Tugumalang.id – Keberadaan makam wali dan ulama di Malang membuat kota ini tak hanya dikenal sebagai kota wisata dengan pesona alamnya. Namun juga kota dengan wisata religi yang memiliki sejarah peradaban islam di masa lampau. Selain beberapa destinasi wisata di Kota Malang, juga terdapat beragam situs religi yang juga tak kalah ramai pengunjung.
Malang memang tidak berada di wilayah pesisir seperti Gresik dan Surabaya yang menjadi pusat kegiatan syiar pada masa awal penyebaran agama islam. Namun terdapat beberapa tokoh ulama pada masa lampau seperti Ki Ageng Gribig, Mbah Mbatu, dan Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih yang memberi kontribusi besar bagi peradaban Islam di Malang.
Daftar Makam Wali dan Ulama di Malang
Berikut ini beberapa makam wali dan ulama di Malang yang rutin dikunjungi peziarah untuk memanjatkan doa sekaligus menjadi destinasi wisata religi di Malang.
1. Makam Ki Ageng Gribig
Makam Ki Ageng Gribig, yang terletak di kampung Gribig, Madyopuro, Kedungkandang, Kota Malang, membentuk kompleks dengan makam Bupati Malang 1-3 dan keluarganya. Kompleks pemakaman tersebut dikelilingi oleh pohon rindang yang membuat wisatawan dan peziarah makin merasa teduh.
Baca Juga: Berapa Luas Panen dan Produksi Padi di Kabupaten Malang 2023?
Banyak versi mengenai identitas Ki Ageng Gribig. Beberapa narasi masyarakat menyebutnya sebagai adik dari Syekh Maulana Ishaq (Sunan Giri), sementara sumber lain menyatakan bahwa Ki Ageng Gribig adalah cicit dari Kerajaan Majapahit dan murid kesayangan Raden Said (Sunan Kalijaga). Ada pula yang mengaitkannya sebagai cucu Prabu Brawijaya dari Kerajaan Majapahit, putra dari R.M. Guntur atau Prabu Wasi Jolodoro.
Ki Ageng Gribig, seorang ulama pada zaman Mataram, terkenal sebagai penyebar agama Islam di Jatinom dan Malang serta sekitarnya. Nama “Gribig” konon berasal dari istilah bahasa Arab “Al Maghribi,” terkait dengan nisan mirip Kesultanan Demak, meski asal usulnya masih belum pasti.
Dalam setiap perayaan haul Ki Ageng Gribig, warga setempat biasa melakukan tradisi Saparan Yaqowiyu. Dimana masyarakat membagikan kue apem pada pengunjung atau peziarah. Tradisi ini biasa berlangsung pada tanggal 15 bulan Safar kalender Hijriah.
Selain berperan dalam menyebarkan agama Islam, Ki Ageng Gribig juga turut berkontribusi dalam pengembangan pendidikan dan kebudayaan Islam di Malang. Salah satu upayanya adalah dengan mendirikan pondok pesantren sebagai tempat belajar mengaji dan ilmu-ilmu agama.
2. Makam Mbah Jago Pati
Makam ulama Mbah Jago Pati terletak di Desa Jatisari, Kertowinangin, Tangkilsari, Kecamatan Tajilan, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Nama asli Mbah Jago Pati adalah Syekh Muhammad Mahmudi bin Yusuf, dan dalam silsilah keturunannya, beliau merupakan keturunan dari Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) yang berasal dari Banten.
Pada generasi pertama yang membuka lahan di Desa Jatisari, terdapat Buyut Sareh, Buyut Marwi, dan Buyut Timah yang berasal dari daerah Pati, Jawa Tengah. Mereka memiliki tugas utama untuk berdakwah dan menyebarkan agama Islam di wilayah tersebut.
Baca Juga: 1.485 Rumah Warga Kota Malang Masuk Kategori Tak Layak Huni
Ketika awal pembukaan lahan, Desa Jatisari masih berupa hutan yang dipenuhi dengan pohon jati. Mereka melakukan penanaman dan menebang pohon jati tersebut hingga mendapatkan sari dari pohon tersebut. Dari perjuangan tersebut, desa ini kemudian diberi nama Desa Jatisari sebagai tanda dari awal perjalanan dakwah dan pembukaan lahan yang penuh makna.
