Tugumalang.id – Siapa yang tak mengenal Pramoedya Ananta Toer. Dia telah melahirkan banyak karya yang berkualitas, termasuk tetralogi Pulau Buru. Bagaimana kisah Pramoedya Ananta Toer hingga melahirkan banyak karya? Tugu Malang pun akan menyajikan faktanya!
Nama Pramoedya Ananta Toer pun kembali dikenal banyak orang—terutama kalangan muda ketika bukunya yang berjudul Bumi Manusia difilmkan pada 2019. Pada saat itu, Iqbal Ramadhan berperan sebagai Minke dan Mawareva berperan sebagai Annelies. Dua anak muda yang terkenal itu memainkan perannya dengan baik. Bahkan, mereka membuat anak muda lainnya membuka mata tentang karya luar biasa yang diadaptasi dari buku sang maestro, yaitu Pramoedya Ananta Toer.
Melihat novel luar biasa yang dibuat oleh Pramoedya Ananta Toer, di antara kamu mungkin bertanya-tanya bagaimana sosok maestro ini. Tugu Malang pun bakal menyajikan 6 fakta sosok Pramoedya Ananta Toer:
1. Penulis Terbaik di Indonesia
Pramoedya Ananta Toer adalah salah satu penulis yang bagus di Indonesia. Bahkan, bisa dikatakan dia ialah penulis terbaik di Indonesia. Buku-bukunya sendiri telah diterjemahkan ke banyak bahasa, termasuk Bumi Manusia yang sudah diterjemahkan di 43 negara.
Tulisan Pramoedya Ananta Toer banyak disukai orang-orang luar. Dia adalah maestro dengan kualitas karya yang luar biasa. Karya-karyanya sarat dengan realitas sosial, kemanusiaan, dan menyentuh perasaan orang-orang di dunia.
2. Pernah Menjadi Tahanan Politik
Pada 13 Oktober 1965, Pramoedya Ananta Toer menjadi tahanan politik dan diasingkan ke Pulau Buru, Kepulauan Maluku. Dia ditahan karena menjadi bagian dari Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang merupakan organisasi sayap kiri dari PKI. Tanpa pernah diadili, Pram menjadi tahanan politik selama 14 tahun.
Beberapa orang menyayangkan ini karena Pram bukanlah kiri dalam artian yang sebenarnya. Dia bukanlah PKI. Dia adalah penulis dari organisasi yang berafiliasi ke PKI, dan memang pada saat itu Lekra-lah yang ingin menampung Pram. Teruntuk organisasi kiri Pram adalah aset, pemikiran Pram sangat luar biasa, tapi Pram tetaplah orang yang peduli dengan kemanusiaan dan ingin menjadi sebenar-benarnya manusia.
3. Karyanya Dilarang Beredar
Pada saat Orde Baru, karya-karya Pramoedya Ananta Toer dilarang beredar. Karya-karyanya seperti Bumi Manusia dianggap mengandung idelogi perlawanan yang akan memengaruhi orang-orang untuk melawan.
Padahal, Bumi Manusia adalah buku yang sangat bagus, bukan hanya tentang perlawanan kepada para penjajah, tapi perlawanan terhadap ketidakadilan, terhadap kebodohan, dan hal yang paling penting adalah tentang kemanusiaan. Di dalam buku Bumi Manusia menanamkan bagaimana seharusnya kita memanusiakan orang lain sebagai manusia, juga memanusiakan diri kita sendiri.
4. Penerima Penghargaan Utama “The Fukuoka Asian Culture Prize” Ke-11
Pramoedya Ananta Toer pada 12 September 2000 berangkat ke Jepang untuk menerima penghargaan utama “The Fukuoka Asian Culture Prize” ke-11. Penghargaan ini diberikan kota Fukuoka dan Yokatopia Foundation kepada orang yang dianggap memberikan sumbangan besar terhadap ilmu pengetahun, seni, dan budaya Asia. Pramoedya sendiri mendapat penghargaan ini karena dianggap banyak menciptakan karya-karya yang bertema kemanusiaan.
5. Pernah Dianugerahkan Penghargaan Ramon Magsaysay
Pada 19 Juli 1995, Pramoedya Ananta Toer pernah mendapatkan penghargaan Ramon Magsaysay dalam bidang jurnalisme sastra dan seni komunikasi kreatif di Filipina. Tapi, hal tersebut ditolak oleh pengarang-pengarang Indonesia.
Mereka (26 tokoh pengarang Indonesia, red) mengirim surat protes kepada Yayasan Ramon Magsaysay agar membatalkan keputusan tersebut. Hal itu dikarenakan mereka merasa Pram sudah melakukan kesalahan di masa lalu, dan tidak pantas mendapatkan penghargaan tersebut.
6. Nominasi Nobel Sastra
Sampai sekarang hanya Pramoedya Ananta Toer sastrawan asal Indonesia yang pernah menjadi nominasi Nobel Sastra. Karya-karyanya memang go international. Dia sudah berkali-kali menjadi nominator nobel sastra, tapi sekalipun belum mendapatkan penghargaan itu.
Banyak orang yang berspekulasi kenapa Pram belum mendapatkan penghargaan itu padahal karyanya sangat luar biasa. Dari menduga kualitas penerjemahan yang berpotensi menurunkan bahasa sastra tersebut, hingga permainan politik yang dilakukan orang yang berpengaruh di dalam negeri.
Penulis: Millenia Safitri
Editor: Dwi Lindawati