Tugumalang.id – PT Paragon Technology and Innovation merupakan perusahaan kosmetik berusia 36 tahun yang bermula dari home industri.
Founder PT Paragon, Nurhayati Subakat, menceritakan bahwa awalnya Paragon hanya memiliki 2 orang karyawan yang sebenarnya juga asisten rumah tangga (ART).
Kini, perusahaan ini sudah menjadi perusahaan kosmetik terbesar di Indonesia dengan karyawan berjumlah di atas 10.000 orang, dengan luas pabrik 20 hektare. Bahkan di Malaysia, sudah menjadi produk kosmetik nomor 3 terfavorit.

Nurhayati menceritakan, perjalanan bisnisnya tidaklah mudah. Pada mulanya dia belajar semua hal dari orang tuanya yang merupakan pedagang di kota kecil Padang Panjang, Sumatera Barat.
“Saya adalah anak ke-4 dari 8 bersaudara dari orang tua pedagang di kota kecil Padang Panjang, Sumatera Barat. Ayah saya juga adalah seorang Ketua Muhammadiyah yang berjiwa sosial, dan itulah yang menginspirasi kami hingga saat ini. Beliau juga sosok yang visioner di mana menyampaikan Imtaq dan Iptek di tahun 60-an. Oleh karena kita sekolah tingkat SMP masuk ke pesantren putri, jadi saya alumni Diniyah Putri. Dan beliau (ayah) meninggal ketika saya masih SMP,” kenangnya, saat mengisi materi dalam Fellowship Jurnalisme Pendidikan Batch 2 yang digagas oleh Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan (GWPP) dan didukung oleh PT Paragon Technology and Innovation, beberapa waktu lalu.
Sepeninggal ayahnya, Nurhayati menceritakan bahwa ibunya harus menjadi orang tua tunggal bagi 8 anak. “Tapi beliau selalu memberikan kata-kata positif di tengah kesulitan seolah ada kemudahan. Dengan keoptimisan itulah, beliau bisa mengantarkan semua anaknya ke perguruan tinggi. Kami 8 orang anak di mana keenamnya adalah alumni ITB. Dan itulah juga yang menginspirasi kami hingga saat ini,” ucapnya.
Lalu, perjalanan Paragon mulai dari tahun 1985. Alasannya membuat bisnis kosmetik adalah karena selama 5 tahun pernah bekerja di industri kosmetik juga.
“Saya bekerja dengan inovasi makanya bisa sampai seperti ini. Saya waktu itu menemukan formula dengan saya modifikasi. Sehingga formulanya tidak jauh berbeda dengan tempat saya bekerja tapi dengan harga yang jauh lebih murah. Alhamdulillah waktu itu langsung disambut, terutama untuk produk kebutuhan salon-salon,” tuturnya.
Di tahun 1990, perempuan berhijab ini mendapatkan ujian yang paling berat, Rumah tempat tinggal dan tempat usahanya habis terbakar si jago merah.
“Kondisinya minus karena punya hutang sama supplier, sedangkan piutang fakturnya banyak yang terbakar sehingga banyak yang gak mau bayar. Lalu yang saya pikirkan kenapa saya bisa bangkit lagi, waktu itu saya memikirkan karyawan. Karena saya ingat sekali kejadian di bulan puasa pada April 1990, jadi kalau saya tutup mereka gak dapat THR. Kemudian saya memikirkan utang, kalau saya tutup berarti saya gak bisa bayar utang,” paparnya.
“Kalau saya memikirkan diri sendiri yaudah tutup aja, karena suami masih bekerja dan gaji beliau lebih dari cukup. Jadi semangat kepedulian ini yang saya rasakan sehingga bisa bangkit kembali,” imbuhnya.
Lalu, dia merasakan banyak pertolongan Allah di tahun 1990 tersebut, karena saat itu tiba-tiba ada kenalan yang langsung meminjamkan tempat untuk memulai produksi lagi.
“Kedua, dari supplier karena selama ini menjaga kepercayaan, saya minta 5 sak malah dikasih 10 sak, padahal saya juga minta utang ditunda dulu. Ketiga, ada kebijakan BI untuk memberikan utang untuk usaha kecil, saya waktu itu minta Rp 50 juta malah suruh ambil Rp 150 juta,” kenangnya.
Singkat cerita, ibu 3 anak ini dalam satu tahun bisa membangun pabrik kecil di daerah Tangerang dengan luas 1.500 m2 dan dibangun rumah juga.
“Lalu di tahun 1995 kedatangan tamu dari Pesantren Hidayatullah, diberikan ide untuk kosmetik halal, sehingga lahirlah Wardah,” ungkapnya.
Meski demikian, usahanya tidak langsung sukses karena dia juga belum berpengalaman. Begitupun pesantren tersebut juga belum memiliki pengalaman untuk menjual kosmetik. “Di mana santri juga gak pakai kosmetik, sehingga gagal,” katanya.
