Oleh: Zainuddin, Guru Besar Sosiologi Agama, Rektor UIN Maliki Malang
Tugumalang.id – Tahun politik identik dengan tahun konflik dan carut marut elit politik maupun elit organisasi dalam mengurus negeri ini. Perdebatan di media sosial, pun di televisi sudah sedemikian maraknya dan menjadi tontonan publik, mulai dari soal kekersan simbolik, ujaran kebencian, berita hoax hingga saling lapor ke polisi.
Dan hal tersebut terus bergulir memenuhi ruang publik, hingga kemudian para elit negeri ini lupa dengan program-programnya ke depan bagi perbaikan dan keberlangsungan negeri ini.
Perdebatan-perdebatan antar pendukung partai dan ormas di ranah publik baik di WA Group, podcast maupun konten-konten lainnya sudah tidak lagi menampakkan nilai edukatifnya, tetapi justru saling hujat dan tidak pantas lagi dijadikan media pendidikan bagi masyarakat umum, dan perdebatan-perdepatan tersebut tidak lagi menjadi produktif namun sebaliknya kontra produktif, saling berantem dan tidak memberikan teladan yang baik bagi anak negeri ini.
Baca Juga: Kukuhkan 800 Wisudawan, 88,2 Persen Lulusan UIN Malang Menyandang Predikat Cumlaude
Sementara hingga saat ini kita masih terus dihadapkan pada persoalan yang melilit bangsa: korupsi, narkoba, kekerasan di berbagai daerah dan kejahatan lain masih menghantui kita. Apakah belum cukup waktu kita belajar berdemokrasi untuk mewujudkan pemerintahan Indonesia baru yang adil dan beradab?
Pemegang tampuk pemerintahan belum sampai tuntas menyelesaikan persoalan yang satu muncul kemudian persaoalan lain yang tak kalah rumitnya.
Sementara itu diantara mereka ada yang tidak sabar lagi menunggu munculnya suasana kehidupan yang demokratis dan kondisi perekonomian yang gemahripah lohjinawe di negeri ini karena di antara elit politik asyik berdebat, nyinyir dan saling menjatuhkan demi kepentingan pribadi dan golongan masing-masing, sehingga suhu politik bukan semakin sejuk tetapi justru semakin memanas dan tegang yang pada gilirannya melahirkan kondisi semakin tidak menentu dan tidak menguntungkan bagi upaya pemulihan krisis, terurtama dalam bidang ekonomi, keamanan dan ancaman disintegrasi.
Mereka pun lupa apa yang seharusnya disadari bahwa konflik elit itu sangat potensial menjadi konflik horizontal, sebab para elit tersebut masing-masing mempunyai massa di bawah (grass root). Apakah kita masih belum sadar dengan kondisi yang terus menerus seperti ini?
Baca Juga: Berlangsung Meriah!, UIN Malang Jalin Kolaborasi Internasional dengan USIM Malaysia dalam Program iCARE
Kegaduhan di berbagai daerah terus bergolak seakan tidak mengindahkan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sementara penegakan hukum semakin rapuh dan masyarakat sudah tidak percaya lagi dengan aparat penegak hukum dan lembaga peradilan yang selama ini justru korup dan penuh permainan, sehingga ribuan kasus tindak kejahatan tidak pernah terselesaikan, sementara masyarakat menunggu ada penyelesaian secara adil dan transfaran.
Pengalaman pilkada tahun lalu yang terjadi di beberapa daerah betul-betul terasa dampaknya dalam carut marutnya politik kita. Para elit politik juga menjadi tontonan, bukan tuntunan masyarakat di bawah.
Berita media sosial sungguh mewarnai kehidupan politik di negeri ini yang tidak sehat. Dampaknya pun terjadi pasca pemilihan. Masyarakat terpolarisasi dalam berbagai aspek: politik, aliran, suku dan agama.
