampu memikat dan viral.
Multi Player Effect yang muncul dalam setiap fenomena busana jalanan sangat besar. Ekonomi juga dapat hidup karena dari peristiwa itu bermunculan orang yang berjualan makanan dan minuman, tukang parkir, jasa foto dan video, serta beragam jasa lain. Para kreator konten medsos juga bermunculan dan mendapatkan monetisasi dari konten-konten mereka yang berhasil meraup banyak penonton. Para artis dadakan akan diuntungkan dari fenomena fashion jalanan ini.
Kreativitas warga juga tersalurkan karena ada wadah. Hal inilah yang akan menciptakan keseimbangan kehidupan dari setiap warga masyarakat. Ruang-ruang publik menjadi termanfaatkan dengan baik. Rasa keadilan juga dapat tercipta karena ruang publik tak eksklusif tetapi lebih inklusif dapat menerima dari semua kalangan. Harmonisasi kehidupan akan tercipta selaras dengan kemajuan pembangunan.
Sejatinya kreativitas memang tanpa batas. Untuk itu memberi wadah guna berkembangnya kreativitas menjadi kewajiban bersama. Kolaborasi antar sejumlah pihak terkait menjadi penting guna menciptakan atmosfir berkesenian dan berkebudayaan yang nyaman. Karena kreativitas tak mungkin dapat tumbuh tanpa lingkungan yang mendukung berkembangnya ide-ide kreatif tersebut.
Semoga munculnya Citayam Fashion Week dan Kayutangan Street Style tak sekedar karena latah ikut-ikutan yang lagi viral, namun gerakan ini bisa menjadi wadah munculnya ide-ide kreatif anak muda dan hadirnya ruang-ruang publik yang inklusif yang dapat dimanfaatkan masyarakat dengan baik. Biarkanlah ruang-ruang publik dimanfaatkan oleh publik dari kalangan manapun. (*)
*). Penulis adalah Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
editor: jatmiko
—
Terima kasih sudah membaca artikel kami. Ikuti media sosial kami yakni Instagram @tugumalangid , Facebook Tugu Malang ID ,
Youtube Tugu Malang ID , dan Twitter @tugumalang_id