TASIKMALAYA | TuguMalang.id – Salah satu kampung di Nusantara yang masih mempertahankan cara hidup dan tradisi nenek moyangnya adalah Kampung Naga di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.

Kampung yang pernah dibakar pasukan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) pimpinan Kartosuwryo pada tahun 1965 ini, memilih hidup tidak menggunakan listrik hingga saat ini.
Tim “Jelajah Jawa Bali, Mereka yang Memberi Arti” berkunjung ke kampung yang berjarak sekitar 3 jam dari Kota Bandung ini.
Kamis 1 September 2022, matahari baru naik setinggi tiang bendera, tim Tugu Media Group bersiap untuk turun ke lembah di mana warga Kampung Naga berada. Seorang mengenakan odeng khas Sunda memberhentikan kami.
“Maaf pak, kalau mau ke Kampung Naga sebaiknya pakai guide. Ini sebetulnya bukan tempat wisata, tetapi kampung adat. Kalau pakai guide bapak akan banyak tahu cerita kampung ini,” kata pria itu yang ternyata bernama Cahyana, sekaligus warga Kampung Naga.

Kami pun sepakat untuk memakai jasa Cahyana pada jelajah kali ini. Kami turun ke sebuah lembah di kedalaman 500 meter dengan tangga cor yang memiliki 444 anak tangga.
Di sepanjang tangga yang meliuk-liuk seperti ular itu, berderat rumah warga yang sebetulnya masih keturunan dari Kampung Naga, hanya saja mereka keluar dari kampung tersebut dan sebutannya sudah menjadi Sanaga.
“Kami di kampung kalau ada anak yang menikah dengan orang luar dan memilih tinggal di luar tidak masalah. Cuma dia sudah tidak disebut warga kampung naga,” kata dia.
Lanskap Kampung Naga
Setelah melalui separuh perjalanan tampak di sebelah timur Kampung Naga terbentang sungai Ciwulan yang air berasal dari Cikuray Garut. Sungai ini berdampingan dengan hutan larangan Leweung Naga. Sementara di bagian barat Kampung Naga dibatasi hutan Biuk yang juga hutan larangan.

“Disebut hutan larangan karena siapapun tidak boleh ke hutan itu,” kata Cahyana yang mengaku sudah mendapat training tour guide itu.
Menurut Cahyana luas Kampung Naga sekitar 15 hektar, jumlah penduduknya saat ini 295. Sebertulnya, dilihat secara dari keturunan, yang tinggal di Kampung Naga hanya 2 persen saja dari total keturunan warga Kampung Naga, 98 persennya berada di luar kampung.
Sementara jumlah bangunan yang ada sebanyak 113 bangunan, termasuk tiga bangunan yang tidak ditinggali, yaitu balai kampung, masjid, dan bumi ageng. Bahkan dari tiga bangunan itu ada yang tidak boleh difoto atau divideo.
“Bangunan bumi ageng tidak boleh difoto karena itu, warisan leluhur yang sangat kami jaga,” kata pria yang telah miliki dua anak itu.
Baik masjid, balai, dan bumi ageng berada di tengah kampung. Sementara di bagian timur, dekat pintu masuk kampung ada lumbung padi dan tempat menumbuk padi.
Sementara, mata pencaharian warga Kampung Naga adalah bertani padi, singkong, dan kapol. Rata-rata warga di situ setiap keluarga memiliki lahan seluas 100 tumbak. Setiap satu tumbak sama dengan 13 meter persegi. Nah gabah dari hasil tani inilah yang dipakai mereka untuk hidup sehari-hari.
Hidup Tanpa Listrik
Menurut Cahyana, warga Kampung Naga pernah ditawari listri oleh pemerintah tetapi semua warga kampung itu sepakat untuk menolak. Masuknya listrik dianggap akan merusak nilai-nilai luhur dan tradisi di kapung itu.
“Dengan listrik orang akan berlomba untuk kaya, beli yang mewah-mewah. Itu akan memunculakn keirian dan bisa jadi pemicu konflik,” kata dia.

