MALANG – Awal September lalu 18 wartawan dan redaktur Tugumalang melaksanakan Uji Kopentensi Wartawan (UKW) bersama 16 wartawan lainnya dari berbagai media di Jawa Timur. Pelaksanaan UKW selama dua hari itu berlangsung di Gedung Pascasarjana Universitas Gajayana (Uniga) di kawasan Jalan Mertojoyo. UKW ini diselenggarakan Tugu Media Group bekerja sama dengan Solopos Institute selama 2 hari, 10-11 September 2021.
Lantaran harus datang lebih pagi, maka dari tempat menginap di daerah Sawo Jajar saya berangkat bersama Zamzuri, wartawan Tugu Jatim Biro Trenggalek, yang juga ikut UKW. Kami berdua sengaja sarapan lebih dulu yang tempatnya tak jauh dari Kampus Uniga. Akhirnya mampirlah kami berdua di salah satu deretan warung di tepian Taman Singha Merjosari.
Usai sarapan nasi pecel dan ngopi, saya bermaksud langsung ke Kampus Uniga. Namun, sesaat saya teringat pada sebuah cafe milik salah seorang teman wartawan. Kebetulan tempatnya ada di sekitar taman Singha Mertojoyo. Namanya Cafe Paijo. Pemiliknya salah seorang redaktur malangtimes.com. Namanya, Ahmad Yahya. Panggilan akrabnya Yayak.
Karena masih pukul 07.00, maka saya mengajak Zamzuri mampir ke Cafe Paijo. ”Kan masih 1 jam lagi acara dimulai. Mampir ke cafe teman di sekitar sini, gak jauh kok. Biasanya kalau pagi dia sudah datang ke cafenya,” kata saya pada Zamzuri.
Sekitar 50 meter dari tempat sarapan ke arah barat, kami temukan Cafe Paijo. Kondisinya masih sama seperti 3 tahun lalu, ketika terakhir saya mampir. Tempatnya luas, kanan-kiri berjajar meja kursi. Sedangkan di tengah untuk parkir motor.
Di pintu masuk pengunjung akan disambut iklan bando rokok ukuran besar. Sedangkan nama Cafe Paijo tertulis di sebelah kanannya. Suasana masih sepi. Karena memang baru pukul 07.00. Hanya ada dua tamu menempati meja di sisi kanan dengan segelas kopi di atas meja.
Ternyata kunjungan saya tidak sia-sia. Karena sang pemilik, sedang asyik duduk di pojok, sambil menghadap laptop. ”Assalamulaikum,” sapa saya pada Yayak.
Tentu saja Yayak terkejut, karena sepagi ini sudah kedatangan tamu jauh. Yayak langsung menjawab salam saya. ”Waalaikum salam. Ha…ha…ha. ini pasti Pak Miko mau ikut UKW ya,” kata Yayak tertawa lebar, sambil menyalami saya.
Tentu saja Yayak tahu saya ikut UKW, lantaran beberapa wartawannya (malangtimes.com) juga turut UKW di Universitas Gajayana. Lagi pula kabar saya ikut UKW pasti sudah tersebar di list tempatnya dia bekerja sebagai redaktur Malangtimes.com
Lagi pula antara saya dan malangtimes.com bukan orang asing, lantaran mulai dari direktur, redaktur hingga sejumlah wartawan, sebagian adalah mantan wartawan Koran Jawa Pos Radar Malang. Sedangkan saya sendiri pensiunan Jawa Pos Koran dan pernah membantu Radar Malang Online selama hampir3 tahun (waktu itu situsnya radarmalang.co.id. Akhirnya sekarang melebur di jawapos.com).
Setelah saya duduk, Yayak meminta waktu sebentar. Lantaran sedang memimpin rapat koordinasi liputan melalui zoom meeting dengan para wartawan Malangtimes.com. ”Bentar Pak, saya lagi meeting dengan teman-teman wartawan. Tapi sudah mau selesai, kok.”
Sambil menunggu sang juragan Cafe Paijo zoom meeting koordinasi liputan rutin harian, saya sempatkan melihat bagian belakang Cafe Paijo. Tempat itu dibatasi dengan dinding seng galvalum gelombang dengan tempat Cafe. Kemudian ada pintu untuk masuk ke lahan di areal belakang.
Tempat itu digunakan untuk pembesaran kolam lele. Dulu saya masih ingat disitu ada 10 kolam bundar untuk pembesaran lele. Ketika saya masuk ke bagian belakang, 10 kolam lele masih berada di tempatnya. Namun, setelah saya berkeliling beberapa kolam tidak ada ikan lelenya.
