Pietra Widiadi*
Jas Merah, kata bung Karno, jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Ini adalah ungkapan yang dalam bagaimana kita bertumbuh menjadi manusia Indonesia saat ini. harus tidak sekalipun, melupakan sejarah. Sejarah dimana leluhur kita memberikan bukti dan menggoreskan banyak karya yang patut kita lakukan. Tidak sekedar dikenang, seperti lagu kenangan. Dengan demikian, maka tuntutannya adalah laku. Melakukan sebagai pelaku, bukan sebagai penikmat dan pemerhati dalam kajian local knowledge. Dalam perspektif ini, laku dan para pelakunya adalah bagian dari perjalanan sebagai pelaku dalam local wisdom, yaitu mereka yang menjalankan kearifan lokal yang berkembang sejak ribuan tahun lalu.
INI bukan uri-uri, ini laku. Hal yang dilakukan dalam keseharian dalam kehidupan kita sehari-hari dan tidak ada untuk hal-hal yang terkait dengan tahayul. Pada hari Sabtu Legi (3/6/2022) lalu, saudara-saudara dari Jawi Kawi, Setu Legen, Bawa Rasa (bukan KW) dalam Giritoyo Mentaya, melakukan laku cari di Patirtaan Jolotundo di Desa Seloliman, Trawas, Kabupaten Mojokerto.
20 tahun lalu, saat terakhir kali penulis sering berkunjung ke Kawasan Gunung Penanggungan sisi Barat, masih berupa kawasan dengan pertanian yang subur, dan hijaunya pepohonan yang masih berhutan.
Malam kemarin, saat bulan menunjukkan diri dengan malu-malu yang menggambarkan bulan tilem, Kawasan ini sudah berubah, nyaris sangat berubah menjadi Kawasan urban yang ada di pegunungan. Bangunan dan jalan rusak karena dilalui truk mengangkut tanah dari punggung Gunung Penanggungan dan Kawasan wisata kuliner, dan menyajikan keindahan alam yang makin berkurang.
Patirtaan Jojolotunda juga berubah. Malam hari namun ramai pengunjung. Kawasan sakral yang selalu dikunjungi pelaku tradisi Jawa yang ingin berjumpa dengan leluhur, dikelola ala kadarnya. Sehingga sampah dan tata kelola ruang idak ditata dengan cukup elok. Bebatuan tua berserakan dan bisa saja dikencingi pengunjung dan kawasan yang hanya ditata sebagai tempat rekreasi tanpa dikembangkan sebagai tempat memuja.
Padahal pada malam hari orang-orang berkunjung dan berkegiatan mandi di mana-mana, menunjukkan sedang beritual dan mengambil berkah dari sumber air yang sudah aja sejak 1.200 tahun lalu pada masa Mpu Sindok berkuasa di Medang. Jadi habis mandi, ya berganti pakaian sekenanya di mana mereka mau, kamar mandi yang sangat terbatas.
Tepatnya, Patirtaan Jolotundo terletak di Dusun Balekambang Desa Seloliman, Kecamatan Trawas Kab. Mojokerto, Jawa Timur tersebut berada di sisi barat Gunung Penanggungan dengan ketinggian 525 Mdpl. Patirtaan ini mulai mulai jadi pada tahun 1815 seorang peneliti dari Belanda, Wardener pada waktu itu menemukan peripih di tengah kolam berisi abu dan lempengan emas yang bertuliskan Dewa Isyana dan Dewa Agni.
Pada tahun 1936, seorang lagi, namanya Domais menemukan arca naga dan garuda di sudut kolam induk. Lalu, tahun 1937 Stutterheim menemukan dan meneliti pancuran batu berbentuk silindris yang merupakan bagian kemuncak dari teras Patirtaan Jolotundo.
Patirtaan Jolotundo memiliki 2 bilik dan bagian teras dengan dilengkapi pancuran yang melambangkan Gunung Mahameru dan ditemukan juga Lingga Nawa Sangha di bagian puncaknya. Bagian belakang teras ada tempat yang kemungkinan letak arca utama. Petirtaan Jolotundo dibuat pada masa anak Pu Sindok, pada tahun 899 saka atau 977 masehi, yaitu pada masa Sri Isyana Tunggawijaya.
Kemudian diceritakan bahwa Mregayawati dan Raja Sahasranika mempunyai anak bernama Udayana dari Garis Tunggawarma dalam kisah Maha Bali Puram. Ada percampuran dengan garis Rudrawarma dari utara. Sri Isyana Tunggawijaya menikah dengan Sri Lokapala dari Bali (Prasasti Gedangan).
Sri Isyana mempunyai anak Makuthawangsa Wardhana. Makhutawangsa Wardhana punya anak Mahendradata dan menikah dengan Udayana dari Wangsa Warmadewa (Prasasti Pucangan). Putra sulung Makuthawangsa Wardana, yaitu Dharmawangsa Tguh. Kemudian anak Mahendradata dan Udaya, yaitu Airlangga menikah dengan anak Dharmawangsa Tguh.
