Oleh: Masbahur Roziqi*
Tugumalang.id – Terungkapnya data tentang peningkatan kasus kekerasan di sekolah oleh Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) tentu memunculkan keprihatinan. Data FSGI mencatat jika pada Januari-Juli 2024 jumlah laporan kasus kekerasan di sekolah sebanyak 15 laporan, maka pada bulan September 2024 melonjak 12 laporan hingga total menjadi 36 laporan kasus kekerasan di sekolah (kompas.com).
Apalagi sekolah digadang-gadang sebagai rumah kedua bagi siswa setelah rumah tempat mereka pulang. Ketika terjadi kekerasan pada tempat yang seharusnya aman bagi siswa, lantas bagaimana para siswa ini akan tenang belajar?
Bagaimana mereka bisa konsentrasi melatih dan menyiapkan diri untuk menjadi anggota masyarakat yang berdikari? Tentu ini menjadi pertanyaan besar bagi setiap insan pendidikan. Terutama insan pendidikan formal.
Baca Juga: Serunya Belajar di Luar Kelas: 3 Rekomendasi Wisata Edukasi di Malang untuk Study Anak Sekolah
Sejenak tentu data tersebut membuat kekhawatiran menyeruak. Baik bagi siswa itu sendiri maupun kedua orang tua. Bagi siswa dampak negatif dari peningkatan kekerasan itu akan mencemaskan mereka. Kemungkinan siswa akan berpikir apakah mereka akan jadi korban kekerasan berikutnya?
Perundungan, kekerasan fisik, kekerasan verbal, kekerasan seksual, grooming, hingga cyberbullying akan membayangi perjalanan mereka dalam menempuh pendidikan di sekolah. Pelakunya pun bervariasi. Bisa dari teman sebaya, orang dewasa di sekolah, hingga orang dewasa atau teman sebaya di sekitar lingkungan sekolah.
Ada pun orang tua tak kalah khawatir. Mereka juga berpotensi akan mulai mencemaskan kondisi anaknya di sekolah. Bagaimana anak mereka menjalani sekolah? Apakah akan aman bersama teman-teman sebayanya di sekolah? Apakah akan terhindar dari kekerasan fisik, atau bahkan terhindar dari cengkeraman predator seksual?
Baca Juga: Cegah Laju Inflasi, Muncul Gerakan Tanam Cabai di Sekolah-sekolah di Kota Batu
Ini tentu akan terlintas pada benak orang tua ketika mengetahui peningkatan kekerasan di sekolah. Tiap orang tua pastinya berharap anak-anak mereka dapat mengeksplorasi dirinya, dan mengharmonikan dirinya dalam kehidupan heterogen di sekolah.
Namun tak dipungkiri, orang tua berharap sekolah dapat menjadi pengelola keamanan anak-anak mereka dalam melaksanakan peran pengeksploran dan pengharmonian diri di lingkungan sekolah.
Melalui semangat mendampingi anak-anak itu lah maka kementerian pendidikan, kebudayaan, riset dan teknologi (kemendikbudrisetk) membentuk satgas dan tim khusus untuk melakukan pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan atau sekolah.
Pada tingkat daerah ada satuan tugas (satgas) pencegahan dan penanganan kekerasan yang dibentuk OPD (organisasi perangkat daerah) yang menaungi urusan pendidikan yaitu dinas pendidikan.
Satgas ini tentu tidak hanya dinas pendidikan. Kolaborasinya terutama dengan lintas sektor seperti dinas yang menangani perlindungan anak, hingga dengan profesional kesehatan jiwa dan medis.
Jika pada pemerintah daerah terdapat satgas, pada tingkat sekolah terdapat pula Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Satuan Pendidikan (TPPKSP). TPPK sekolah ini yang menjadi ujung tombak pelaksanaan pencegahan dan penanganan kekerasan.
Unsur anggota TPPK ini terdiri atas perwakilan guru, perwakilan komite/wali murid, dan perwakilan tenaga kependidikan. TPPK ini lah yang berwenang untuk menangani aduan-aduan terkait kekerasan yang terjadi pada lingkup satuan pendidikan dan atau melibatkan orang-orang dalam satuan pendidikan walau kejadiannya di luar lingkungan satuan pendidikan.
