Semakin keras besi dibakar dan ditempa, semakin kokoh pula struktur elemennya. Hal serupa terjadi di dunia pendidikan. Dimana di tengah krisis pandemi yang melanda, lahir pula guru-guru tangguh dengan inovasi barunya menggebrak dunia pendidikan yang terbilang masih konservatif.
SIAPA SANGKA di tengah keruwetan sistem pembelajaran saat pandemi, datang Yayasan Guru Belajar (YGB) yang membawa berbagai program dengan misi pengembangan potensi dan karier protean guru di Indonesia.
Total sudah ada 9.000 lebih guru, kepala sekolah dan semua penggerak ekosistem pendidikan dari seluruh Indonesia bergabung di YGB. Mereka saling berbagi praktik baik pembelajaran dan membangun kepemimpinan (leadership) dalam pendampingan belajar orang tua kepada anak.
Ketua CGB, Adelina Anggraini mengungkapkan jika dari wadah ini diharap dapat memupuk kolaborasi antar penggerak ekosistem pendidikan di Indonesia dalam mewujudkan sistem pembelajaran yang baik untuk generasi emas Indonesia.

Adel, begitu dia disapa, yakin jika kolaborasi dan praktik baik ini terus dikuatkan, maka tugas para guru untuk membentuk generasi unggul bisa lebih optimal dan menyeluruh.
“Kami yakin dengan berkolaborasi dengan kerja barengan kami bisa saling menguatkan bisa berbagi praktik baik satu sama lain. Bahkan lebih baik lagi jika berkolaborasi dengan unsur di luar komunitas guru,” ungkap Adelina.
Apa yang menjadi misi besar YGB sebenarnya juga menjadi spirit dari konsep Merdeka Belajar yang digaungkan pemerintah saat ini. Kurikulum dengan nafas Merdeka Belajar ini memang berorientasi kepada pembentukan karakter murid hingga kecakapan hidupnya.
Menurut Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (Dirjen GTK) Kemendikbudristek, Iwan Syahril, skema pembelajaran yang diselaraskan dengan kebutuhan siswa menjadi kunci melahirkan sumber daya manusia yang unggul di masa depan.
”Perubahan mindset inilah yang terus dibangun. Dari situ akan lahir inovasi baru yang berpusat penuh pada tumbuh kembang murid itu sendiri,” kata Iwan belum lama ini.
Dari sekian banyak hasil asesmen yang dielaborasi dalam wadah bernama seperti CGB lalu ditemukan mindset yang salah dalam ekosistem pendidikan selama ini. Seekor kutu dalam tumpukan jerami itu ternyata adalah mindset kompetisi yang terdapat dalam kurikulum.
Dimana kurikulum pembelajaran selama ini selalu berkutat pada nilai akademik, perangkingan hingga acara lomba yang itu justru cenderung menciptakan kultur yang memisahkan, bukan malah menyatukan seperti diibutuhkan dalam situasi hari ini.
Iklim seperti itu ternyata bagi para guru ini dinilai tak sehat bagi pertumbuhan kompetensi siswa. Pada akhirnya, siswa hanya larut dalam lautan teori tanpa makna, menghafal buku dan mengerjakan soal tanpa mereka tahu apa manfaatnya bagi kehidupan sekitar.

Hal ini diungkapkan Iwan Ardhie Priyana, seorang guru dari SMP Negeri 1 Nagreg, Jawa Barat yang tergabung dalam CGB, mengatakan dengan tegas bahwa sekolahnya kini sudah meninggalkan lomba-lomba antar sekolah yang banyak digelar.
Menurut Iwan, mindset yang harus menjadi fokus dibangun dari sekolah saat ini adalah kesiapan generasi untuk berkolaborasi. Kata dia, lewat ajang lomba atau perangkingan kelas, kebutuhan itu tidak akan terjawab.
”Sekolah saya sudah lama meninggalkan lomba-lomba ini. Kalau kolaborasi, kami baru cocok. Kami di sekolah sudah sepakat untuk membangun hal yang lebih penting bagi masa depan anak, bukan lewat lomba,” tegasnya.
