MALANG – Kota Malang ternyata memiliki barbershop atau pangkas rambut yang berdiri sejak 1965. Bukti otentiknya juga masih ada di Kota Malang. Namanya Pangkas Rambut Sahabat.
Lokasi pangkas rambut legendaris ini ada di dalam Kompleks Pertokoan Kayutangan, pertokoan tertua yang menjadi pusat keramaian di medio 1960-1970-an. Di sekitarnya, di bilangan Basuki Rahmat itu juga kini telah ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya (heritage).

Usut punya usut, di awal berdirinya sejak 1965 silam, Sahabat bahkan sudah memakai nama Barbershop. Lengkap dengan tanda barber’s pole (lampu merah, putih biru) di depan bangunannya.
”Hanya saja, waktu jaman Soeharto 1980-an pernah dilarang pakai istilah-istilah bahasa inggris. Akhirnya, diganti jadi pangkas rambut,” kisah Sukadi (70), 1 dari 2 tukang pangkas rambut di Sahabat yang tersisa.

‘The old true barberman’ itu selain Sukadi juga ada M. Nur (70). Mereka sama-sama punya komitmen kuat untuk menjaga asa dan merawat ingatan tentang masa-masa kejayaan Sahabat yang pernah menjadi idola kawula muda di era 1980 hingga 2000-an.
”Umur sudah tua, mau kerja apa? Senang juga disini, sudah kulino (kebiasaan, red). Bertahan saja dengan apa yang ada, disyukuri saja,” katanya.
Di umur yang tua tak menjadikan pelayanan mereka ikut purba. Seperti halnya di barbershop kekinian, disini, anda juga akan diperlakukan bak raja. Mulai disambut ramah, creambath, pijat kepala hingga obrolan-obrolan hangat.

Jasa pelayanannya pun beragam, mulai dari potong rambut, cukur muka, bersih telinga, creambath, semir hingga neril. Tak heran kalau para pelanggan disini datang dari kalangan menengah ke atas.
Sebut saja mantan Bupati Malang dan Kapolres era 80an. Lalu, juga Wakil Wali Kota Malang sekarang, Sofyan Edi Jarwoko selalu menyempatkan potong rambut disini.
”Memang rata-rata pelanggan sini udah tua-tua semua. Bahkan kami juga sering terima panggilan potong di rumah. Tapi sekarang juga sudah mulai banyak anak muda kesini,” ujarnya.

Kendati masa-masa kejayaan Sahabat telah berlalu, harapan akan tempat mereka mencari nafkah selama puluhan tahun ini bisa terus eksis di tengah menjamurnya usaha barbershop di kalangan muda. Kini, Sahabat seolah hidup segan, mati tak mau.
”Sudah mulai sepi pelanggannya, apalagi ditambah pandemi. Tapi disyukuri saja. Bagaimanapun caranya, kami harus tetap hidup dan menghidupi. Sebisa mungkin tempat ini jangan sampai tutup,” harapnya.