Kampung Naga, imbuhnya, sangat menjaga kegotongroyongan dan keguyuban. Semua yang ada di kamung itu dibentuk secara sama. Bangunan rumah yang ada di situ semua ukurannya hampir sama yaitu 6×5 meter. Dan tidak ada yang bangun dengan tembok.
Semua rumah menggunakan pondasi batu yang disusun, lantainya papan kayu, temboknya dari bambu sementara atapnya terbuat dari ijuk.
Bagaimana penerangan di waktu malam? Semua warga di sini menggunakan lampu teplok dengan bahan bakar minyak tanah. Dulunya, mereka lampu sejenis teplok tanpa penutup kaca sehingga asap kemana-mana, sekarang sudah ada penutupnya.
“Sebelum ada lampu teplok ini, kami kalau bangun tidur hidung hita semua kena asapnya,” kata dia.
Setelah pandemi Covid-19 menyerang Indonesia, Kampung Naga ada yang memakai HP, karena kebutuhan anak mereka yang sekolah online. Namun demikian tidak semua anggota keluarga memiliki HP, setidaknya dalam satu keluarga hanya punya satu HP.
“Kami kalau ngecas ke atas, naik ke rumah-rumah Sanaga yang sudah memakai listrik,” kata dia.
Dibakar DI/TII
Setelah obrolan panjang dengan Cahyana, tim Tugu Media Group tiba di rumah salah satu sesepuh Kampung Naga, dia adalah Maun. Maun juga sekaligus sebagai Punduh yaitu jabatan adat yang khusus menjaga kemasyarakatan di situ.

Selain Punduk, ada Kuncen yang pegang oleh Ade Suwerlin. Dia adalah jabatan adat yang mengatur soal ritual adat sekaligus. Misalnya, saat berziarah kubur atau ada adat saat bulan maulid, idul Adha, dst. Kuncen juga ditugasi menjaga bangunan sakral Bumi Ageng.
Jabatan adat ke tiga adalah Lebe yang dipegang Karmadi, yaitu pemimpin agama Islam. Dia yang menjaga masjid, menjadi khotib saat jumat, dst. Memang semua warga di Kampung Naga beragama Islam.
Meski kampung naga saat ini hidup dengan tenang dan damai. Tetapi warga kampung ini pernah mengalami trauma yang berat, yaitu saat dibakar oleh pasukan DI/TII pimpinan Kartosuwiryo pada tahun 1956.
Menurut Punduh Maun, pembakaran kampung yang mengerikan itu terjadi setelah warga selesai salat Isya. Tiba-tiba ada ledakan, dan pasukan DI/TII mengepung kapung tersebut. Lalu tak lama kemudian rumah-rumah warga terbakar.
Warga panik pada berlarian ke sana-kemari. Saat itu Maun berumur 20 tahun. Menurutnya, pembakaran itu terjadi karena warga Kampung Naga menolak berbaiat kepada DI/TII.
“Kami kan punya pemerintah yang dipimpin Soekarno. Dan pemerintahannya tidak menyalaha adat kami, lalu apa kami mengakui negara lain,” pria yang ahli membuat bangunan rumah panggung tersebut.
Api terus terus melahap dengan ganas semua bangunan warga. Di tengah malam kobaran si jago semakin menjadi. Baru sekitar petang api mulai padam. Pagi hari mulai membersihkan sisa bakaran rumahnya. Dalam pembakaran itu menewaskan satu anak beusia 2 tahun.
“Kami tidak melawan, kami hanya menepi,” kenang Maun.
Catatan ini adalah bagian dari program Jelajah Jawa-Bali, tentang Inspirasi dari Kelompok Kecil yang Memberi Arti oleh Tugu Media Group x PT Paragon Technology and Innovation. Program ini didukung oleh Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan (GWPP), Pondok Inspirasi, Genara Art, Rumah Wijaya, dan pemimpin.id.
Reporter: Herlianto. A