Tugumalang.id – Generasi penerus kebudayaan peninggalan nenek moyang sebagai pemandu tradisi menjadi harapan satu-satunya. Mengusung misi menggairahkan kejayaan seni Bantengan di Kota Malang, para seniman menggelar pameran Bantengan di Dewan Kesenian Malang (DKM), pada Sabtu (19/3/2022).
Sejumlah kepala Bantengan milik pelaku seni Bantengan di Malang Raya ditata sedemikian rupa di sanggar seni DKM. Kepala Bantengan tertua hingga terberat bisa disaksikan masyarakat.
“Ini murni untuk mengenalkan ke masyarakat Kota Malang bahwa Bantengan itu kesenian yang berasal dari Malang. Tapi sekarang Bantengan sudah mulai tenggelam,” kata Ketua Paguyuban Banteng Sukun Budoyo Kota Malang, Woro Esti.
Meski seni Bantengan mulai meredup, setidaknya masih ada sekitar 100 seniman Bantengan atau pemandu tradisi seni Bantengan di Malang Raya.
“Sekarang ini kami bersama-sama untuk berusaha menggugah lagi, supaya kesenian Bantengan tidak mati,” ujarnya.
Dijelaskan, kepala Bantengan terberat yang dipamerkan di DKM ini bahkan pernah ditawar seharga mobil. Kepala Bantengan itu menjadi koleksi pameran terberat dengan berat mencapai 21 kilogram.
Selain itu, juga terdapat kepala Bantengan tertua yang dibuat pada tahun 1945. Diketahui, seluruh kepala Bantengan tersebut miliki tulang kepala dan tanduk asli. Namun, kepala Bantengan juga ditambah dengan bahan kayu dan kulit kambing atau sapi untuk mempertegas karakter.
“Itu kepala Bantengan yang ada warna putihnya itu dibuat tahun 1945. Itu mungkin Bantengan pertama kali di Kota Malang, itu yang tertua di sini,” ungkapnya.
Esti sebagai penerus seni Bantengan dari almarhum suami dan almarhum mertuanya, bertekat akan terus melestarikan seni Bantengan di Kota Malang karena seniman Bantengan muda di Kota Malang mayoritas mulai berhenti ketika sudah menikah.
“Sekarang Bantengan di Kota Malang gak begitu populer. Makanya kami seniman ingin menggugah bahwa ciri khas di Malang ini dulu ya Bantengan,” ucapnya.
Dia juga menceritakan, seni Bantengan pernah berjaya pada era 1980-an. Namun seiring berkembangnya budaya asing, seni Bantengan mulai ditinggalkan.
“Bagi saya, melalui Bantengan itu kita bisa belajar andhap asor (rendah hati) hingga legowo (ikhlas),” tutupnya.
Reporter: M Sholeh
Editor: Lizya Kristanti
—
Terima kasih sudah membaca artikel kami. Ikuti media sosial kami yakni Instagram @tugumalangid , Facebook Tugu Malang ID ,
Youtube Tugu Malang ID , dan Twitter @tugumalang_id