Berangkat dari permasalahan inilah yang membuat Iwan menyusun skema pembelajaran interaktif lewat metode pembelajaran berbasis proyek (learning based project). Tujuannya tetap untuk belajar soal kehidupan.
Mengingat peserta didiknya sudah di tingkatan SMP, Iwan memberikan proyek seperti mencuci pakaian sendiri, membersihkan rumah dan lain sebagainya. Itu semua merupakan peristiwa belajar yang kemudian diwujudkan dalam bentuk tulisan sebagai salah satu pencapaian kompetensi.
Dari berbagai proyek itu kemudian dikenalkan arti kolaborasi dengan memupuk rasa empati mereka terhadap rumah, terhadap orang tua. ”Dari semua peristiwa belajar itu secara kognitif dapat, secara kompetensi juga dapat,” jelas guru yang juga pernah jadi wartawan ini.
Sekian berjalan, metode pembelajarannya ini menuai respon baik dari wali murid. Artinya, misi Merdeka Belajar mewujudkan iklim pendidikan kolaboratif bisa selangkah lebih maju.
”’Mereka senang, anak mereka banyak berubah di rumah. Selain itu juga tidak butuh banyak kuota,” ungkap pria yang pernah mengikuti Teachers Program Development di Adelaide Australia ini.

Metode yang sama juga diterapkan seorang guru di SDI Nurul Hikmah Legok, Tangerang, Banten. Dia adalah Lilik Nur Indah Sari. Bahkan, metode ini dia terapkan pada anak yang masih di fase A atau kelas 1 dan 2 SD.
Awalnya, skema belajar inovasinya berangkat dari hasil asesmen kompetensi anak didiknya yang tidak pernah tercapai optimal. Masalahnya itu terletak di kurikulum lama dimana anak hanya membaca buku dan mengerjakan soal, tanpa tahu apa yang mereka butuhkan.
Lilik mencontohkan untuk kompetisi murid dalam mengenal aturan misalnya, hal paling pertama dia lakukan adalah dengan mendorong anak didik untuk menceritakan kondisi rumahnya masing-masing. Dari situ, akhirnya dikenalkanlah sebuah aturan.
”Do and dont’s. Mana yang dilakukan, mana yang tidak boleh. Mereka juga yang mengatur aturan itu sendiri, mereka juga kerjakan sendiri, bahkan mereka menjadi polisi aturan itu sendiri di rumah,” kisah Lilik.
Di akhir penilaian, sekolah akan melibatkan peran orang tua. Apakah anak-anaknya konsisten dalam menerapkan aturan itu? Hasilnya, tidak hanya patuh aturan, sebagian besar anak malah menjadi polisi aturan dirumahnya.
Misal si anak melihat handuk tidak ditaruh pada tempatnya, si anak akan menanyakan siapa yang menaruh dan memberitahu dimana letak handuk yang benar. Artinya, mengenal aturan ini tidak harus lewat soal-soal.
”Banyak orang tua yang awalnya heran, lalu kagum di akhir-akhir,” ungkap Lilik.
Wanita yang juga adalah Instruktur Pendidikan Guru Penggerak ini menuturkan asesmen belajar dengan metode ini juga diklaim menumbuhkan mental kolaboratif yang dibutuhkan bangsa saat ini yang semakin kesini semakin hilang.
Lilik mengibaratkan kondisi itu lewat puisi berjudul Seonggok Jagung karya WS Rendra yang berbunyi; ”Orang belajar sampai tinggi. Tapi ketika kembali ke tanahnya justru merasa asing.” Seharusnya, berilmu juga artinya berkontribusi.
”Kurikulum seperti ini dibutuhkan untuk kembali mendekatkan anak pada konteksnya, di lingkungan dia ada dan berasal. Sehingga ketika pulang, anak bisa berperan aktif di daerahnya. Berkolaborasi, bukan berkompetisi,” ucap Lilik.
