(Bagian Pertama dari Tiga Tulisan)
Oleh: Nurcholis MA Basyari – Wartawan senior yang mendapat amanah sebagai Kepala rombongan Umroh The Power of Silaturahim (POS) I 2017, POS II 2018, POS III 2019, dan POS IV 2020.
Di balik suatu musibah, selalu ada hikmah. Itulah nasihat bijak yang saya yakini 1.000 persen kebenarannya. Saya telah mengujinya dalam laboratorium kehidupan sepanjang hayat di kandung badan ini. Saya sangat yakin jutaan orang juga telah membuktikannya, termasuk mungkin Anda.
Keyakinan yang diperkuat bukti-bukti empiris itu berangkat dari satu pernyataan atau tesis bahwa “dalam setiap kesulitan menyertai pula kemudahan”. Ini sebangun dengan pernyataan: “setiap penyakit pastilah ada obatnya”. Tugas kita ialah tekun dan sabar menemukan pembuktian-pembuktian yang menguatkannya dalam laku hidup dan kehidupan sehari-hari. Siapa pun manusia yang mampu menemukan bukti-bukti itu, dialah pemenangnya.
Alhamdulillah, saya termasuk yang menemukan bukti-bukti nyata sepanjang mengarungi bahtera kehidupan lebih dari setengah abad ini. Tidak terkecuali di masa pandemi Covid-19 yang tengah melanda dalam 10 bulan terakhir. Salah satunya ialah kolaborasi yang melahirkan dua buku Trilogi The Power of Silaturahim karya Dr. Aqua Dwipayana. Buku pertama, The Power of Silaturahim: Rahasia Sukses Menjalin Komunikasi, telah terbit April 2016 dan kini telah delapan kali cetak, total berjumlah 160 ribu eksemplar.
Lahirlah kemudian Gerakan Umrah The Power of Silaturahim (The POS) yang dibiayai dari hasil penjualan buku tersebut. Bergulir sejak 2017, total jamaah The POS yang saya pimpin itu hingga kini mencapai 167 orang, berasal dari berbagai latar belakang sosial-budaya, ekonomi, dan pekerjaan/profesi. Perinciannya POS I 2017 sebanyak 35 orang, POS II 2018 berjumlah 39 orang, POS III 2019 mencapai 50 orang, dan POS IV 2020 43 orang. Jamaah POS IV sedianya berangkat April ke Tanah Suci April 2020. Namun, keberangkatan jamaah POS IV teradang oleh pandemi Covid-19 sehingga tertunda entah sampai kapan. Semoga saja pandemi ini cepat berakhir sehingga jamaah POS IV dapat segera menunaikan umrah ke Tanah Suci Mekah dan berziarah ke Masjid Nabawi di Madinah.
Tetap Produktif Kerja Virtual
Di masa pandemi Covid-19 ini, lahir dua buku lain Trilogi The Power of Silaturahim. Buku trilogi kedua berjudul Humanisme Silaturahim Menembus Batas: Kisah Inspiratif Persahabatan Aqua Dwipayana-Ventje Suardana (Satu Kesamaan Yang Mampu Mengatasi Sejuta Perbedaan). Buku trilogi ketiga berjudul Berkarya dan Peduli Sosial Gaya Generasi Milenial: Kisah Inspiratif Dua Bersaudara Alira-Savero Dwipayana Bergiat untuk Sesama.
Kedua buku tersebut lahir dari hasil kolaborasi tim yang bekerja secara online atau dalam jaringan (daring). Enam bulan lebih saya memimpin tim penyusunan buku tersebut secara virtual. Selama satu semester lebih itu, tim intensif duduk bareng dalam satu ruang virtual di rumah masing-masing. Satu-satunya momen duduk bareng satu meja dalam arti sebenarnya terjadi saat saya dan Mas Aqua “menyepi” di Hotel Courtyard Marriott Seminyak, Bali, untuk finalisasi dan sinkronisasi akhir konten kedua buku tersebut pada 3-4 November 2020.
Di luar itu, hingga kedua buku itu naik cetak, kami sama sekali tidak pernah bertemu tatap muka dengan anggota tim lainnya. Saya di kawasan Kukusan, yang bersebelahan dengan Kampus Universitas Indonesia (UI) Depok, Jawa Barat. Cak Fu (Fuad Ariyanto) yang juga editor naskah buku tersebut, bekerja dari kawasan Sukosemolo, Surabaya, Jawa Timur. Mas Yarno yang bertindak sebagai editor bahasa juga mengerjakan tugasnya dari sudut lain Kota Pahlawan itu. Dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya itulah pencetus ide awal penyusunan dua buku tersebut.
Koordinator tim desain, ilustrasi, dan layout Iwhan Sudarwanto bekerja dari Bekasi, Jawa Barat. Anggota timnya, yakni Yudis Susanto dan Surya Wihartanto bekerja dari tempat terpisah di Ibu Kota Jakarta. Dengan dua nama ini, saya bahkan belum pernah sekali pun bertemu tatap muka. Selama ini, kami berkomunikasi intensif via telefon, pengiriman pesan singkat, dan email. Satu-satunya anggota tim yang bekerja bareng secara daring maupun luring (luar jaringan) atau offline hanyalah Nur Habibur Rohman “Habib” Assalavi. Pemuda yang baru lulus dari Politeknik Negeri Jakarta (sebelumnya Politeknik UI) itu memang tinggal serumah dengan saya, istri saya, dan tiga anak kami lainnya.
Terbiasa Berkolaborasi Daring
Bagi saya, kerja kolaborasi tanpa kebersamaan fisik sudah biasa. Meski tergolong generasi jaman dulu alias jadul, bukan generasi milenial, saya sudah membiasakan diri bekerja secara mangkus (efektif) dan sangkil (efisien) dengan memanfaatkan teknologi yang tersedia. Sekira 10 tahun lalu, saya bersama dua orang kawan merintis berdirinya majalah gratis Sang Buah Hati yang hingga kini masih eksis.
Kami terbiasa rapat perencanaan dan evaluasi via telefon dan email. Waktu itu, aplikasi semacam WhatsApp (WA) belum ada. Dengan sebagian wartawannya, saya sama sekali belum pernah bertemu langsung hingga kini. Meski begitu, kami intensif berkomunikasi untuk penugasan dan koordinasi. Dengan tim desain-layout pun demikian. Komunikasi dan koordinasi saya dengan mereka juga via telefon dan email. Alhamdulillah, majalah kami yang menyasar kelas menengah-atas itu selalu terbit tepat waktu dalam kondisi prima.
Sebelumnya, kerja dengan konsep small office, home office (SOHO) itu pula yang kami rancang saat saya turut merintis pendirian Koran Jakarta pada 2008. Apalagi kemudian, saya terjun mengelola media jurnalistik online. Pun demikian ketika selanjutnya saya sering menulis dan mengedit banyak buku. Sebagian besar pekerjaan saya lakukan secara daring.
Jadilah saya terbiasa bekerja secara daring tanpa mengenal ruang dan waktu. Seorang teman menyeletuk: usia boleh kolonial, tapi cara kerja milenial. (BERSAMBUNG)