MALANG – Keberadaan manusia dengan sekujur tubuh berlapis cat besi perak metalik ini mulai menghiasi sudut-sudut jalan Kota Malang, mengamen dengan cara yang berbeda. Mulai berlagak manusia patung hingga bergerak-gerak ala pantomim dengan kardus kecil di tangannya.
”Kami sadar kok kalau keberadaan kami di jalan jadi Manusia Perak ini salah, mungkin juga mengganggu. Tapi ya gimana lagi? Gak ada pilihan lagi,” ujar salah satu anggota Silverman alias Manusia Perak di Malang, Erik Nur Harianto (29).
Mengamen dengan cara ‘eksentrik’ ini sebenarnya sudah lazim terlihat di kota-kota besar lain seperti Bandung, Semarang atau Jakarta. Reporter Tugu Malang berkesempatan untuk berbincang dengan para seniman jalanan ini, Minggu (14/3/2021).
Tubuhnya memang mengkilat, tapi tidak nasibnya. Erik Nur Harianto (29), adalah warga Kota Malang yang mengawali eksistensi Silverman di Malang. Dulunya, Erik adalah supir travel. Gara-gara pandemi, iklim pariwisata mati. Begitu juga penghasilannya.
Dalam aksi seni jalanannya itu, Erik tak sendiri. Dia juga bersama Erpan Nuripandi (22) yang dulunya adalah kernet angkot yang kini peminatnya juga surut. Ada juga, Riyanto (48) yang dulunya sehari-hari mengandalkan upah jadi tukang bangunan.
Ketiganya bisa dibilang adalah Silverman pertama di Malang. Keterdesakan ekonomi-lah yang membuat mereka rela tubuhnya dicat besi dan menjejak aspal tanpa alas kaki setiap hari.
Pekerjaan ini sudah dilakoni mereka sejak Agustus 2019 silam. Seiring waktu, anggotanya bertambah jadi 11 orang. Semua tergerak dari latar belakang yang sama, kehilangan pekerjaan.
”Sampai ada driver gojek, sepedanya rusak gak bisa narik lagi. Akhirnya minta izin ke kita buat ikut turun jadi Silverman. Ada yang awalnya tukang jahit juga sampai jual asongan,” paparnya.
Menghirup Merkuri Demi Sesuap Nasi
Mengamen dengan cara ini bukannya tanpa risiko. Kandungan logam dan kimia berbahaya pada cat besi yang mereka gunakan bisa saja mengancam kesehatan paru dan kulitnya. Tapi, keterdesakan ekonomi sekali lagi, kata Erik, aspek kesehatan bisa dinomorduakan dulilveru.
Di sisi lain, mereka masih harus bermain petak umpet dengan aparat. Kata Erik, mereka sadar keberadaan mereka di jalan itu salah secara aturan. Mungkin juga, sebagian pengguna jalan juga menilai keberadaan Silverman di jalan itu menganggu.
Erik berharap, aparat berwajib bisa memberi sedikit peluang kepada mereka untuk mengais rezeki. Bagaimanapun, kata Erik, mereka juga tidak ingin selamanya menjadi Manusia Perak dengan berbagai ancaman kesehatan dan aturan hukum.
”Saya harap Pak Satpol PP mohon maklum. Toh ini juga sementara, kita juga gak ingin begini terus. Kalau ada pekerjaan juga pasti berhenti,” harapnya.
Sisihkan Hasil Ngamen untuk Yatim Piatu dan Janda Tua Sebatang Kara
Meski cara mereka mencari penghasilan tak diakui negara, Silverman Malang tak ambil pusing. Mereka justru termotivasi untuk menghapus stigma negatif tentang keberadaannya. Selain mengamen, mereka ternyata punya jadwal bakti sosial tiap 2 minggu sekali.
Ya, mereka rupanya menyisihkan hasil ngamen tiap harinya untuk diserahkan lagi pada orang yang lebih membutuhkan. ”Tiap 2 minggu sekali, kami berikan sebagian hasilnya ke panti asuhan, atau janda-janda tua yang sudah hidup sebatang kara,” kisah Erik.
Itulah kenapa sejak awal menjadi Silverman juga menanamkan diri untuk berhimpun, membangun sebuah komunitas. Tujuannya, agar citra Silverman yang terbangun tidak melulu hal-hal negatif seperti tukang minta-minta atau bahkan tukang palak.
Dengan menjadi komunitas, keberadaan Silverman bisa terkoordinir sehingga bisa meminimalisir hal-hal tak diinginkan yang merugikan warga Kota Malang. Bahkan, Erik juga berekspektasi Silverman bisa diwadahi untuk menjadi pekerja seni jalanan.
”Lebih baik lagi jika dikasi 1 tempat gitu biar gak kececeran di jalan, di lampu merah. Di Kayutangan itu kan bagus ya, katanya mau jadi kayak Malioboro,” ujarnya mengusulkan.
”Otomatis nanti kan kita juga nanti ada pertunjukan seninya, gak asal-asalan. Jadi bisa buat tontonan dan hiburan orang lewat disana,” imbuhnya.