Malam Sabtu Legi, kegiatan mecaru atau caru dilakukan, dimulai dengan pembukaan yang dipimpin seorang mangku, kang Potro Wanto. Pecaruan alias Mecaru sejatinya memiliki makna sebagai upaya Niskala memohon kepada Hyang Widhi, agar dikaruniai keselamatan alam semesta dan dijauhkan dari hal-hal yang bersifat negatif.
Makna dari mecaru secara spiritual adalah sebagai sarana untuk menyeimbangkan kekuatan buana agung (alam luas) dan buana alit (alam yang ada di tubuh). Selain itu upacara mecaru juga dimaknai sebagai sarana untuk menetralisir mala atau sifat-sifat negatif yang ada di bumi agar menjadi positif dan berguna dalam setiap kehidupan manusia.
Mecaru atau caru adalah kekuatan bhuta kala menjadi somya, kembali kepada unsur kebaikan. Artinya dalam kehidupan di bumi, adalah hutan agar betul-betul berfungsi sebagai sumber kehidupan dan kesejahteraan hidup. Alam semesta adalah suatu kesatuan dan saling bergantung satu sama lain. Tidak ada benda mengada sebagai eksistensi yang terpisah dari yang lainnya. Setiap orang bergantung kepada yang lain atas kelahiran fisik, eksistensi, pengetahuan dan kebudayaan dan keperluan hidup lainnya.
Melalui upacara tersebut diharapkan dapat menjalin keharmonisan sesama umat manusia. Hal ini dibuktikan bahwa pada saat upacara berkumpullah para pelaku untuk saling berinteraksi memupuk kebersamaan menjaga keharmonisan hidup sesama umat manusia.
Makna yang mendalam diharapkan adalah kecintaan umat manusia kepada lingkungan hidup. Makna dari upacara ini, yaitu suatu korban suci kepada unsur-unsur alam baik yang berwujud nyata maupun tidak nyata yang dilaksankan di hutan untuk menghilangkan atau melenyapkan pengaruh-pengaruh negatif dari alam gaib. Sehingga para bhuta akan somya sesuai sifat dan tempat yang dimilikinya dan bhuta kala tidak akan mengganggu kehidupan di dunia.
Maka ini adalah sebuah upacara Yadnya (upacara dengan materi upakara seperti Banten/Sesajen). Yadnya adalah korban suci atau persembahan yang dilakukan dengan sadar, tulus ikhlas, dan bertanggung jawab dengan dilandasi Sraddha Bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan segala ciptaan-Nya. Yadnya menciptakan hubungan yang harmonis antara manusia dengan Hyang Kuasa/Widhi, manusia dengan sesamanya dan keharmonisan hubungan manusia dengan alam.
Pada era sekarang, khususnya di Bali dan bagi pelaku tradisi Nusantara dipahami sebagi ritual bhutayajnya, yang mengharuskan adanya korban darah-nyawa (oleh karenanya tingkat nistanya caru ekasata-menggunakan seekor ayam brumbu sebagai simbol). Jika tidak ada rah kasawur maka belum dianggap sebagai caru (tingkatnya segahan). Jadi prinsipnya, caru merupakan ajaran leluhur dan ajaran Budhis yang dijabarkan dalam pengertian dana paramita, dan yang mahatidana, yang persembahannya menggunakan sesuatu yang tidak ternilai berupa dana.
Dalam hal ini laku caru ini, sebenarnya adalah warisan tradisi Budhis Mahayana, sekte Tantrayana-Vajrayana dan diteruskan tradisi Hindu Tantra. Ada konsep kemudian dikenal dengan tradisi Siwa-Budha, yang berlangsung sejak masa Kerajaan Singhasari, di Malang.
Sedang dalam perspektif Jawa kuno (Jawi Kawi) terdapat 2 caru. Yaitu caru adalah sebuah persembahan kepada Sang Dewata dan manusia juga. Yang sesembahannya terdapat nasi ditanak dalam kuali, bubur nasi, gula, susu sapi, mentega dan makanan lainnya yang tidak berbau darah. Yang kedua berdasarkan Kakawin Arjunawijaya, dan Sutasoma, dipersonifikasikan Calon Arang yang menyebut persembahan setidaknya berbau darah, berupa korban binatang atau darah manusia (pada masa itu).
*Penulis adalah pelaku dalam tradisi Jawi Kawi yang sudah berlangsung sejak lebih dari seribu tahun, lalu bersama-sama dengan Jawi Kawi, Sabtu Legen, Bawa rasa di Komunitas Giritoyo Mataya menjalankan laku tradiri Jawi kuno.
editor: jatmiko
—
Terima kasih sudah membaca artikel kami. Ikuti media sosial kami yakni Instagram @tugumalangid , Facebook Tugu Malang ID ,
Youtube Tugu Malang ID , dan Twitter @tugumalang_id