Tugumalang.id – Kesenian lama, Dongkrek, dihidupkan kembali oleh warga desa Banjarsari, Kabupaten Madiun. Hal ini sebagai salah satu upaya tradisional untuk mengatasi wabah Covid-19.
Wabah Covid-19 yang belum sepenuhnya hilang membuat warga desa Banjarsari, Kecamatan Madiun menggelar kesenian Dongkrek pada Selasa malam (31/8/2021). Kesenian berupa tarian diiringi musik tersebut diyakini dapat menangkal pagebluk yang tidak kunjung selesai.
Menurut Agus Suwarni, salah satu warga dusun Kepel, desa Banjarsari, Dongkrek merupakan tradisi nenek moyang orang Madiun terutama di daerah Caruban. Yang mana, kesenian ini dipertunjukkan ketika wabah menyerang warga dan tidak kunjung selesai.
“Mbah-mbahku dulu menggunakan donkrek untuk mengusir roh jahat yang membuat orang sakit,” terang Agus saat menyaksikan pertunjukan Dongkrek di prempatan pasar Kepel.
Pertunjukan Dongkrek tersebut dilakukan oleh beberapa orang. Ada yang berperan sebagai penari dan penabuh alat musik. Dari sisi penari di antaranya memerankan buto kolo, yaitu simbol roh jahat yang menggunakan topeng dengan taring gigi panjang dan rambut gimbal. Peran ini ada sebanyak empat orang.
Berikutnya, dua perempuan tua yang disimbolkan sebagai warga yang lemah, keduanya juga menggunakan topeng perempuan tua dan rambut warna putih. Dan, satu lagi orang tua sakti memegang tongkat. Sosok inilah yang akan mengusir buto kolo.
Sementara dari sisik musik, menggunakan bedug atau kendang yang dapat mengeluarkan bunyi “dung”. Lalu alat musik korek yang terbuat dari kayu berbentuk bujur sangkar, di ujungnya ada tangkai kayu bergerigi yang kalau digesek berbunyi “krek.” Dari bunyi alat musik “dung” dan “krek” inilah nama Dongkrek diambil.
Adapun bentuk pertunjukannya dimulai dari ketika musik dimainkan, buto kolo memasuki arena sambil menari dengan gaya agak sedikit sempoyongan. Disusul oleh perempuan tua yang kemudian dikerumuni oleh buto kolo. Ini berarti menandakan bahwa wabah atau roh jahat sedang menyerang warga.
Pada saat itu, orang tua sakti masuk dengan menari dan memegang tongkat, lalu seketika tongkat diangkat ke atas disertai bunyu “krek” yang bertub-tubu dan sangat keras. Bersamaan dengan bunyi tersebut para buto kolo jatuh tergeletak. Ini berarti bahwa roh jahat telah berhasil dikalahkan.
Pertunjukan kesenian yang sebetulnya hampir punah ini, tidak hanya berhenti di suatu tempat tetapi berkeliling di jalan batas-batas desa yang diawali dari perempatan jalan. Kesenian ini juga dilakukan pada malam hari.
“Dulu kalau Dongkrek mainnya sambil bawa obor, karena kan malam. Kalau sekarang di jalan sudah banyak mapunya tak perlu obor,” papar Agus.
Sementara itu, sejarah Dongkrek sendiri sebagaimana dilansir Wikepedia, lahir pada tahun 1867 di Mejayan, Kawedanan Caruban, Kabupaten Madiun.
Pada awalnya Dongkrek merupakan kesenian untuk mengisahkan perjuangan Raden Ngabei Lo Prawirodipuro dalam mengatasi pageblug mayangkoro. Raden Ngabei Lo adalah Palang, yaitu jabatan setingkat kepala desa.
Pada sekitar tahun 1867-1902 Dongkrek mengalami masa kejayaannya. Namun setelah ini pamor Dongkrek kian menurun, bahkan pada zaman Belanda menguasasi Indonesia sempat dilarang untuk dipertontonkan untuk rakyat.
Reporter : Roni Versal
Editor : Herlianto. A