Oleh: Soejatmiko, Redaktur Tugu Malang
Tugumalang.id – Ketika para calon kepala Daerah mengikuti kontestasi pilkada, para pendukungnya yakin calon kepala daerah yang dipilihnya pasti tidak akan korupsi. Keyakinan itu timbul karena mereka seperti paham betul calon yang dipilihnya.
Para pemilih yang nota bene mayoritas kelas menengah ke bawah, merasakan bahwa calon dipilihnya banyak uang. Punya latar belakang Pendidikan yang tidak setiap orang mampu menjangkaunya. Bahkan, calon yang mereka pilih itu selama ini sudah menunjukkan kepedulian sosialnya.
Terbukti belum terpilih jadi kepala daerah sudah mengeluarkan dana untuk pengaspalan di salah satu jalan dusun. Meski hanya 100 meter, dana untuk itu tidak sedikit. Mengganti karpet musola yang sudah dimakan usia. Memberi bantuan tenda kepada para pedagang kaki lima. Dan yang paling ditunggu ada saweran jelang pilkada nanti.
Calon itu juga memastikan, kalau terpilih jadi kepala daerah, kesejahteraan mereka bakal meningkat. Akses jalan bakal diperbaiki di seluruh wilayah.
Baca Juga: Blusukan
‘’Ini hanya awal saja. Doakan saya terpilih ya bapak ibu sekalian,’’ kata calon kepala daerah itu disambut tepuk tangan warga penuh antusias saat kampanye.
Kaca mata rakyat melihat calon kepala daerah memang tidak salah. Perasaan mereka langsung hanyut begitu melihat calon kepala daerah mereka. Menyongsong masa depan yang cerah dan terang, Keyakinannya begitu teguh, tak tergoyahkan oleh badai. Menaruh harapan besar pada calon yang dipilihnya. Seperti bintang di langit malam yang bersinar terang,
Apa yang ditunjukkan selama masa kampanye bisa jadi memang niat tulus calon kepala daerah untuk mengabdi kepada rakyat. Bila tidak percaya tanyakan langsung pada sang calon kepala daerah. Pasti yang keluar dari mulutnya, nadanya sama ketika di depan rakyat ketika kampanye.
Tapi sekarang kita tidak perlu tanya pada calon kepala daerah. Selain butuh waktu, belum tentu kita berani bertanya langsung pada calon kepala daerah itu. Meskipun kita sebenarya sudah tahu apa jawabannya. Entah jawaban itu klise, atau benar-benar keluar dari lubuk hatinya.
Iseng-iseng tanyakan saja pada mesin AI (artificial Intelligence) atau Kecerdasan Buatan, yang sekarang lagi laris manis mau menjawab apa saja.
Baca Juga: Bawaslu Kota Malang Lindungi 1.300 Petugas Pilkada dengan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Mulai dari membuat karya sastra sampai dengan Menyusun sripsi para calon sarjana. Terserah mau pakai tools AI apa. Apakah Chat Gpt, Chatbot AI, Cici, Quorapo, YouChat. Semuanya akan memberikan jawaban yang hampir sama.
Begini pertanyaannya:
Apa yang dipikirkan calon kepala daerah ketika mencalonkan diri sebagai kepala daerah? Jawabannya antara tools AI satu dan lainnya kurang lebih seperti ini:
• Keinginan untuk melayani masyarakat: Banyak calon kepala daerah terdorong oleh keinginan untuk membuat perubahan positif di daerah mereka dan meningkatkan kehidupan warga. Mereka mungkin memiliki pengalaman pribadi atau profesional yang mendorong mereka untuk bekerja demi kebaikan bersama.
• Ambisi dan cita-cita: Beberapa calon kepala daerah memiliki ambisi politik dan ingin memegang jabatan yang lebih tinggi. Mereka melihat posisi kepala daerah sebagai batu loncatan untuk mencapai tujuan politik mereka.
• Keinginan untuk meninggalkan jejak: Beberapa calon kepala daerah ingin meninggalkan warisan positif di daerah mereka. Mereka mungkin memiliki ide-ide inovatif atau ingin menyelesaikan masalah lama yang dihadapi masyarakat.
• Faktor ekonomi dan politik: Dalam beberapa kasus, motivasi ekonomi atau politik dapat mendorong seseorang untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Mereka mungkin melihat posisi tersebut sebagai cara untuk meningkatkan kekayaan pribadi atau mendapatkan pengaruh politik.
Ketika chat AI ditanya lagi, mengapa banyak kepala daerah korupsi yang hal ini tidak sesuai dengan janjinya ketika mencalonkan diri. Maka jawabannya seperti ini:
1. Mahalnya Biaya Politik
• Mencalonkan diri sebagai kepala daerah membutuhkan biaya yang sangat besar, baik untuk kampanye maupun untuk “menghilangkan” pesaing.
• Calon kepala daerah terkadang terpaksa melakukan korupsi untuk menutupi biaya politik yang mereka keluarkan.
• Sistem politik yang tidak sehat ini mendorong calon kepala daerah untuk mencari cara untuk mengembalikan modal mereka setelah terpilih, yang seringkali melalui korupsi.
2. Sistem Pengawasan yang Lemah
• Lembaga pengawasan seperti KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian masih menghadapi berbagai kendala dalam menjalankan tugasnya.
• Korupsi di tingkat kepala daerah seringkali melibatkan jaringan yang luas, sehingga sulit untuk ditangani.
• Masyarakat juga belum sepenuhnya aktif dalam mengawasi kinerja kepala daerah.
