MALANG – Komunikasi dan peran keluarga, menjadi kunci utama pencegahan kasus pelecehan seksual yang kerap menimpa perempuan, utamanya anak-anak. Hal tersebut dibahas oleh para perempuan inspiratif pada salah satu segmen Women’s Talk Sexual Harassment di Dome UMM Malang, Minggu (18/9/2022).
Hadir tiga narasumber dalam event Women’s Day Out yang diselenggarakan atas kolaborasi Tugu Media Group dan Barrat Enterprise ini. Mereka adalah Himpunan Psikologi Indonesi (HIMPSI) Malang, Ratih Eka Pertiwi; Ketua Perhimpunan Perempuan Lintas Profesi Indonesia (PPLIPI) DPC Pasuruan, Wiwik Suryani; serta Kanit PPA Polres Malang, Aipda Nur Leha.
Aipda Nur Leha menuturkan bahwa berdasarkan pengalamannya menangani berbagai kasus kekerasan seksual, para korban tidak mau berbicara karena ketakutan sehingga memang harus ada edukasi sejak dini.
“Sebenarnya, faktor penyebabnya (kekerasan seksual) kebanyakan dari keluarga sendiri. Banyak korban yang kami tangani di unit PPA adalah korban (berasal) dari kurangnya harmonis keluarga dalam lingkup rumah tangga,” kata dia.
Dalam praktiknya, tugas unit PPA adalah penegakan hukum. Namun, pihaknya tetap bersinergi untuk bertanggungjawab pada korban dengan mengedukasi pencegahan dan mengembalikan psikis anak menjadi lebih baik bersama pihak-pihak terkait.
Seperti, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Malang sampai benar-benar pulih dan mendapatkan keadilan dalam proses penyelidikan maupun penyidikan sesuai prosedur hukum.
Sebab itu, Wiwik Suryani mengatakan bahwa, yang memiliki peran penting untuk mencegah terjadinya kekerasan atau bahkan pelecehan seksual ialah bermula dari peran orang tua dan komunikasi mereka sejak dini dalam keluarga.
“Kembali pada pengawasan orang tua. Meski tidak selalu membersamai, tapi quality time. Komunikasi, pelajari, mereka berteman dengan siapa saja, di sekolah apa saja yang dipelajari. Sehingga anak-anak terbiasa mencurahkan atau menceritakan kepada kita hal apapun dan hal-hal yang seperti pelecehan seksual agar bisa dihindari,” ujarnya.
Ditambahkan Ratih Eka Pertiwi, sexual harassment sifatnya banyak, ada yang kontak maupun non kontak. Non kontak misalnya, seperti memanipulasi, bercandaan yang membuat korban tidak nyaman, cat calling dan sebagainya.
Sedangkan kontak, seperti memegang bagian pribadi atau bahkan pemerkosaan. Mendapatkan berbagai hal tersebut, tentunya akan membuat korban merasa tidak nyaman.
Salah satu cara yang bisa kembali merasa aman, yakni dengan mulai bercerita kepada orang yang dipercaya. “Tentu orang yang diajak bicara ini pastikan adalah orang yang dipercaya tidak akan membocorkan hal tersebut. Sehingga bagaimana kita merasa aman dan nyaman ketika sudah menceritakan itu pada orang lain,” bebernya.
Menurut Ratih Eka Pertiwi, hal yang membuat fenomena sexual harassment tenggelam dan tidak adanya keberanian korban untuk speak up disebabkan oleh beberapa faktor.
Di antaranya, karena pelecehan seksual termasuk peristiwa yang mengancam keamanan dan keselamatan diri. “Itu tidak mudah bagi orang yang mengalaminya, apalagi kita berada di culture yang menganggap bahwa pelecehan itu ‘aib’ yang haru ditutupi. Itu yang akhirnya mencegah korban untuk speak up,” imbuhnya.
Padahal, hal tersebut akan berdampak, terutama psikologis korban, baik jangka pendek maupun jangka panjang. “Misal, akan timbul kecemasan, depresi, bahkan sulit menjalin relasi romantis karena sulit percaya pada orang lain termasuk pasangan,” papar dia.
Maka, beberapa upaya pencegahannya dapat dilakukan dengan memberikan edukasi sejak anak usia dini. Termasuk, pemahaman pada anak area mana yang dimaksud sebagai area pribadi sehingga orang lain tidak boleh menyentuh area tersebut.
“Pendidikan reproduksi, juga sudah bisa diberikan sejak anak mulai berusia 8 tahun. Masalahnya, orang-orang saat ini masih menganggapnya tabu. Padahal, ketika anak-anak punya bekal, akan menjadi kekuatan untuk melindungi mereka dari pelecehan seksual,” tandasnya.
Reporter: Feni Yusnia
Editor: Herlianto. A