Oleh: Herlianto. A, Pemred Tugu Malang
Tugumalang.id – Apa yang membuat suatu pernikahan itu istimewa? Ada banyak hal, salah satunya mahar yang diberikan. Saya baru saja menyaksikan satu pernikahan yang istimewa dengan mahar tafsir Alquran, surat Al An-Biya’.
Mahar itu diberikan oleh teman saya, Ach Khoiron Nafis asal Pontianak, pada kekasih hatinya Zahrofatul Asri Irin asal Desa Sumber Urip, Pronojiwo, Kabupaten Lumajang, pada Jumat (22/12/2022).
Pernikahan dengan mahar tafsir Alquran sepertinya baru kali ini terjadi, umumnya berupa “seperangkat alat salat” atau bisa berupa besaran uang tertentu yang kemudian dikreasi dengan berbagai model.
Baca Juga: 5 Kecamatan dengan Pondok Pesantren Terbanyak di Kabupaten Malang
Bung Nafis, saya memanggilnya, memang santri yang punya obsesi besar untuk pemikiran Islam, terutama kajian-kajian filsafat, logika, mistika Islam dan tafsir. Itu terlihat sejak kami belajar bersama di Pesantren Luhur Baitul Hikmah dan STF Al Farabi Kepanjen Malang.

Beberapa karya yang berhasil diwujudkan di antaranya terjemahan kitab sang Hujjatul Islam Al Ghazali: Al Munqid Min Dhalal, Tahafut Al Falasifah dan Min Hajul Abidin. Selain itu ada buku Sederhana Itu Tidak Sesederhan Itu dan beragam esai dalam kompilasi.
Kini, Bung Nafis mengarungi hidup baru: pernikahan, yang dalam sejarah filsafat memang dianjurkan, salah satunya oleh Sokrates: menikahlah jika istrimu baik maka kamu akan bahagia, jika tidak kamu akan jadi filsuf.
Baca Juga: 4 Kebiasaan Orang tua yang Membuat Anak Manja di Pesantren
Kutipan masyhur Sokrates itu menunjukkan tak ada keburukan dalam pernikahan jika diniatkan dan dihadapi dengan cara yang tepat. Dalam Islam juga sangat dianjurkan bagi yang mampu, bahkan bisa jadi suatu kewajiban yang artinya jika diabaikan akan diganjar dengan dosa dan siksa.

Mengapa dua peradaban tua ini, Yunani dan Islam, seperti memiliki kemiripan anjuran soal pernikahan? Apa istimewanya? Dalam tradisi Yunani, keluarga adalah unsur atomik dalam masyarakat (negara, polis). Mula-mula seorang individu tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, mereka perlu berkelompok dan bersosial (zoon politikon).
Salah satu bentuk bersosial itu adalah pernikahan yang kemudian disebut keluarga (koinonia), beberapa keluarga bergabung membentuk desa (oikonomia) dan desa berkumpul membentuk negara (polis). Polis (negara) inilah yang diyakini menjadi komunitas manusia yang mampu memenuhi segala kebutuhannya (autrakheia). Jadi tanpa keluarag tak bisa dibayangkan adanya negara.
Dalam Islam tak kalah pentingnya. Saya menyebutnya dalam Islam pernikahan itu adalah “peristiwa besar”, kerena akad nikah bisa mengubah hal yang diharamkan, dilarang dan bahkan dikutuk bisa menjadi halal dan boleh dilakukan: hubungan seksual.
Hubungan biologis yang jangankan melakukannya, mendekati saja diharamkan lalu berubah menjadi halal dan bisa dilakukan tentu saja dengan “berbagai gaya” hingga tembok-tembok pun ikut berkeringat. Ini jelas peristiwa yang besar, dan tak semua peritiwa bisa begitu.
Kemudian, keluarga diyakini sebagai lembaga untuk mengelola dengan benar biological drive manusia, salah satu hasrat purba pada setiap manusia, yang apabila keliru mengelolanya bisa menjadi serigala yang memangsa apapun yang baik dari kehidupan ini.
Lalu keluarga dihadirkan sebagai tempat menambatkan hati, tempat mengikat birahi srigala yang kerap meronta-ronta melahirkan kecemasan panjang dalah sejarah manusia. Tentu saja pengikatnya bukanlah tambang yang besar ataupun rantai besi, tetapi cinta dan kasih yang tulus.
Selain itu, peradaban Islam menyebut keluarga adalah Al Madrasatul Ula (lembaga sekolah pertama) di mana generasi penerus baik agama dan bangsa dilahirkan lalu dibesarkan dan didik dengan cinta dan kasih sayang. Itulah rangkaian sebagian saja dari keistimewaan pernikahan.
Karena itulah Bung Nafis, ingin memberikan sesuatu yang istimewa dalam “peristiwa besar” itu, berupa tafsir surat Al Anbiya’ yang menurutnya memiliki beberapa kekhasan. Salah satunya, surat yang namanya tidak disebut dalam setiap ayat-ayatnya.
Kini Bung Nafis telah menapakkan kakinya di tahapan “keluarga baru”. Kami semua mendoakan semoga menjadi keluarga sakinah mawadda warohmah untuk Bung Nafis dan sang kekasih.
Oh iya lupa, ada tips yang seringkali dipetuahkan oleh para leluhur untuk para pengantin muda yang sedang bergairah. Bahwa yang membuat bahtera rumah tangga dapat berlayar dengan baik apabila menyelaraskan tiga hal: komunikasi, seks dan ekonomi. Tiga hal ini setidaknya harus terpenuhi dua saja, syukur-syukur bisa semua.
Semoga Bung Nafis bisa mengarungi bahtera kehidupan dengan selamat dan tiba di tujuan dengan berbagai cobaan dan rintangan. Amien. (*)