Selain kolaborasi, dunia pendidikan saat ini juga dihadapkan dengan tantangan digitalisasi. Segala aneka disrupsinya harus juga segera dijawab agar generasi milenial tidak terjerembab dalam jurang kemajuan zaman.
Guru, hari ini mulai dituntut untuk menjadi fasilitator karena orientasi belajar sudah harus berpusat pada kemampuan dan kebutuhan siswa itu sendiri. Meski begitu, seiring dengan perkembangan teknologi ini justru memunculkan kebingungan karena dibanjiri berbagai macam aplikasi.
Masalahnya, memori tiap ponsel punya kapasitas. Jika semua aplikasi terpasang dalam satu ponsel, maka tidak akan cukup. Situasi ini rupanya dibaca dengan baik oleh Virandy Putra, guru di SMA Negeri 1 Sijuk, Bangka Belitung.
Dari hasil asesmennya kepada murid dan wali murid terkait kesiapan sarana perangkat ponsel untuk belajar daring, kebanyakan semuanya sudah penuh dengan aplikasi. Tak jarang, di ponsel orang tua siswa ini sudah lemot.
Akhirnya, Virandy punya solusi jitu dalam mengemas pembelajaran yang efektif dengan memanfaatkan aplikasi yang sudah ada. Yakni Instagram yang saat ini menjadi media sosial yang banyak digunakan, khususnya anak remaja.

Virandy sendiri bahkan memanfaatkan semua fitur di akun pribadi miliknya untuk pembelajaran. Mulai dari membuat konten visual pelajaran di fitur feed instagram, story, Live IG hingga fitur kuis dia manfaatkan dengan baik.
Kebetulan Virandy juga adalah seorang desainer sehingga materi pelajaran yang dikemasnya punya tampilan keren dan disukai anak remaja. Apalagi, yang diajarnya adalah bidang ilmu fisika. ”Fisika ini kan ilmu berat, tapi saya kemas sesimpel mungkin, mudah dicerna dan tidak membosankan,” ujarnya.
Alhasil, semua muridnya di kelasnya bersemangat dalam mempelajari ilmu fisika yang diampunya. Dari yang tadinya belajar di kelas minim interaksi, kini banyak muridnya mulai aktif menyimak dan bertanya lewat kolom-kolom komentar hingga pesan pribadi.
”Lambat laun saya juga bikin soal-soal dan ternyata responnya baik. Siswa saya malah nunggu kuis beirkutnya. Banyak yg komen, kapan bikin kuis lagi, Pak. Padahal mereka sedang belajar,” papar Virandy.
Dari hal ini, Virandy sepakat ilmu pengetahuan hari ini harus dimengerti peserta didik sebagai senjata untuk membentuk kecakapan hidup sesuai dengan minat dan bakatnya masing-masing.
Untuk membangun kecakapan hidup itu, menurut Virandy memerlukan sosok guru yang inovatif, kreatif dan tahu kebutuhan peserta didik. Setelah tahu kebutuhan murid, Virandy memilih metode belajar yang asyik dan relate dengan kehidupan sehari-hari.
Misal untuk keterampilan mengukur, dirinya lebih memilih mengajak anak untuk mengukur diameter batang pohon di hutan daripada mengukur tebal kertas atau uang koin yang sama sekali tidak bermanfaat untuk hidup sehari-hari.
”Saya kira ada banyak cara menanamkan ilmu yang lebih efektif dan nyantol, daripada harus mengukur ketebalan kertas, ketebalan uang koin yang gak ada manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari,’ kata Virandy.
Demikian, kisah inspiratif dari ketiga guru di atas hanya senukil upaya menuju reformasi pendidikan di Indonesia yang terbilang masih konvensional. Masih perlu beribu guru dan sosok pendidikan lain yang perlu hadir untuk memajukan dunia pendidikan kita. Mungkin anda adalah salah satunya.
Reporter: Ulul Azmy
editor:jatmiko
—
Terima kasih sudah membaca artikel kami. Ikuti media sosial kami yakni Instagram @tugumalangid , Facebook Tugu Malang ID ,
Youtube Tugu Malang ID , dan Twitter @tugumalang_id