MALANG, Tugumalang.id – Kesenian Ebeg merupakan kesenian tradisional unik masyarakat Banyumas dan sekitarnya. Bentuk kesenian tarian tradisional yang menggunakan properti kuda kepang anyaman bambu ini melambangkan kegagahan prajurit Mataram saat berkuda melawan Belanda.
Tidak ada angka pasti kapan tari Ebeg ini muncul, namun diperkirakan telah ada sejak zaman Jawa kuno. Sehingga dipercaya bahwa Ebeg ini adalah warisan budaya tradisi asli jawa, khususnya Jawa Tengah.
Dalam melakukan Ebeg ini, umumnya dibutuhkan delapan penari pria. Dilengkapi dengan penari topeng yang disebut penthul, cepet, barongan, serta sintren (penari pria yang berdandan layaknya wanita di dalam sebuah kurungan atau ditutupi kain hitam). Nantinya akan didendangkan tembang Banyumasan disertai lagu-lagu berbahasa Ngapak, lengkap dengan logat khasnya.
Umumnya lagu tersebut akan menceritakan tentang kehidupan masyarakat tradisional Banyumas. Pertunjukan tari Ebeg ini umumnya diiringi alat musik yang disebut bendhe, yang memiliki ciri fisik seperti gong akan tetapi berukuran lebih kecil dan terbuat dari logam. Alternatif lainnya, menggunakan alat musik gamelan atau calung.
BACA JUGA: 5 Tarian Khas Malang, Nomor 5 Memiliki Makna Kehidupan
Keunikan tari Ebeg ini terletak pada babak janturan. Babak akhir sebelum penutupan ini adalah momen paling ditunggu-tunggu dalam seluruh rangkaian tradisi Ebeg ini. Puncak tradisi ini dapat dikatakan sebagai pesta bagi para makhluk astral.
Ketika melangsungkan babak janturan ini, para penari biasanya akan dimasuki indang (roh halus atau makhluk astral). Penari akan mendhem atau masyarakat awam kerap menyebutnya sebagai kerasukan.
Keunikan lainnya, peristiwa mendhem ini tidak hanya dapat terjadi bagi penari saja, tetapi juga bagi penonton yang turut memiliki indang. Momen babak janturan ini sangat ditunggu karena mereka bisa mendhem bersama indangnya. ‘Berbekal’ tubuh manusia sebagai medianya, para indang akan ‘berpesta’ bersama.
Orang yang mengalami mendhem akan menari dan bergerak sesuai indang yang memasukinya. Gerakannya dapat menyerupai ular, kera, kuda, harimau, prajurit atau bahkan mayat sekalipun, tergantung dengan wujud indang yang dimilikinya. Pada penghujung acara Ebeg dan para indang sudah puas berpesta, tetua adat yang dijuluki sebagai penimbul bertugas untuk mengeluarkan indang dari tubuh manusia yang dimasukinya.
Bagi masyarakat Banyumas dan penggemar tradisi ebeg, ‘memburu dan mengoleksi’ indang merupakan sebuah kegiatan yang lumrah. Untuk mendapatkan indang, perlu melakukan ritual khusus seperti melakukan puasa mutih selama 3 hari, mandi di 7 tempuran sungai, dan bertapa di petilasan. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, indang akan memilih kepada siapa mereka ingin bersama. Orang yang dipilih akan melihat wujud indang mereka atau kerasukan dan bergerak sesuai dengan wujud indang mereka.
BACA JUGA: Berita tugumalang.id
Penulis: Nurul Amelia Putri
editor: jatmiko