Tugumalang.id – Ki Ageng Gribig merupakan salah satu tokoh yang memiliki peranan penting dalam penyebaran agama Islam di Jawa Timur, terutama Malang. Banyak versi yang mengatakan nama aslinya, seperti Wasibagno Timur, Raden Ario Pamotjoeng dan Raden Mosi Bagono.
Disebutkan, bahwa Ki Ageng Gribig merupakan keturunan Prabu Brawijaya V, raja terakhir kerajaan Majapahit. Turut diyakini bahwa dia adalah putra dari Raden Mas Guntur atau Prabu Wasi Jaladara yang mana Raden Mas Guntur adalah putra Jaka Dolog yang merupakan putra Raja Brawijaya V.
Anehnya, makam Ki Ageng Gribig terdapat pada dua lokasi yang berbeda, yakni Malang, Jawa Timur, dan juga Klaten, Jawa Tengah. Hal inilah yang membuat banyaknya versi cerita yang berbeda tentangnya.
Baca Juga: KH Masjkur, Pahlawan Nasional Asal Malang yang Sempat Jadi Menteri di Era Kemerdekaan
Namun, menurut sejarawan asal Universitas Negeri Malang, Mudzakir Dwi Cahyono, yang dilansir melalui INews Jatim, bahwa Gribig bukanlah nama orang, melainkan nama daerah yang mulanya terdapat di Malang.
Perjalanan dia di Malang, pada salah satu versi dimulai dengan diberikan tugas untuk menyebarkan agama Islam dari Kerajaan Mataram Islam.
Ki Ageng Gribig berhasil dengan santun dan bijak meyakinkan banyak penduduk setempat untuk memeluk Islam. Dia menggunakan metode yang adaptif dengan kondisi sosial dan budaya masyarakat Malang saat itu. Ia juga membangun hubungan baik dengan tokoh masyarakat setempat.
Tak hanya berjasa dalam menyebarkan agama Islam, Ki Ageng Gribig juga turut andil dalam pengembangan pendidikan dan kebudayaan Islam di Malang. Salah satu caranya dengan membangun pondok pesantren untuk digunakan sebagai tempat belajar mengaji dan belajar ilmu-ilmu agama.
Baca Juga: Kacung Permadi Pahlawan Asal Pujon Malang Berjuang Mengusir Belanda
Selain ilmu keagamaan, juga turut membudayakan pembelajaran seni maupun sastra yang masih berhubungan erat dengan ajaran agama yang disebar luaskannya.
Maka diajarkanlah beragam seni, seperti syair, tembang, wayang, dan gamelan. Bahkan, ia diyakini sebagai pencipta salah satu jenis gamelan khas Malang, yaitu gamelan gribig.
Ki Ageng Gribig wafat pada 1679 yang kemudian dimakamkan di Kompleks Pemakaman Ki Ageng Gribig terletak di jalan Ki Ageng Gribig Gang II, kelurahan Madyopuro, kecamatan Kedungkandang, Kota Malang.
Sebenarnya, makam Ki Ageng Gribig tidak hanya ada di Kota Malang saja. Makamnya juga berada di Desa Krajan, Kecamatan Jatinom, Klaten, Jawa Tengah. Setiap Ki Ageng Gribig merayakan haul, warga setempat mengikuti tradisi Saparan Yaqowiyu.
Tradisi berbagi kue apem kepada para pengunjung. Tradisi ini biasanya dilaksanakan pada tanggal 15 bulan Safar dalam penanggalan Hijriah.
Tradisi ini bermula ketika Ki Ageng Gribig pulang dari tanah suci membawa oleh-oleh kue apem. Anehnya, kue yang dibawa oleh Ki Ageng Gribig tersebut masih hangat. Para santri pun berebut mendapatkan oleh-oleh tersebut. Karena tidak cukup, maka Nyi Ageng Gribig membuat apem yang dibagikan kepada penduduk Jatinom.
Terlepas dari beragam versi ceritanya, kita ditunjukkan bahwa Islam adalah agama yang damai, toleran, dan menghargai perbedaan sesuai dengan caranya menyebarkan ajaran Islam.
Hal ini juga menunjukkan bahwa Islam tidak bertentangan dengan budaya lokal. Namun justru dapat menciptakan sinergi dan melebur dengan budaya bangsa yang ada.
Penulis: Muhammad Tito Syahrul Ramadhan (Magang)
Editor: Herlianto. A