Wewenang TPPK ini mulai dari penerimaan laporan, pemeriksaan/penggalian data dari pelapor, korban, terlapor, hingga orang-orang yang mengetahui kejadian kekerasan yang dilaporkan, pembuatan kesimpulan dan rekomendasi, dan penyerahan kesimpulan dan rekomendasi kepada kepala sekolah.
TPPK ini diharpakan dapat menjadi unit pengurai bila terjadi kekerasan di sekolah. Tindak lanjut atas adanya kekerasan juga dapat menjadi secercah harapan bagi korban bahwa mereka tidak sendiri dalam memperjuangkan keadilan.
Ada TPPK yang membersamai korban untuk mendapatkan keadilan atas kekerasan yang mereka peroleh. Termasuk membantu korban untuk bangkit dan menjadi penyintas yang konsisten menolak kembali untuk menjadi korban kekerasan.
Namun memang perlu menjadi perhatian bahwa TPPK bukan lembaga penegak hukum. Artinya rekomendasi-rekomendasi yang diberikan oleh TPPK tidak berkaitan dengan sanksi hukum yang bersifat pembalasan dan berkaitan dengan pidana.
TPPK bekerja dengan koridor kepenteian terbaik bagi anak dan keberlanjutan pendidikan. Faktor-faktor perlindungan hak-hak anak juga menajdi bagian tak terpisahkan dari setiap langkah tindakan dan rekomendasi yang TPPK berikan.
Sehingga mengacu pada hal tersebut, maka agaknya keliru jika ada anggapan bahwa TPPK harus melakukan segala tindakannya berdasarkan konsep tindakan pembalasan atau berkaitan dengan hukum pidana.
Selain itu TPPK juga berfokus pada pencegahan terjadinya kekerasan pada satuan pendidikan/sekolah. Hal ini tentu bisa diwujudkan dengan mengajak semua elemen warga sekolah untuk bersama mengenali jenis kekerasan dan cara pencegahannya.
Kerja sama yang apik antara semua warga sekolah untuk mengenali kekerasan ini penting. Sebab tanpa mengetahui apa saja jenis kekerasan itu, maka susah untuk mengatakan dengan pasti apa jenis fenomena kekerasan yang suatu saat pasti mereka dengar, tahu, atau rasakan. Setelah tahu jenisnya, maka baru lah dapat belajar cara pencegahannya.
Ini lah yang TPPK perlu koordinasikan untuk pada semua warga sekolah. Harapannya setelah tahu dan bisa mencegah, maka kekerasan itu tidak jadi muncul di sekolah. Atau jika indikasi awal kekerasan telah muncul, maka warga sekolah yang tahu dapat mencegahnya menjadi lebih parah tingkat kekerasannya.
Mengenai pelaporan, TPPK tiap sekolah terbuka untuk menerima laporan dalam bentuk apa pun. Baik laporan digital maupun laporan fisik langsung bertemu TPPK. Biasanya tiap TPPK di sekolah memiliki saluran penerimaan pengaduan resmi. Bisa melalui WA (whatsapp), email, DM (direct message) IG atau bahkan pelaporan langsung tatap muka melalui anggota TPPK.
Berkaitan dengan laporan, TPPK memiliki kewajiban untuk menjaga kerahasiaan pelapor. Sehingga tidak dapat diketahui siapa yang melaporkan oleh orang lain, terlebih oleh terlapor.
TPPK berfokus pada laporan yang diberikan oleh pelapor senyampang memang laporan itu mengindikasikan terjadinya kekerasan yang dialami warga sekolah. Baik itu korbannya siswa, guru maupun tenaga kependidikan.
Lantas bagaimana kiprah TPPK pada era merdeka belajar ini nanti dalam perannya mengurangi terjadinya kekerasan di sekolah? Mari kita lihat dan tunggu kiprahnya dalam melindungi siswa ke depan.
***
Rubrik catatan ini disupport oleh Toko Buku Togamas. Jika Anda ingin mengetahui lebih jauh tentang Togamas atau ingin mendapatkan buku-buku berkualitas, langsung saja KLIK INI YA. Tetapi bila Anda ingin bekerja sama dengan Togamas dalam berbagai bidang literasi lainnya, bisa langsung kontak ke sini ya: +62 851-7549-0109.
*Penulis adalah anggota Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Satuan Pendidikan SMAN 1 Kraksaan Kabupaten Probolinggo.
Baca Juga Berita Tugumalang.id di Google News
Edito: Herlianto. A