3. Makam Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih
Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih, seorang ulama besar asal Hadratulmaut, muncul sebagai figur yang memiliki misi dakwah Islam saat tiba di Surabaya pada tahun 1919. Niat tulusnya untuk menyebarkan ajaran Islam menjadikan jejak perjalanan dakwahnya sebagai bagian tak terpisahkan dari sejarah keislaman.
Pada tanggal 19 November 1962, dalam usia 62 tahun, Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih menghembuskan nafas terakhirnya. Makamnya terletak di Pekamakaman Umum Jalan Masjid, Kelurahan Kasin, Kecamatan Klojen, Kota Malang, dan menjadi bagian dari kompleks bernama Qubah Imamain. Keberadaan makam tersebut membuat warga pun berisiniatif menamakan kampungnya sebagai Kampung Kramat.
Selain aktif dalam berdakwah, Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih juga menunjukkan peranannya sebagai pendidik. Setelah menjabat sebagai Direktur Madrasah Al-Khoiriyah di Surabaya, beliau mendirikan Madrasah Ar Robithoh pada tahun 1938.
Tak berhenti di situ, pada tahun 1945, Habib Abdul Qadir kembali mendirikan lembaga pesantren yang bernama Pesantren Darul Hadis Al-Faqihiyah dan Ma’had Aly di kota Malang. Perjalanan dakwah dan kontribusi pendidikannya menciptakan warisan keislaman yang terus dihormati dan diwariskan.
4. Makam Mbah Batu
Makam Mbah Mbatu terletak di Jalan Masjid, Dusun Banaran, Desa Bumiaji, Kecamatan Batu, Kota Batu. Di kompleks makam Mbah Wastu ini, kita juga dapat menemukan tiga makam lainnya, yaitu makam Pangeran Rojoyo, makam Dewi Mutmainah, dan makam Kyai Naim.
Mbah Mbatu alias Mbah Wastu bukan hanya seorang tokoh penyebar agama Islam, tetapi juga memiliki keterkaitan erat dengan sejarah berdirinya Kota Batu. Ulama yang memiliki nama asli Syekh Abdul Ghonaim disebut-sebut sebagai sosok yang terlibat dalam pembukaan lahan di kawasan tersebut.
Awalnya, masyarakat akrab memanggilnya Mbah Tu, dan dari situlah, seiring berjalannya waktu, panggilan tersebut bermetamorfosis menjadi Mbatu, yang kemudian diyakini sebagai cikal bakal nama Kota Batu.
Mbah Wastu dikenal sebagai murid dari Pangeran Rojoyo, anak dari Sunan Kadilangu, yang merupakan cicit dari Sunan Kalijogo. Kehadirannya di tempat tersebut bermula dari upaya pelarian dari kejaran pasukan Belanda bersama istrinya, Dewi Condro Asmoro, yang notabene adalah putri Prabu Suito dan Dewi Anjasmoro dari Kerajaan Majapahit.
Perjalanan panjang membawa Mbah Wastu menetap di kaki Gunung Panderman. Di sana, ia mendirikan padepokan untuk memulai penyampaian ajaran agama Islam kepada masyarakat setempat.
5. Makam Habib Abdullah bin Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih
Makam Habib Abdullah bin Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih terletak di samping makam ayahnya di Pekamakaman Umum Jalan Masjid, Kelurahan Kasin, Kecamatan Klojen, Kota Malang. Kedua makam tersebut membentuk sebuah kompleks yang dikenal dengan nama Qubah Imamain.
Habib Abdullah, yang meninggal pada tanggal 30 November 1991 pada usia 56 tahun, merupakan anak dari Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih. Sejak usia tujuh tahun, dia telah mendapatkan pendidikan agama Islam dari sang ayah, bahkan hingga menghafal Al-Quran serta dua kitab hadis shahih, yaitu Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
Setelah wafatnya ayahnya, Habib Abdullah bin Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih meneruskan perjuangan dalam berdakwah dan mengasuh Pondok Pesantren Darul Hadits Al-Faqihiyyah li Ahlis Sunnah Wal-Jama’ah. Perjalanan dakwahnya dan kepemimpinan di pondok pesantren menjadi bagian dari warisan spiritual yang terus dijaga dan dilanjutkan.
Itulah beberapa lokasi makam wali dan ulama di Malang yang rutin dikunjungi para peziarah. Tak hanya sebagai tempat berdoa, kompleks makam tersebut juga menjadi destinasi wisata religi untuk meneladani perjuangan para tokoh penyebar agama Islam di Malang.
Penulis: Imam A. Hanifah
Editor: Herlianto. A