Apakah problem semacam ini akan terus berlangsung di negeri ini? Sementara itu saat ini pemerintah dan para elit agama tengah mengkampanyekan tegaknya NKRI, agama moderat, Islam rahmah, Islam berkeadaban, revolusi mental, pendidikan karakter dan seterusnya. Tentu ini paradoks dengan realitas sosial yang ada selama ini.
Krisis Role Model
Jika kita amati di media sosial akhir-akhir ini, bahwa tindak pelanggaran yang berupa hate speech, fake news (hoax) dan konflik identitas sudah semakin meresahkan. Selain unggahan-unggahan dari konten youtube yang tidak mendidik tersebut juga bermunculan akun-akun lain yang berdalih pendidikan seks yang sangat vulgar juga tidak terbendung.
Media sosial yang tidak resmi jumlahnya tidak terhitung lagi dan sulit dikontrol. Bahkan ceramah agama pun banyak yang menimbulkan kegaduhan dan konflik, saling menjelekkan satu sama lain. Dan anehnya, itu tidak hanya dilakukan oleh orang awam, tapi juga elit politik itu sendiri. Tidakkah yang demikian itu menjadi tontonan anak-anak kita?
Sesungguhnya fenomena seperti di atas adalah bagian dari pendidikan dan hidden curriculum yang tidak disadari oleh banyak pihak. Itulah maka pendidikan formal sekolah dapat dikalahkan dengan pendidikan informal yang ada di medsos ini.
Para perancang kurikulum di Perguruan Tinggi dan di Kementerian Pendidikan sudah susah payah mendesain kurikulum yang hampir setiap tahun terus melakukan review, namun jika kurikulum non-verbal (hidden curriculum) ini tidak dapat mendukung dan bersinergi, maka tetap akan sulit menciptakan peserta didik dan generasi yang smart dan bermartabat.
Dan betapa susahnya para guru dan orang tua saat ini yang kesulitan mendidik putera-puterinya untuk menjadi manusia yang smart dan bermartabat tersebut, sementara kurikulum non-verbal yang dipertontonkan oleh elit kita semakin dominan mewarnai kehidupan saat ini.
Belum lagi doktrin agama yang diajarkan oleh aliran transnasional yang bertentangan dengan doktrin keagamaan mainstream di Indonesia yang berdampak pada munculnya gerakan ekstremis dan jihadis menambah kerawanan dan kegaduhan sosial di negeri ini.
Dominasinya role model yang dilakukan oleh para elit kita dapat saja menggeser kurikulum verbal yang ada di lembaga-lembaga pendidikan. Itulah maka, praktik-praktik penyimpangan dalam penggunaan medsos yang menimbulkan kegaduhan ini perlu segera disudahi dengan aturan-aturan yang jelas dan tegas.
Kita mesti menghindarkan diri dari kepentingan politik sesaat, supaya tidak menanggung dampak dan resiko yang amat berat, menyangkut persatuan dan kesatuan bangsa. Jika ini yang terjadi maka apa makna reformasi? Apakah hanya jargon-jargon belaka?
Bukankah dari semula kita hendak bertekad menegakkan keadilan, meruntuhkan kebatilan menuju reformasi yang menghendaki tercapainya pemerintahan yang adil dan demokratis, yaitu penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, partisipasi dalam pengambilan keputusan dan persamaan hak di depan hukum. Dari sini kemudian muncul idiom-idiom demokrasi, seperti egalite (persamaan), equality (keadilan), liberty (kebebasan), human right (hak asasi manusia), dst.
Dalam tata pemerintahan demokratis dilandaskan pada penekanan bahwa rakyat menjadi “pemerintah” bagi dirinya sendiri, dan wakil rakyat seharusnya menjadi pengendali yang bertanggung jawab atas tugasnya.
Lembaga legislatif dituntut benar-benar menjadi wakil rakyat dan berfungsi sebagai agen rakyat yang aspiratif dan distributif. Keberadaan wakil rakyat didasarkan atas pertimbangan, bahwa tidak mungkin semua rakyat dalam suatu negara mengambil keputusan karena jumlahnya yang terlalu besar.
