Oleh: Dr. Sita Acetylena S.Pd., M.Pd*
Tugumalang.id – Pada fitrahnya setiap manusia memiliki keluhuran budi dan kesucian batin. Namun di era digital dan kemajuan teknologi maka banyak manusia yang meninggalkan kemanusiaannya. Manusia yang telah kehilangan kemanusiaannya diakibatkan perubahan kehidupan yang sangat cepat dan massif.
Kemajuan teknologi dan pengetahuan yang memberikan janji kemakmuran dunia dan keharmonisan masyarakat telah melahirkan masyarakat komputerisasi. Masyarakat komputerisasi adalah sebutan untuk menunjukkan gejala post-insdustrial masyarakat Barat menuju era teknologi informasi. Penyebaran pengetahuan dan kekuasaan secara massif, merupakan beberapa konsekuensi perkembangan teknologi.
Kehidupan beragama pun makin tergerus dan materialism adalah bahan pokok yang terus menggerogoti keinsanan manusia. Beragama yang intinya pada ketauhidanpun lambat laun makin hilang hakikatnya, yang ada hanya insan-insan bersolek agama yang dipenuhi nafas materialism yang diawali dengan lahirnya masyarakat konsumsi.
Apabila diteropong dengan teori Baudrillard mengenai masyarakat konsumsi, maka perilaku manusia semu yang lebih mengedepankan materi ataupun kepuasan diri adalah sebuah keniscayaan. Sebuah masyarakat konsumsi tercipta dikarenakan dampak globalisasi yang begitu besar yang dikawal oleh paham kapitalisme.
Masyarakat konsumsi merupakan konsep kunci dalam pemikiran Baudrillard untuk menunjukkan gejala konsumerisme yang sangat luar biasa dan telah menjadi bagian dari gaya hidup manusia modern. Terciptanya masyarakat konsumsi menimbulkan sebuah kesenjangan sosial yang berdampak pada timbulnya berbagai penyakit sosial dan krisis sosial.
Paham kapitalisme yang mengawal tumbuhnya masyarakat konsumsi pada awal mulanya berargumen bahwa modernisasi dan pertumbuhan teknologi akan banyak membantu hidup manusia. Kapitalisme menawarkan banyak kemudahan dengan dalih “mempermudah masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya”, kelompok kapitalislah yang kemudian banyak memproduksi barang-barang kebutuhan tersebut.
Semua barang produksi kapitalis selalu menawarkan berbagai kemudahan, mereka memanjakan individu, dan individu dicetak untuk bergaya hidup instan. Semua kebutuhan dikonsumsi individu guna meraih kebahagiaan dan meraih kemapanan.
Pada sisi lain, kemampuan konsumsi setiap individu adalah berbeda. Adanya kemajuan teknologi ternyata tidak membuat manusia semakin profesional dan semakin penuh cinta kasih dan memiliki spiritualitas yang bagus namun yang terjadi adalah sebaliknya. Kemampuan membeli atau daya beli yang tinggi membuat kita menjadi bagian dari masyarakat konsumsi.
Ideologi “egaliter” yang diciptakan paham kapitalis melalui nilai guna suatu barang (terutama kebutuhan pokok), kemudian dilipatgandakan dengan “penyusupan” nilai-nilai dan hierarki baru mengenai “nilai guna baru” yang sebelumnya tidak ada. Pertama diciptakan sebuah dunia baru yang menjadikan “barang-barang” yang semula adalah gratis dan melimpah ruah, namun kini menjadi barang mewah yang hanya diperoleh oleh orang-orang kaya seperti air, udara yang nyaman, ruang dan waktu dan ini juga terjadi pada diri manusia semu.
Hal lain lagi tentang nilai guna baru mengenai sebuah kebutuhan adalah saat ini banyak orang yang membeli barang bukan karena sesuai dengan fungsi dan kebutuhannya, namun banyak yang membeli sebuah simbol yang melekat pada barang tersebut, misalnya “merk”, dan hal ini juga telah menyusup pada jiwa para manusia semu.
Era globalisasi dan kemajuan teknologi informasi telah memberikan “hipnotisasi” penyusupan ke alam bawah sadar manusia melalui segala hal yang bersifat imajiner yang dimulai dengan adanya media televisi dan saat ini adalah media dunia maya atau internet. Dan hal ini terjadi pada semua manusia, tapi kepada semua masyarakat di dunia dengan berbagai tingkatan sosialnya.
Tantangan manusia pada umumnya jika dilihat dari perspektif spiritualitas pada kesucian hati maka dapat dinyatakan bahwa manusia semu kurang memiliki spiritualitas. Seorang manusia harus memiliki landasan diri berupa spiritualitas yang intinya adalah “keberserahan diri”. Hal tersebut bermuara pada kesucian hati yang akan berbuah pada cinta dan kasih sayang yang tulus.
“Keberserahan diri” seorang manusia secara total sepenuhnya kepada Tuhannya maka ia akan mendapatkan kemerdekaan dan kebahagiaan yang hakiki karena semua hal ia sandarkan pada Sang Maha Kuasa. Dan inilah yang disebut beragama, bertauhid.