Tapi tidak ada kata berhenti bagi Nurhayati. Dia mulai mencoba lagi membuat iklan di Harian Terbit meskipun tidak terlalu populer. “Kenapa saya mau iklan di sana? Karena harganya murah, saya dapat iklan kolom, di mana kalau saya iklan di Kompas dapatnya iklan baris. Akhirnya mendapatkan 2 distributor kongsi kecil mulai dari jual reselling, dijual multilevel. Dan akhirnya Alhamdulillah berkembang,” tuturnya.
Lalu di tahun 1998 terjadi krisis ekonomi, sehingga memunculkan banyak pengangguran. Dari hal itu justru kemudian banyak orang yang bergabung dengan multilevel dan reselling di perusahaannya, sehingga membantu perusahaannya berkembang sangat cepat.
“Malah di tahun itu kami bangun pabrik kedua dengan luas 2-3 kali lebih besar dari pabrik pertama,” bebernya.
Kemudian di tahun 2002, anak pertamanya, Harman Subakat, ikut bergabung. Kemudian di tahun 2003, anaknya yang lain, Salman Subakat, juga ikut bergabung. Bersama-sama, ketiganya mengembangkan perusahaan ini.
Namun, di tahun 2004, ketiganya kembali mendapatkan cobaan dengan mengalami penurunan penjualan.
“Tapi di tahun 2005 kembali mendapatkan multilevel dari Sophie Martin,” ungkapnya.
“Kemudian anak-anak gabung bersama timnya, lalu diadakan banyak perubahan dan perbaikan mulai dari penjualan B to B jadi B to C,” tambahnya.
Kemudian di tahun 2009, dilakukan relaunching Wardah dengan pembaruan tagline dari ‘kometika suci dan aman’ menjadi ‘inspiring beauty,’ agar menjadi lebih modern. Dan di tahun yang sama, hijabers booming, dan Wardah menjadi satu-satunya kosmetik yang menjawab kebutuhan hijabers. Dari sini, terjadi lonjakan penjualan kosmetik Wardah.
“Kemudian di tahun 2010 pertumbuhannya cukup bagus, lalu di tahun 2010 keluar lagi Make Over,” katanya.
Agar menjadi lebih modern dan menjangkau pasar global, di tahun 2011 perusahaannya berganti nama dari sebelumnya PT Pusaka Tradisi Ibu menjadi PT Paragon Technology and Innovation.
“Kemudian di tahun 2014 tim mengeluarkan lagi Emina untuk remaja. Dan ini juga kelihatannya momennya pas, karena di mana saat pandemi dari tahun kemarin, ini adalah produk yang masih terus tumbuh, karena salah satu brand yang menjual kebutuhan milenial,” paparnya.
“Kemudian di tahun 2017 launching sampo, tapi ini memang persaingannya berat tapi tetap masih jalan. Di tahun 2018 mengeluarkan lagi dekoratif instator fact, Alhamdulillah ini juga disambut. Kemudian di tahun 2019 mengeluarkan lagi kristal lulur untuk skin care premium. Kemudian di tahun 2020 di tengah pandemi kami mengeluarkan lagi produk baru dengan brand Kahf, ini Alhamdulillah juga disambut baik,” tukasnya.
Sementara itu, sang anak sekaligus CEO PT Paragon Technology and Innovation, Salman Subakat, mengatakan kalau dirinya belajar banyak dari sang ibu. “Kalau di keluarga itu lead by example. Ibu itu tidak terlalu banyak bicara tapi aksi nyata. Jadi kerja langsung, terus semuanya serba siap, terus pekerjaan di rumah juga beres,” tuturnya.
“Jadi kalau ibu di rumah dan mbaknya (ART) lagi sibuk, ya ibu ikut nyuci ikut beresin. Jadi, memang action oriented,” sambungnya.
Hal itu yang membuat dia kadang berpikir kenapa ibunya tidak capek-capek. Lalu dia mengingat wejangan ibunya bahwa kalau kita kerja buat orang lain itu energinya gak habis-habis.
“Saya baru belajar bahwa energi itu dari luar bisa charge itu baru dari manajemen modern. Ibu di perusahaan juga seperti itu sehari-hari di perusahaan, jadi gak pernah protes kalau ada yang kotor tapi langsung turun untuk membersihkan, bapak juga seperti itu,” pungkasnya.
Sementara itu, Direktur Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan sekaligus Pemimpin Redaksi Tugu Jatim ID, Nurcholis MA Basyari, mengatakan bahwa sosok Nurhayati ini seperti namanya yang artinya adalah cahaya hidupku.
“Dan sekarang, karena tadi berpikir untuk orang lain, bukan hanya menjadi cahaya hidup dari Pak Abdul Muin Saidi dan keluarga besar, tapi juga oleh lebih dari 10.000 karyawan, jadi Ibu Nurhayati menjadi cahaya hidup kurang lebih 10.000 karyawan, dan Indonesia secara keseluruhan,” tutupnya.
Reporter: Rizal Adhi
Editor: Lizya Kristanti