Oleh sebab itu kemudian dibentuk dewan perwakilan. Di sini lantas prinsip amanah dan tanggung jawab menjadi keharusan bagi setiap anggota dewan.
Sehingga jika ada tindakan pemerintah yang cenderung mengabaikan hak-hak sipil dan hak politik rakyat, maka harus segera ditegur. Itulah perlunya perwakilan rakyat yang kuat untuk menjadi penyeimbang dan kontrol pemerintah.
Kini saatnya kita bertekad untuk bersama-sama memperbaiki keadaan. Berangkat dari hati yang tulus, tidak dari partai, kelompok maupun golongan, melainkan dari hati nurani yang terdalam, memulai dari diri kita masing-masing untuk nawaitu menegakkan kebenaran dan keadilan demi persatuan dan kesatuan.
Menegakkan politik husnuzzan (positive thinking), bukan sebaliknya seperti yang terjadi saat ini, politik saling tuduh, apapun yang dikatakan oleh rival politiknya selalu dianggap negatif, saling menuduh satu sama lain.
Saatnya dalam pemerintahan Koalisi Indonesia Maju (KIM) Prabowo-Gibran nanti segera diwujudkan rekonsiliasi nasional demi mewujudkan kepentingan bangsa dan keutuhan negara.
Pertemuan antartokoh, antar pendukung partai, apapun namanya-harlah partai politik, muktamar ormas dan seterusnya- harus berdasarkan pada komitmen kebangsaan dan persatuan tersebut, sebab jika tidak maka apapun jenis pertemuan itu dan berapa kalipun pertemuan itu diselenggarakan, jika tidak didasarkan pada komitmen di atas, maka sia-sialah dan buang-buang energi belaka.
Sudah saatnya kita dewasa untuk bersikap, berujar dan bertindak sesuai dengan tradisi dan falasafah negara kita, Pancasila.
Karena bangsa Indonesia telah memiliki modal nasionalitas yang amat berharga, seperti keutuhan wilayah negara, bahasa kesatuan, konstitusi dan falsafah negara, sistem pemerintahan yang meliputi seluruh tanah air, jajaran militer sebagai tulang punggung ketertiban dan keamanan nasional. Modal inilah yang harus kita pertahankan demi terwujudnya Indonesia baru yang kita idam-idamkan selama ini.
Kita berharap besar ada konsensus fraksi-fraksi di DPR yang menyerukan agar perbedaan pendapat dan pandangan dalam berdemokrasi tidak mengurangi komitmen untuk tetap menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, keutuhan wilayah dan kedaulatan negara berdasarkan Pancasila.
Kita berharap juga agar kegiatan politik senantiasa dilandaskan pada moral, kepentingan rakyat dan negara di atas kepentingan golongan, kelompok maupun perorangan. Siapa pun yang terpilih menjadi presiden dan wakil rakyat harus kita terima sebagai sebuah kenyataan.
Kita dukung dan kawal dalam menjalankan roda pemerintahan sesuai dengan visi dan misinya yang sudah dibuat dan dikampanyekan. Kita ingatkan terus menerus janji dan program-programnya, yang berpihak pada kepentingan semua pihak.
Semoga apa yang mereka janjikan dalam kampanye dan debat publik tidak sekadar wacana dan basa-basi politik belaka, melainkan wujud yang nyata. Marilah kita belajar dari sejarah, bahwa lemahnya suatu bangsa dan negara karena menipisnya rasa persaudaraan dan persatuan.
Sebaliknya, kuatnya suatu bangsa dan negara karena kokohnya persaudraan dan persatuan. “Bersatu kita teguh bercerai kita jatuh”, demikian ungkap leluhur kita. Bersatulah elit politik dan akhiri konflik [*].
Baca Juga Berita Tugumalang.id di Google News
Editor: Herlianto. A