Tugumalang.id – Non-fungible token (NFT) saat ini menjadi perbincangan hangat, baik di Indonesia maupun di dunia. NFT bisa mengubah pola bisnis, khususnya di bidang seni. Kini, seniman bisa menjual karya seni mereka dalam bentuk aset digital.
Meskipun menguntungkan beberapa pihak secara ekonomi, NFT juga memancing perdebatan karena untuk melakukan transaksi ternyata dibutuhkan tenaga listrik yang sangat besar.
Transaksi di NFT menggunakan mata uang virtual Ethereum. Melansir dari Renewable Energy Hub, setiap transaksi Ethereum memerlukan energi sebesar 48,14 kilowatt-hours atau setara dengan keperluan listrik rumah tangga selama beberapa hari.
Saat ini, setiap harinya terdapat ribuan transaksi NFT. Jika NFT semakin populer, jumlah transaksi bisa jadi akan terus meningkat. Ini berarti konsumsi listrik di Bumi akan semakin tinggi.
Para aktivis lingkungan menyayangkan maraknya penggunaan NFT yang secara tidak langsung berkontribusi pada pemanasan global. Penggunaan listrik yang tinggi berarti ada emisi yang dilepas dalam jumlah besar sehingga menyebabkan efek rumah kaca.
Meski begitu, ada beberapa marketplace yang menawarkan NFT yang tidak menghabiskan banyak energi listrik. Salah satunya adalah Bubblehouse yang mengklaim dirinya sebagai NFT social marketplace ramah lingkungan pertama di dunia.
“Saat ini ada beberapa yang menawarkan NFT yang ramah lingkungan. Salah satunya ada Bubblehouse. Aktivitas mining (penambangan) di Bubblehouse katanya cenderung menggunakan energi listrik yang tidak sebesar sebelumnya,” papar Founder Climate Change Frontier, Eko Baskoro.
“Memang perubahan dalam hal pembangunan atau ekonomi akan ada sisi negatifnya terhadap lingkungan ini. Ini menjadi dilematis,” ucapnya.
Seperti yang sudah disebutkan, NFT mereformasi bisnis karya seni di dunia. Sebelumnya, karya seni dijual secara tradisional yaitu dilukis di kanvas, dicetak di atas kertas atau media lainnya. Karya seni kemudian dikirimkan ke rumah pembeli.
Dengan adanya NFT, karya seni yang dijualbelikan tidak memiliki bentuk fisik, melainkan hanya berbentuk aset digital. Ini berarti NFT bisa membantu mengurangi penggunaan kertas serta emisi yang dihasilkan oleh alat transportasi yang mengangkut karya seni tersebut.
Baik penjualan dengan cara tradisional maupun NFT, keduanya memiliki dampak negatif kepada lingkungan. Oleh karena itu, Baskoro meminta masyarakat sebaiknya bijak dalam menilai sisi positif dan negatifnya.
Baskoro juga menegaskan, ia tidak bisa mengatakan salah satu metode itu lebih baik dari yang lainnya. “Saya pikir semua ada dampak negatifnya. Jadi kita harus bijak,” ucapnya.
“Dari sisi ekonomi, ke depannya NFT bisa jadi lebih baik dibandingkan karya seni yang dicetak di atas kertas. Tapi penggunaan listrik yang besar bisa merusak lingkungan. Tapi kalau pakai kertaspun, akan merusak lingkungan hidup,” imbuhnya.
Namun, Baskoro mengatakan bahwa jika penggunaan listrik untuk NFT bisa ditekan dengan teknologi yang lebih ramah lingkungan, tentunya ini akan menjadi lebih baik daripada penjualan karya seni yang dicetak di atas kertas.
“Seandainya mereka bisa menekan penggunaan listrik per tahunnya, kenapa nggak?” pungkas Baskoro.
Reporter: Aisyah Nawangsari
Editor: Lizya Kristanti
—
Terima kasih sudah membaca artikel kami. Ikuti media sosial kami yakni Instagram @tugumalangid , Facebook Tugu Malang ID ,
Youtube Tugu Malang ID , dan Twitter @tugumalang_id