MALANG – Di awal tahun 2021, ada 180 pasangan suami istri di Kota Malang mengajukan gugatan cerai. Data kasus perceraian ini diperoleh dari Pengadilan Agama (PA) Kota Malang. Sebelumnya, hingga kurun September 2020 silam saja, angka perceraian sudah tembus 2 ribu kasus.
Penitera Muda Hukum Pengadilan Agama Kota Malang, Kasdulah, mengungkapkan bahwa tingginya kasus perceraian ini terjadi karena banyak faktor. Mulai skandal zina (selingkuh), sebab perangai buruk seperti mabuk, madat, hingga judi. ”Ada juga yang cerai karena ditinggalkan salah satu pihak atau kasus poligami,” bebernya, pada Jumat (19/2/2021).
Selain itu, kasus cerai juga ada yang terjadi karena salah satu pasangan dipenjara hingga karena kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). ”Paling dominan karena perselisihan pandangan hingga terjadi pertengkaran terus menerus. Juga karena faktor ekonomi. 2 hal ini paling banyak,” terangnya.
Dari data yang diterima, 180 kasus perceraian itu terdiri dari 119 kasus akibat faktor perselisihan dan pertengkaran secara terus menerus. Lalu, angka kasus tertinggi lainnya ialah karena faktor ekonomi dan poligami.
Sementara, faktor perceraian akibat kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menempati rangking 4 yang tercatat sudah ada 3 kasus KDRT selama kurun Januari 2021. ”Diketahui, aksi KDRT masih kerap terjadi di sekitar kita,” tandasnya.
Sebelumnya, Wali Kota Malang, Sutiaji, juga pernah menyoroti angka kasus perceraian di Kota Malang yang terbilang tinggi ini. Menurut dia, ada banyak pasangan yang sebetulnya tidak siap tapi dipaksa menikah.
Salah satunya, karena tidak siap menghadapi faktor ketidakcocokan antara suami dan istri. Sebab itulah, pembinaan pra-nikah bagi pasangan sebelum menikah dinilai cukup vital.
”Pacarannya 5 tahun, nikah setahun sudah cerai. Padahal pacaran itu sejatinya adalah proses saling mencari kesamaan sehingga nanti bisa sejalan,” ungkap Sutiaji, belum lama ini.
Selain itu, faktor lain perceraian juga berkaitan dengan faktor psikologi perorangan dan nilai keagamaan. Jika keduanya dipadukan dengan baik, maka ketidaksiapan menghadapi pernikahan bisa diminimalisir.
“Pengetahuan ini baik psikologi maupun keagamaan juga harus dipadukan. Jadi orang nikah itu akalnya iya, lalu nurani. Meskipun sudah punya insting, bagaimana kalau sudah dinikahkan itu nanti akan mampu mengeliminasi yang tidak baik,” jelasnya.
Di lain sisi, faktor ekonomi juga punya pengaruh besar. Pasalnya selama ini, masyarakat kerap ada kekhawatiran menikah dengan dalih ekonomi atau persiapan secara materi belum matang. Padahal menurut Sutiaji, ekonomi tidak jadi patokan.
”’Alasan ekonomi itu lebih bersifat justifikasi. Tapi kadang faktor ekonomi jadi alasan orang enggan segera menikah. Mestinya kalau sudah siap ya menikah saja, mampu untuk dirinya dulu,” tegasnya.
Sutiaji menegaskan, berbagai faktor ini diharapkan bisa menjadi pedoman warganya agar tidak melulu berpikir soal perceraian. ”Bagi yang tidak bercerai, tetap harus mampu bertahan dan sebaiknya merencanakan rumah tangganya dengan baik. Selanjutnya bagaimana mereka menjadi keluarga yang sakinah dan tentram,” tandasnya.
Reporter: Ulul Azmy
Editor: Lizya Kristanti