Tugumalang.id – Keberadaan seniman asli Malang semakin terancam oleh seniman-seniman dari luar daerah. Kendati para seniman ini masih eksis, namun mereka kekurangan ruang untuk mempromosikan seni-seni yang berasal dari Malang ke masyarakat luas.
Seniman legendaris asal Kabupaten Malang, Ki Sholeh Adi Pramono, meminta Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Malang, DPRD Kabupaten Malang, serta perguruan tinggi yang ada di Malang untuk turut aktif dalam melestarikan budaya asli nenek moyang.
Setidaknya, para seniman ini diundang untuk mengisi sesi hiburan di kegiatan-kegiatan penting.
“Ada 141 dalang wayang malangan, nggak pernah diundang ke acara Pemkab Malang. Dalang yang biasanya diundang justru berasal dari luar daerah, seperti Surakarta,” ujar Ki Sholeh saat ditemui di Padhepokan Mangun Darmo yang berada di Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, beberapa waktu lalu.
Meski jumlah dalang masih cukup banyak, tetapi alat-alat untuk wayang kulit malangan kini sudah banyak dibeli oleh para kolektor. “Wayang malangan itu wayang tua,” kata Sholeh.
Untuk mencegah agar wayang kulit malangan tidak punah, Sholeh berharap Pemkab Malang bisa memberi ruang bagi para dalang untuk berkiprah.
Hal ini agar seniman Malang tidak termarjinal. Ini sekaligus bisa mengenalkan pada masyarakat bahwa Malang punya wayang yang khas, berbeda dengan daerah lain.
“Setidaknya waktu hari jadi Kabupaten Malang, di beberapa kecamatan serentak menggelar pertunjukan wayang. Atau satu bulan sekali ada pertunjukan seni di mana, misalnya di gedung kesenian Kabupaten Malang,” ujarnya.
Ia menyayangkan keberadaan wayang kulit malangan kini seperti tersisihkan. Padahal, dulu banyak orang luar negeri, seperti Jerman dan Australia, datang ke Malang untuk mempelajari wayang kulit.
“Wayang malangan itu mendapat anugerah Warisan Budaya Tak Benda dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Tapi apa ada gaungnya? Tidak ada sama sekali,” kata Sholeh.
Kemudian wayang topeng malangan juga pernah mendapat anugerah Memory of the World (Ingatan Kolektif Dunia) dari UNESCO untuk kisah Panji Asmorobangun. Sholeh menyayangkan potensi ini tidak dikembangkan dengan baik oleh pemerintah. Bahkan, menurutnya, pemerintah cenderung tak acuh terhadap seniman di Kabupaten Malang.
Ini tercermin dari minimnya porsi dana untuk kesenian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Malang. Menurut Sholeh, memang ada dana hibah untuk komunitas dan sanggar. Akan tetapi, komunitas dan sanggar tersebut harus memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
“Organisasi yang punya NPWP ya organisasi yang jalan (beroperasi secara rutin). Kalau senimannya orang desa ya buat apa (mengurus NPWP)?” kata Sholeh.
Kepada DPRD Kabupaten Malang, Sholeh berharap mereka bisa turun langsung untuk mendengar keluh kesah seniman. Salah satu harapan Sholeh adalah adanya peraturan daerah (perda) yang mengatur bahwa ada sekian persen dari APBD Kabupaten Malang yang harus dialokasikan untuk melestarikan kesenian asli Malang.
“Harapan kami ada perda, supaya sekian persen dananya dikembalikan untuk seniman untuk pengembangan kesenian asli malangan,” tutur Sholeh.
Terakhir, ia berharap perguruan tinggi di Malang Raya bisa turut memberi ruang bagi kesenian asli Malang. Perguruan tinggi tidak harus memiliki fakultas budaya untuk bisa ikut bisa ikut melestarikan budaya.
“Harapan saya di kampus-kampus di Malang, walaupun tidak memiliki fakultas budaya, setidaknya memberikan ruang bagi kesenian tradisional Malang setidaknya setiap lustrum (lima tahunan),” pungkasnya.
Reporter: Aisyah Nawangsari
Editor: Herlianto. A