MALANG, Tugumalang.id – Masyarakat adat memiliki peran penting dalam menjaga iklim. Namun, keberadaan mereka masih sering dipandang sebelah mata. Bahkan, masih ada jutaan hektare hutan adat di seluruh Indonesia yang masih belum diakui pemerintah.
Penegasan itu disampaikan Senior Advisor Komunitas Konservasi Indonesia Warsi, Rudi Syaf pada Green Webinar yang diselenggarakan AMSI dan BBC Media Action, belum lama ini.
Keberadaan masyarakat adat, lanjut Rudi, terbukti bisa menjaga kelestarian hutan yang ada di Indonesia. Salah satu contohnya adalah masyarakat hukum adat Marga Serampas yang tinggal di sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Sebagian dari mereka bermukim di Desa Rantau Kermas, Kecamatan Jangkat, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi.
Baca Juga: Suarakan Darurat Iklim, 8 Musisi Nasional Konser Ramah Lingkungan di Malang
Marga Serampas memiliki aturan yang ketat sehingga tidak ada yang bisa menebang pohon di hutan secara sembarangan, apalagi untuk dibuka menjadi lahan pertanian. Mereka juga menentukan mana saja wilayah yang bisa dijadikan lahan pertanian dan wilayah mana yang harus dilindungi.
Rudi Syaf menjabarkan bahwa tata ruang Desa Rantau Kermas terbagi menjadi beberapa bagian. Di antaranya adalah tanah ajum arah, tanah arai, dan tanah ulu aik.
Tahan ajum arah berarti wilayah ini boleh dimanfaatkan untuk dijadikan lahan pertanian ataupun pemukiman. Kemudian tanah arai adalah hutan lereng atau kawasan yang miring dan tidak boleh dimanfaatkan. Sedangkan tanah ulu aik merupakan wilayah yang dilindungi dan tidak boleh dirusak karena merupakan sumber air bagi masyarakat di sana.
“Ulu aik dilindungi sebagai daerah tangkapan air. Tanah arai adalah lereng yang secara adat dilindungi. Tidak boleh dibuka dan dijadikan ajum arah,” jelas Rudi.
Apabila aturan tersebut dilanggar, maka pelanggar akan mendapatkan sanksi adat yakni denda satu ekor kambing, beras 100 gantang, dan uang tunai Rp 5 juta.
Marga Serampas yang tinggal di Desa Rantau Kermas hidup dari sumber daya alam. Mereka berkebun dan bertani. Hasil perkebunan dan pertanian mereka di antaranya adalah kayumanis, kopi, padi, dan sebagainya.
Apabila tercipta sebuah keluarga baru di desa tersebut yang membutuhkan lahan pertanian, maka mereka harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari pemimpin adat. “Apabila mereka sudah membuka lahan, harus segera ditanami. Ada sanksi kalau mereka hanya membuka lahan dan dibiarkan begitu saja,” tutur Rudi.
Masyarakat Marga Serampas juga menolak orang asing masuk ke dalam desa mereka. Bahkan, sempat terjadi konflik di sekitar tahun 2015-2017 karena adanya gelombang transmigrasi yang besar dan masyarakat dari provinsi lain ingin membuka lahan di Desa Rantau Kermas.
Selain menjaga hutan dengan ketat, Marga Serampas di Desa Rantau Kermas juga memanfaatkan sungai sebagai pembangkit listrik. Mereka membangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) dengan kapasitas 41 ribu watt.
Baca Juga: Dunia Darurat Iklim, Ini 3 Cara Menumbuhkan Green Behaviour di Sekolah
PLTMH ini bisa menyalurkan listrik ke 157 kepala keluarga yang ada di 127 rumah, dua masjid, sekolah-sekolah, balai desa, kantor desa, dan puskesmas. PLTMH ini juga bisa menggerakkan rumah produksi Kopi Serampas.
“Semua (aturan di Marga Serampas) ramah iklim. Bahkan ikut menyumbang upaya-upaya penuruan dari emisi yang biasanya terjadi akibat tindakan manusia untuk proses produksi. Kalau dilihat dari konteks iklim, mereka memang sangat berkontribusi besar untuk menurunkan emisi,” tutup Rudi.
BACA JUGA: Berita tugumalang.id di Google News
Reporter: Aisyah Nawangsari Putri
editor: jatmiko