Apabila dianalisa dengan nilai-nilai Islam yang bersumber pada Al Qur’an dan Al Hadist maka hal ini memiliki spiritualitas yang tinggi dilihat dari hidup mereka yang religius dan taat dalam beribadah serta memiliki kesucian hati yang diterjemahkan dalam pengabdian mereka kepada bangsa.
Al Qur’an dan Al Hadist mengenai “keberserahan diri” dan jaminannya kebahagiaan yang hakiki demi mencapai sebuah “keperluan”adalah Al-Qur’an firman Allah Surat At-Thalaq ayat 3 :
“Dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu.”
Dasar hadistnya adalah Hadist Arbain hadist ke 19 dan hadist ke 38. Hadist Arbain ke 19 adalah sebagai berikut :
“Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu; Jagalah Allah, niscaya engkau mendapati-Nya bersamamu; Jika engkau meminta, mintalah kepada Allah; jika engkau meminta pertolongan, minta tolonglah kepada Allah. Ketahuilah, jika umat manusia bersatu untuk memberi manfaat dengan sesuatu, mereka tidak dapat melakukannya kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan bagimu, dan jika mereka bersatu untuk mencelakakanmu dengan sesuatu, mereka tidak akan dapat melakukannya kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.”
Sementara itu pada Hadist ke 38 Arbain juga terlihat jelas menjadi dasar syariat bagaimana makna “kekuatan keberserah dirian” sebagai landasan perjuangan kehidupan adalah berikut ini :
“Barangsiapa memusuhi wali-Ku, maka Kuizinkan ia diperangi. Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu amalan yang lebih Aku sukai daripada jika ia mengerjakan amal yang Kuwajibkan kepadanya. Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengaran yang ia mendengar dengannya, menjadi penglihatan yang ia melihat dengannya, menjadi tangan yang ia memukul dengannya, dan sebagai kaki yang ia berjalan dengannya. Jika ia meminta kepada-Ku pasti Kuberi dan jika ia minta perlindungan kepada-Ku pasti Kulindungi.”
Jadi penjelasan makna “keberserahan diri” adalah bahwa dengan bertawakal secara total kepada Allah dengan terus istiqomah mendekatkan diri kepada Allah maka semua gerak lahir batinnya Allah yang menggerakkan.
Jika Allah sudah yang menggerakkan dan berkendak atasnya maka segala hal dalam penjagaan Allah. Meskipun seluruh manusia berhimpun akan menghancurkannya maka tidak akan bisa karena ia telah menjadi hamba yang dicintai Allah yakni telah menjadi wali-Nya.
Bahwa makna “keberserahan diri” yang dimaksud adalah bukan pasrah tanpa ada upaya, tapi pasrah kepada kekuasaan Tuhan karena sebagai manusia yang beragama meyakini bahwa setiap hal itu dalam kekuasaan Tuhan. Jika setiap diri dari masyarakat Indonesia dalam berjuang selalu bepasrah diri pada kekuasaan Tuhan maka tidak ada rasa putus asa dan yakin kemenangan dan kemerdekaan akan diraih.
Bagi manusia yang meyakini akan kebesaran Tuhan mengimani bahwa tidak ada yang tidak mungkin bagi Tuhan jika Tuhan sudah berkehendak. Dan itulah esensi sesungguhnya bahwa manusia itu harus sesuai dengan kodrat-Nya atau sunnatullah atau kehendak Tuhan agar perjuangan yang dijalankan akan mendapatkan kemenangan yakni kemerdekaan dan kebahagiaan hakiki.
Manusia sejati adalah manusia yang bertumpu pada cinta dan kasih sayang yang dilandasi “keberserah dirian”. Cinta dan kasih sayang tersebut akan menimbulkan keikhlasan dan keberserahdirian atau tawakal. Oleh karena itu, dalam setiap tindakannya selalu dilandasi dengan ketawakalan kepada Tuhannya sehingga setiap yang dilakukan tersebut selalu dalam bimbingan Sang maha Suci, Sang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Dengan kekuatan spiritual inilah manusia bisa terus bertauhid dan beragama bagaimanapun kondisinya, bagaimanapun tantangan kehidupannya, dan di zaman apapun. Era 4.0 adalah era teknologi yang harus dikuasai manusia, harus dipimpin oleh manusia sejati. Tanpa menjadi manusia sejati maka teknologi yang akan menggantikan manusia memimpin kehidupan ini.
Bahkan kemanusiaan manusia pun akan hilang dan lahirlah manusia-manusia semu layaknya zombie, relakah kita sebagai manusia yang dikatakan sebagai makhluk paling mulia yang telah diamanahi sebuah amanah mulia yang amanah itu ditolak gunung-gunung dan langit karena begitu berat tanggung jawabnya.
*Aktif sebagai dosen PascaSarjana IAI Al Qolam Malang, wakil bendahara ICMI Orda Malang, dan Founder Lovology Institute. Contact Person: 081336231653, email: [email protected]
Editor: Herlianto. A