MALANG, Tugumalang.id – Desa Dalisodo, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang pernah menjadi sentra produksi dupa yang cukup tersohor. Dulu, ada sebanyak 42 perajin dupa yang ada di desa tersebut, khususnya di Dusun Bedali.
Namun, kini hanya tersisa empat perajin yang masih konsisten memproduksi dupa. Dua di antaranya memproduksi dengan jumlah besar. Sementara dua lainnya memproduksi dengan skala kecil. Penurunan jumlah perajin ini terjadi secara bertahap sejak tahun 2016.
Dupa yang diproduksi di Dalisodo ini rata-rata dijual ke Bali. Pulau Dewata menjadi pasar utama penjualan dupa karena meayoritas pengguna dupa ada di sana. Banyak yang menggunakan dupa untuk keperluan beribadah.
Baca Juga: Penjelasan Polisi Soal Dugaan Perundungan Pelajar di Sukun Kota Malang
Selain mengonsumsi sendiri, pembeli atau distributor di Bali juga mengekspor dupa dari Dalisodo ke luar negeri. Mereka menjual dupa-dupa tersebut ke negara yang mayoritas agamanya Hindu.
Kasi Kesejahteraan Desa Dalisodo, Nail menjelaskan, kemerosotan produksi di Dalisodo saat ini disebabkan karena warga Bali sudah bisa memproduksi dupa sendiri. Sehingga, mereka tak lagi membutuhkan dupa yang diproduksi di Dalisodo.
“Di kisaran tahun 2016 pengusaha dupa memang agak menonjol. Pada waktu itu orang-orang di Bali belum tahu cara membuat dupa,” kata Nail saat ditemui Tugu Malang ID belum lama ini.
Baca Juga: Dugaan Perundungan Pelajar di Kota Malang, Pihak SMP Nasional Akan Berikan Tindakan
Saat ini, produsen dupa telah menjamur di Bali sehingga penjualan dupa dari Dalisodo kian merosot karena kalah saing. Perajin dupa di Dalisodo pun banyak yang gulung tikar dan beralih profesi menjadi petani, kuli bangunan, dan sebagainya.
Produsen dupa di Bali belajar dari perajin Dalisodo
Menjamurnya produsen dupa di Bali tak serta merta terjadi begitu saja. Mereka belajar terlebih dahulu, membeli mesin untuk membuat dupa, baru melakukan produksi.
Menurut Nail, para perajin di Bali tersebut juga belajar dari perajin dupa di Dalisodo. Mereka mengambil tenaga ahli dari Dalisodo untuk mengajari mereka cara membuat dupa. Bahkan, ada juga perajin Dalisodo yang menjual mesin mereka ke perajin di Bali karena ada masalah ekonomi.
“Lidi dupa dan bahan baku, termasuk tepung-tepung yang sudah ditentukan untuk dupa dikirim ke sana. Kemudian tenaga ahli ngambilnya dari sini,” kata Nail.
Sejarah produksi dupa di Dalisodo
Perajin dupa di Dalisodo sudah eksis selama puluhan tahun. Nail menyebut ia tidak begitu tahu persis sejak tahun berapa perajin dupa mulai ada di Dalisodo.
Awalnya, di desa tersebut berdiri pabrik lidi dupa. Dari situ, warga tertarik untuk membuat dupa. Kualitas serta kuantitas produksi dupa di Desa Dalisodo ini pun kemudian meningkat.
“Dulu orang-orang dari Sumatra itu pernah studi banding ke sini, kaitannya dengan bambu (untuk lidi),” kata Nail.
Saat ini, produksi lidi dupa pun telah menghilang dari Desa Dalisodo. Nail mengatakan bahwa perajin dupa lebih menyukai lidi impor dari Cina karena teknologi pembuatannya sudah canggih.
Pindah ke pasar Jakarta
Salah seorang perajin dupa di Desa Dalisodo, Giman mengatakan saat ini ia tak lagi mengirim dupa ke Bali. Ia telah beralih pasar dan mengirim dupa ke Jakarta. Sebagian lagi ia jual di sekitaran Malang.
“Kalau orang-orang kirim ke Bali, saya nggak kirim ke Bali. Saya ke Jakarta dan Malang,” kata Giman saat ditemui di rumahnya yang juga berfungsi sebagai tempat produksi dupa.
Dulu ia juga menjual dupa ke Bali, namun kini ia beralih ke Jakarta karena dirasa pasarnya lebih bagus. Seperti yang sudah disebutkan di atas, produsen dupa di Bali sudah banyak permunculan sehingga persaingan lebih ketat.
Di dalam satu bulan, Giman bisa menjual 3-4 ton dupa. Ia menjualnya dalam jumlah besar. Per kilogram dipatok Rp 21 ribu setibanya di Jakarta.
Jumlah penjualan ini sudah mengalami penurunan jika dibandingkan saat produksi dupa di Dalisodo sedang dalam masa kejayaannya. Menurut Giman, saat ia masih menjadi karyawan, atasannya bisa menjual sampai sembilan ton dupa per bulan.
“Saya dulu ikut orang. Tahun 2016 baru beli mesin (untuk produksi sendiri),” imbuh Giman.
Pilih lidi impor karena murah dan berkualitas
Giman mengaku dirinya menggunakan lidi impor dari Cina untuk membuat dupa. Salah satu alasannya adalah karena harganya lebih murah dibandingkan produksi sendiri.
Giman mengatakan ada percobaan untuk memproduksi lidi sendiri karena takut produksi lidi di Cina dihentikan. Akan tetapi, ternyata modalnya terlalu besar.
“Nggak nutut (modalnya). Nggak kuat sama listriknya,” kata Giman.
Di samping itu, lidi impor memiliki abu berwarna putih yang lebuh disukai oleh konsumen. Sedangkan lidi lokal memiliki abu berwarna hitam. “Orang-orang suka abu berwarna putih,” tutur Giman.
Di dalam memproduksi dupa, Giman mempekerjakan dua orang karyawan. Namun, saat masa mewarnai dupa, ia bisa mempekerjakan hingga empat orang karyawan.
Dalam sehari, Giman bisa memproduksi 60-90 kilogram dupa saat musim hujan. Sementara di musim kemarau ia bisa memproduksi 120-180 kilogram dupa. Perbedaan ini disebabkan karena dupa harus dijemur hingga kering sebelum dikemas.
“Kalau cuaca panas, dijemur pagi sampai sore itu sudah kering. Tapi kalau hujan, bisa lebih dari dua hari,” terangnya.
Baca Juga Berita Tugumalang.id di Google News
Reporter: Aisyah Nawangsari Putri
Editor: Herlianto. A