Tugumalang.id – Sering dengar istilah fast fashion? Fast fashion kerap disebut sebagai tren mode yang membawa kekhawatiran serta menyebabkan masalah bagi lingkungan.
Limbah fashion yang semakin menumpuk tentunya berdampak buruk jika berlanjut. Bahkan, dikatakan bahwa tren fast fashion ini dapat berakibat pada climate change atau perubahan iklim, lho.
Selain itu, apa aja sih dampak negatif bagi lingkungan dan disebabkan maraknya fast fashion ini? Agar kamu lebih paham, yuk simak penjelasan mengenai apa itu fast fashion dan apa saja dampak buruknya bagi lingkungan di bawah ini.
Baca Juga: Tuntaskan Persoalan Sampah dan Lingkungan, Wali Kota Malang Sutiaji Kembali Terima Piala Adipura
Apa Itu Fast Fashion?
Fast fashion merujuk pada pakaian murah yang diproduksi dengan cepat dan massal (dalam jumlah banyak) oleh pengecer pasar sebagai respons terhadap tren terbaru.
Sederhananya, barang yang termasuk dalam kategori fast fashion adalah pakaian dengan bahan baku berkualitas buruk, sehingga pemakaiannya tidak bertahan lama.
Meski harganya lebih murah, modelnya sangat beragam dan terlihat menarik, dampak dari produksi serta penggunaannya amat buruk bagi lingkungan.
Baca Juga: Sungai Brantas Tercemar Plastik, Pegiat Lingkungan di Kota Malang Gelar Aksi
Produk yang buruk tidak akan awet, hal itu akan membuat kamu menggantinya dengan yang baru dalam waktu singkat. Sebab itulah, akan jauh lebih baik untuk membeli pakaian dengan harga lebih dan bahan yang berkualitas baik karena dapat bertahan lebih lama dari produk fast fashion.
Apa Dampak Buruk Fast Fashion bagi Lingkungan?
1. Pencemaran melalui limbah tekstil
The Ellen Macarthur Foundation, memperkirakan bahwa satu truk muatan tekstil yang terbengkalai dibuang atau dibakar setiap detik. Serat plastik mencemari lingkungan dengan air limbah, polusi udara, dan pewarna beracun yang tentunya membahayakan. Belum lagi suara bising yang terdengar selama proses pembuatan barang-barang fast fashion.
Jika limbah cair beracun dibuang ke lautan maka akan merusak ekosistem disana. Di sisi lain, jika produksinya berada dekat pemukiman warga, maka pencemarannya akan berdampak pada kesehatan warga sekitarnya. Penggunaan plastik mikrofiber yang sulit dalam produksi tekstil akan berdampak buruk bagi bumi.
2. Eksploitasi kerja
Tingginya minat beli masyarakat dalam membeli pakaian berimbas pada banyaknya kebutuhan produksi, termasuk banyaknya tenaga kerja.
Pekerja fast fashion digaji dengan upah minimum yang tergolong rendah meski mereka bekerja susah payah tanpa henti. Belum lagi ada laporan jika terdapat pekerja yang tatusnya masih di bawah umur.
Sedihnya, industri fesyen identik dengan kondisi kerja yang buruk dengan hanya 2% pekerja saja yang benar-benar mendapatkan upah layak. Beberapa pekerja di Bangladesh bahkan mengaku kalau mereka diharapkan bekerja selama 60 jam per minggu.
3. Terlalu banyak baju bekas hingga jadi tumpukan sampah
Karena dianggap murah, masyarakat pun beramai-ramai memborong pakaian saat berbelanja. Pada 2019, dilaporkan sebanyak 62 juta metrik ton pakaian dikonsumsi secara global. Seiring waktu, jumlah yang dikonsumsi masyarakat kita telah meroket dalam beberapa dekade terakhir.
Pakaian dengan kualitas lebih rendah hanya akan aus setelah beberapa kali pencucian. Apalagi, masih sering ditemukan budaya buang sampah sembarangan oleh masyarakat kita yang dapat berujung pada penyumbatan aliran air.
Kalau sudah begini, pakaian akan dibuang dan diganti dengan membeli pakaian baru. 57% dari semua pakaian yang dibuang dan berakhir di TPA (tempat pembuangan sampah).
4. Mempengaruhi iklim dan pemanasan global
Setelah menumpuk, sampah kemudian dipindahkan ke suatu tempat untuk dibakar. Pembakaran yang terus menerus ini dapat berakibat pada pencemaran udara dan merusak lapisan atmosfer bumi kita. Selanjutnya, bumi akan terasa lebih panas akibat efek rumah kaca dari global warming (pemanasan global).
Sebagai informasi, bahan sintetis yang biasa digunakan dalam industri tekstil seperti poliester membutuhkan sekitar 342 juta barel minyak setiap tahun. Akumulasi fantastis ini tentunya berkontribusi dalam perubahan iklim yang kita rasakan saat ini.
5. Penggunaan air yang berlebihan
Setidaknya dibutuhkan 10.000 liter air untuk menghasilkan satu kilogram kapas, atau kurang lebih 3.000 liter air untuk satu baju katun. Selain itu, pewarnaan tekstil membutuhkan bahan kimia beracun yang kemudian berakhir di lautan.
Sekitar 20% dari air limbah di seluruh dunia dikaitkan dengan proses ini dari waktu ke waktu. Sayangnya, air limbah keluaran produksi tekstil sangat beracun, sehingga dalam banyak kasus air tersebut tidak dapat diolah menjadi aman kembali.
Itulah penjelasan tentang fast fashion dan dampak buruknya bagi lingkungan. Jangan mudah tergiur oleh harga yang murah dan pilihan yang menarik, ya.
Utamakan kualitas dibandingkan kuantitas. Lebih baik membeli pakaian dengan harga lebih tinggi yang awet dan berkualitas baik daripada produk murah meriah yang cepat rusak dan kualitasnya buruk. Semoga bermanfaat!
Reporter: Shinta Alifia
Editor: Herlianto. A