Tugumalang.id – Artikel ini membahas serentetan kejanggalan hukum Tragedi Kanjuruhan yang hingga hari ke-128 ini belum memberikan keadilan bagi para korban.
Malam 1 Oktober 2022 menjadi pil pahit yang harus ditelan Aremania. Laga dengan titel derbi penuh rivalitas Arema FC melawan Persebaya Surabaya tersebut justru berujung maut.
135 orang suporter menjadi korban meninggal dunia dan 600 lebih korban luka-luka akibat penembakan gas air mata ke arah tribun.
Kejadian ini membuat pecinta sepak bola di seluruh dunia terhenyak. Peristiwa brutal itu bahkan tercatat menjadi tragedi terbesar kedua di dunia sepanjang sejarah sepak bola. Suporter dari berbagai belahan dunia ikut bersolidaritas, termasuk suporter dalam negeri.
Mereka berharap penanganan hukum atas tragedi kemanusiaan ini ditegakkan seadil-adilnya, setuntas-tuntasnya. Namun hingga hari ke-120 lebih, publik justru dipertontonkan dengan banyak alibi janggal dalam proses penegakan hukumnya.
Setelah melalui proses pemberkasan perkara yang panjang dan menuai pro kontra, Kejaksaan akhirnya menerima berkas perkara itu. Namun, Forkopimda Malang meminta proses persidangan dipindah ke PN Surabaya untuk menjaga kondusifitas.
Berikut ini tugumalang.id merekam kembali sederet kejanggalan dalam penegakan hukum Tragedi Kanjuruhan mulai hari kejadian hingga hari ke-128.
1. Eskalase Kerusuhan Vs Gas Air Mata
Peristiwa itu memang berawal dari massa suporter yang turun ke lapangan. Tindakan ini ditinjau ranah hukum Komdis PSSI tidak bisa dibenarkan. Namun demikian, eskalase kerusuhan yang terjadi saat itu dinilai tidak tepat direspons dengan tembakan gas air mata. Apalagi ke arah tribun.
Sementara, jika merunut aturan FIFA, polisi tidak semestinya berada di dalam lapangan. Apalagi dipersenjatai dengan senapan gas air mata. Sejatinya, pengamanan di stadion menjadi tugas dari steward.
2. Kabar Penculikan hingga Intimidasi Saksi Suporter
Pasca tragedi, sejumlah suporter terutama yang memiliki bukti video, bahkan mengunggahnya ke media sosial melaporkan dirinya diamankan pihak kepolisian dengan berbagai cara dan alasan.
Bahkan sejumlah korban tidak merasa ditunjukkan surat resmi pengamanan. Beruntung LPSK langsung ikut turun dan melakukan advokasi.
3. Mendadak Ibu Penjual Dawet Bagikan Kronologi Palsu
Belum genap 7 hari, sejumlah isu yang tak bisa diverifikasi kebenarannya mulai berseliweran di lini masa media sosial. Mulai ibu penjual dawet yang membagikan kronologi ngawur hingga temuan botol miras di pintu stadion yang dilegimitasi sebagai biang kerok aksi kerusuhan.
Belakangan, kebohongan itu terungkap dengan sendirinya. Pelaku ibu penjual dawet meminta maaf hingga temuan botol miras yang telah diklarifikasi ternyata botol obat PMK.
4. Pintu Stadion Tertutup hingga Bukti Kamera CCTV Menghilang
Seiring merebaknya peristiwa itu, publik kembali dibingungkan dengan dugaan penyebab suporter tewas karena ada pintu yang tertutup sehingga massa yang berlarian akibat kepulan gas air mata saling berdesak dan terhimpit di lorong pintu gate.
Namun, bukti kamera CCTV untuk membuktikan hal itu dikabarkan menghilang, bahkan sejak malam kejadian. Hanya ada 1-2 potongan video CCTV yang beredar di media sosial dan video pribadi dari korban.
5. Pelaku Penembak Gas Air Mata Lebih dari 5 Orang
Sejumlah suporter bersama kuasa hukum. Mulai dari Tim Aremania Gabungan, Sekber hingga Tim Tatak mulai mengumpulkan sejumlah dokumen bukti dari suporter.
Hasilnya, banyak rekaman video beredar yang menunjukkan gas air mata juga ditembakkan ke arah tribun. Padahal, suporter di tribun yang juga terdiri dari kalangan keluarga tidak berbuat apa-apa yang menjurus pada aksi kerusuhan.
6. Rekonstruksi Kejadian Malah Digelar di Surabaya
Seperti diketahui, rekonstruksi kejadian tindakan penembakan gas air mata ini digelar di Lapangan Polda Jatim, bukan di Stadion Kanjuruhan yang menjadi lokasi kejadian perkara.
7. Hasil Rekonstruksi Tidak Ada Gas Air Mata Ditembakkan ke Arah Tribun
Sejumlah kabar dari media massa kemudian memberitakan bahwa dalam proses rekonstruksi itu tidak menampilkan adegan penembakan gas air mata ke arah tribun. Sementara, video-video baik amatir maupun profesional menunjukkan hal sebaliknya,
8. Proses Autopsi Diulur-ulur, Padahal Sesuai SOP Autopsi Dilakukan Setidaknya H+7
Diketahui pula, proses autopsi (visum dalam) dalam pembuatan proses perkaranya pada mulanya tidak dilakukan. Proses autopsi baru dilakukan setelah mendapat desakan keluarga korban hingga berkas perkaranya ditolak Kejaksaan terhitung dua kali.
9. Hasil Autopsi Tidak Ada Kandungan Gas Air Mata
Proses Autopsi baru dilakukan 30 hari pasca kejadian. Salah satu keluarga korban yang diautopsi adalah Devi Atok, ayah dari 2 orang anaknya yang menjadi korban. Hasilnya, tidak ada kandungan gas air mata ditemukan. Dan, menyatakan kematian korban bukan karena gas air mata.
10. Proses Sidang di PN Surabaya, Padahal Lokus Kejadian di Malang
Kejanggalan kembali berlanjut ketika diketahui Forkopimda Malang terdiri dari Bupati, Ketua DPRD hingga Kapolres Malang meminta persidangan di gelar di tempat kondusif. Akhirnya, persidangan yang seharusnya dikawal para korban ini digelar di PN Surabaya.
11. Persidangan Dilarang Disiarkan Langsung, Awak Media Dibatasi
Dari sekian rentetan kejanggalan yang terjadi, publik kembali disuguhi kabar bahwa proses persidangan Tragedi Kanjuruhan akan dibatasi pengunjungnya.
Selain itu, persidangan yang seharusnya bersifat terbuka itu dilarang disiarkan secara live oleh media massa. Bahkan awak media yang datang meliput juga dibatasi dan didata.
Reporter: M Ulul Azmy
Editor: Herlianto. A