Saya masih berada di Kota Malang saat Yayak membuka kolam lele itu sekitar 4 tahun lalu. Setelah Cafe Paijo buka, beberapa bulan kemudian sekitar pertengahan tahun 2018, Yayak membuka tempat kuliner khusus aneka macam olahan masakan lele. Tempat kuliner itu tak jauh dari Cafe Paijo. Namanya Kedai Elele, lokasinya di Jalan Joyo Utomo Gg 1.
Di kedai Elele itu juga dijual berbagai olahan lele hasil budi daya di belakang Cafe Paijo. Seperti lele geprek, fillet lele krispi. Sedangkan menu lainnya adalah kopi tubruk, kopi keju, cokelat.
Jadi Yayak menyiapkan pembesaran lele, dan menampung lelenya untuk Kedai Elele. Jadi lele itu memang tidak dijual ke pasaran. Tapi untuk memasok Kedai Elele. Sebuah konsep bisnis yang cerdas. Jadi, tidak bingung bagaimana memasarkan lelenya setelah 3 bulan layak jual.
Saya masih ingat saat awal dibukanya Kedai Elele. Setiap pengunjung yang sudah merasakan salah satu menu olahan lele di Kedai Elele, diminta untuk follow ke IG #KedaiElele, dan menuliskan kesan-kesannya. Kemudian akan diundi sebulan sekali. Seingat saya, pemenang undian, dapat voucher untuk menikmati kembali salah satu menu di Kedai Elele secara gratis.
Cara Yayak memperkenalkan Cafe Paijo dan dan Kedai Elele juga cukup menarik. Hampir semua relasinya diundang dan diminta memberikan komentar atas menu masakan yang dimiliki Kedai Elele. Waktu saya diundang itu, saya digratiskan. Saya tidak tahu apakah relasi lainnya juga demikian.
Yayak melakukan bisnis kuliner itu jelang akhir statusnya sebagai karyawan koran Radar Malang (jawa Pos Grup). Setelah itu Yayak resign dari Radar Malang, lalu konsentrasi penuh di Kedai Elele, Cafe Paijo dan budi daya ikan lele.
Selama di Radar Malang, Alumnus Unisma Malang ini memulai karir jurnalistiknya sebagai wartawan, redaktur, Kepala Biro Radar Batu, lalu redaktur pelaksana. Sampai akhirnya resign. Saya sendiri tidak tahu pasti kapan Yayak resign dari Koran Radar Malang. Kemungkinan antara tahun 2018.
”Karena pandemi, jadi agak berkurang lelenya. Untuk sementara sekarang hanya ada empat kolam berisi lele. Sisanya menunggu perkembangan pandemi,” kata Yayak ketika saya kembali ke meja, lalu tanya soal beberapa kolam tidak ada ikan lelenya.
Rencananya, Yayak akan mengisi kolam yang kosong itu untuk jenis ikan selain lele. ”Ini masih menunggu bibit ikannya,” katanya tanpa menyebut jenis ikan apa yang akan dimasukkan ke kolam itu.
Meski pandemi, dapur tetap ngebul, karena cafe Paijo tetap jalan dan masih cukup ramai, meski banyak mahasiswa mudik karena situasi pandemi selama dua tahun terakhir.
”Ya namanya bisnis ada naik turun. Nah, sekarang ini jelas menurun karena pandemi. Jadi sementara ini hanya bertahan dulu, meminimalisir tenaga, dan proses produksi. Sambil melihat peluang kuliner lainnya,” lanjutnya.
Bagi Yayak bisnis seperti ini memang sudah dicita-citakan sejak lama. Terutama keinginannya menggabungkan Sosmed, website dan tempat bisnisnya. Seperti Kedai Elele. Tak hanya itu sejumlah hasil olahan kedai Elele juga sudah melenggang dengan penjualan secara online. Seperti Kerepek Lele sudah bisa dipesan lewat Shopee.
Tak hanya itu Yayak juga rajin berbagi ilmu terkait cara berternak lele dan mengolah lele melalui Facebook dan blognya. Bahkan untuk membranding kedai Elele, Yayak juga menyelenggarakan lomba foto Gemar Makan Ikan pada tahun 2018. Lomba itu mendapat dukungan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Pemkot Malang.
Untuk pengembangan budi daya ikan lele dengan kolam bulat itu, Yayak juga belajar dari banyak orang. Selain itu mengikuti sejumlah workshop tentang budi daya lele. Maka tak heran Dinas pertanian dan ketahanan Pangan Pemkot Malang bidang perikanan memasukkan Kedai Elele dalam daftar peserta fasilitasi surat izin usaha perikanan yg diselenggarakan dinas perikanan dan kelautan pemprov Jatim, pada Februari 2019 lalu.
”Ya meski pandemi tetap harus semangat. Jangan pernah berhenti mencari terobosan baru. Kita semua berharap setelah pandemi bisnis lebih baik lagi,” pungkasnya.
Penulis/Editor: Sujatmiko