3. Kurangnya Integritas dan Moral
• Beberapa calon kepala daerah memang memiliki niat untuk korupsi sejak awal.
• Mereka mungkin tidak memiliki komitmen yang kuat terhadap nilai-nilai moral dan etika.
• Mereka mungkin melihat jabatan publik sebagai kesempatan untuk memperkaya diri sendiri, bukan untuk melayani masyarakat.
4. Ketiadaan Sanksi yang Efektif
• Hukuman bagi koruptor di Indonesia masih tergolong ringan.
• Proses hukum yang berbelit-belit dan lamban juga membuat efek jera bagi koruptor menjadi kurang.
• Mantan terpidana korupsi masih bisa mencalonkan diri kembali sebagai kepala daerah, meskipun dengan beberapa persyaratan.
5. Kurangnya Partisipasi Masyarakat
• Masyarakat kurang aktif dalam mengawasi kinerja kepala daerah.
• Masyarakat juga kurang kritis dalam memilih calon kepala daerah.
• Kurangnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya memilih pemimpin yang berintegritas dan bertanggung jawab.
Menurut kajian Litbang Kemendagri tahun 2015, untuk mencalonkan diri sebagai bupati/wali kota hingga gubernur membutuhkan biaya Rp 20 – 100 miliar. Sementara, pendapatan rata-rata gaji kepala daerah hanya sekitar Rp 5 miliar selama satu periode. Lalu berapa beaya yang dibutuhkan pada tahun 2024 ini?
Indonesian Coruption Watch (ICW) memang mencatat tingginya biaya politik untuk menjadi kepala daerah. Maka ketika menjabat akan muncul berbagai modus yang digunakan. Mulai dari korupsi proyek pengadaan barang dan jasa, suap untuk menerbitkan izin dan juga jual beli jabatan.
Sebagian besar tertangkap karena korupsi dalam proses pengadaan. Wajar saja, sektor pengadaan memang lahan basah korupsi karena anggaran yang dikucurkan sangat besar.
Kasus korupsi kepala daerah dapat dilihat dari tiga aspek. Pertama, tata kelola partai politik dan kebutuhan modalitas kontestasi elektoral. Kedua, lemahnya fungsi pengawasan, baik dalam praktik pengadaan barang, proses perizinan dan pengisian jabatan. Ketiga, rendahnya hukuman bagi pelaku korupsi sehingga tidak menimbulkan efek jera.
Data ICW 2010-2018 tak kurang dari 253 kepala daerah di tanah air ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Sedangkan data dari KPK, sejak tahun 2004 hingga januari 2022, ada 22 gubernur dan 148 bupati/wali kota ditindak KPK.
Kalau sudah begitu, kenapa harus ada pilihan kepala daerah ya dengan system seperti sekarang ya. Apa ga lebih baik kembali ke jaman orde baru. Setiap kepala daerah ditunjuk dari pusat dalam hal ini Kemendagri.
Para calon kepala daerah diusulkan DPRD ke Kemendagri. Lalu Kemendagri akan memilih siapa keluar sebagai kepala daerahnya, apakah itu gubernur, wali kota, atau bupati.
‘’Wah, ya jangan. Kamu kok balik lagi ke Orde Baru, ini kan kemunduran demokrasi kita jadinya,’’ kata teman saya yang sehari-harinya dosen perguruan tinggi ternama di Kota Malang dan aktivis reformasi 1998.
‘’Lha kalau dulu kan hampir tidak ada berita kepala daerah korupsi,’’ kata saya.
‘’Iya tapi yang korupsi di pusat, nepotisme di daerah,’’ sahut teman saya.
‘’Apa sekarang tidak ada nepotisme di daerah?’’ kata saya.
‘’Bahkan korupsi kepala daerah ada dimana-mana,’’ kata saya lagi.
‘’husss..! Masih banyak calon kepala daerah yang baik,’’ sahut teman saya.
‘’Apa iya ya,’’ kata saya ragu.
Mungkin kita perlu tanya lagi ke Chat GPT dan kawan-kawannya, terkait orang yang terpilih sebagai kepala daerah setelah pilkada pada 27 November 2024 nanti. Apakah mereka yang terpilih nanti punya peluang melakukan korupsi atau tidak.
Atau perlu lagi tanya pada AI setahun lagi. Bisa jadi AI sudah bisa mencatat, berapa tabungannya di bank, apa dia dibelanjakan. Berapa uang yang masuk dalam setahun. Kemana saja kepala daerah itu membelanjakan uangnya. Bahkan ngopi di warkop juga mampu dicatat AI.
Mudah-mudahan ke depan AI bisa menginfokan seorang kepala daerah telah melakukan korupsi atau tidak. Bukankah AI berbasis big data. Ini juga memudahkan KPK, polisi, jaksa dan masyarakat.
Mungkin tahun-tahun ke depan kita bisa langsung tanya ke AI dengan pertanyaan seperti ini:
Apakah Gubernur Anu atau Bupati Anu, atau Wali Kota Anu telah melakukan Korupsi?
Ga bahaya tah….
***
Rubrik catatan ini disupport oleh Toko Buku Togamas. Jika Anda ingin mengetahui lebih jauh tentang Togamas atau ingin mendapatkan buku-buku berkualitas, langsung saja KLIK INI YA. Tetapi bila Anda ingin bekerja sama dengan Togamas dalam berbagai bidang literasi lainnya, bisa langsung kontak ke sini ya: +62 851-7549-0109.
Baca Juga Berita Tugumalang.id di Google News
Editor: Herlianto. A