Kota Batu, Tugumalang.id – Kejadian luar biasa (out break) soal kasus Gagal Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA) pada anak yang dikaitkan dengan obat sirup mengandung cemaran Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG) tahun lalu membuat Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) tetap melakukan perkuatan pengawasan untuk mengawal jaminan keamanan khasiat dan mutu obat.
Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan menggelar pelatihan penguatan tentang bahaya EG/DEG pada obat yang diikuti ratusan industri farmasi di Indonesia baik secara daring dan luring pada Senin (12/6/2023) di Kota Batu, Jawa Timur.
Pelatihan bertajuk Training of Strengthening Collaboration of Regulator and Pharmaceutical Industries on Precaution of EG/DEG Contamination to Enhance the Safety and Quality of Drugs ini menghadirkan 3 narasumber Prof. Dr. Rer. nat. Rahmana Emran Kartasasmita, Apt., Dra. Sayekti Sulisdiarto, Apt. dan Prof. Dr. M. Yuwono, MS, Apt.
Pelatihan ini ditujukan untuk meningkatkan awareness, kapasitas regulator dan pelaku industri farmasi terhadap risiko cemaran EG/DEG, baik pada bahan baku maupun sediaan obat, dalam sistem jaminan keamanan dan mutu obat untuk konsumsi masyarakat.
Di sana, peserta mempelajari berbagai materi seperti pencegahan kontaminasi dan kualifikasi pemasok serta metode analisis kontaminan dari para ahli di bidangnya.
Kontaminasi cemaran kimia yang berisiko terhadap kesehatan merupakan salah satu aspek keamanan obat. Penanganan kasus cemaran EG/DEG pada sirop obat telah memberikan pelajaran berharga dalam penguatan sistem jaminan keamanan dan mutu obat di Indonesia.
“Diharapkan SDM industri farmasi menerapkan ilmu dari pelatihan ini dengan mengembangkan langkah-langkah aplikatif pencegahan kontaminasi cemaran pada sediaan obat, khususnya EG/DEG, di masa akan datang,” ungkap Kepala BPOM RI Dr. Penny K. Lukito, MCP dalam sambutannya.
Industri Farmasi dalam hal ini sebagai pemegang izin edar obat dipandang bertanggung jawab terhadap keamanan, khasiat, dan mutu produk obat, termasuk mutu bahan baku.
Oleh karena itu, industri farmasi harus memastikan bahan baku yang digunakan sesuai standar dan ketentuan regulasi yang berlaku serta menerapkan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) secara konsisten.
Penny melanjutkan, bahwa industri farmasi juga perlu melaksanakan peningkatan kapasitas SDM, khususnya apoteker, secara berkelanjutan terkait aspek regulatori terkini dalam jaminan keamanan dan mutu obat.
BPOM mendorong asosiasi industri farmasi dan IAI terus bersinergi dalam upaya pemenuhan standar kompetensi apoteker sebagai garda terdepan pada implementasi sistem jaminan keamanan dan mutu obat yang optimal di industri farmasi.
“Tentu saja, upaya-upaya ini tak lepas dari peran industri farmasi. Kami mengapresiasi asosiasi dan industri farmasi yang menunjukkan komitmen dan proaktif melakukan upaya perbaikan bersama BPOM sehingga dapat mengatasi situasi krisis tersebut,” ucapnya.
Upaya ini juga mendapat apresiasi dari WHO, Harvard Medical School, dan otoritas regulatori obat sejumlah negara mengapresiasi upaya BPOM pada penanggulangan dan pencegahan kasus tersebut.
Indonesia diminta berbagi pengalaman pada forum-forum strategis terkait langkah-langkah cepat, responsif, efektif dan transparan serta komitmen dan strong leadership dalam penanganan kasus cemaran EG/DEG pada sirop obat.
BPOM kemudian telah menetapkan persyaratan bahwa semua produk obat sirup untuk anak maupun dewasa, tidak diperbolehkan menggunakan EG dan DEG.
Namun demikian EG dan DEG dapat ditemukan sebagai cemaran pada beberapa pelarut seperti gliserin atau propilen glikol, sebab itulah BPOM juga menetapkan batas maksimal EG dan DEG pada beberapa bahan tambahan sesuai standar internasional.
Hal inilah yang kemudian perlu disosialisasikan dengan baik. Ketua Ikatan Apoteker indonesia (IAI) Kab. Malang, Apt. Bhakti Maulana Asnar, S. Farm mengapresiasi atas pelatihan ini sehingga para apoteker bisa meningkatkan kompetensinya.
Menurutnya, kolaborasi seperti ini perlu ditingkatkan agar kejadian outbreak tahun lalu tidak terulang lagi. Meski dalam kasus itu lebih pada kasus pemalsuan. Terlepas dari itu, semua pihak harus berhati-hati terhadap pengelolaan bahan baku obat.
“Kita sebagai apoteker harus ikut mengawal karena efeknya itu yang merasakan langsung masyarakat,” tuturnya.
Bhakti menambahkan jika pelatihan ini penting guna mengimplementasikan aturan baru soal kandungan impuritis tiap obat yang harus diuji. Diharapkan dari industri farmasi bisa melakukan pengecekan kadar kandungan itu baik secarabmandiri atau kerjasama dengan pihak lain.
Hal senada dikatakan oleh Ketua Umum Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GPFI) Jawa Timur Philips Pangestu. Bahwa dengan pelatihan ini dapat menjadi acuan bagi industri farmasi soal keamanan obat secara kompleks dari regulator langsung.
“Kami senang sekali, artinya BPOM ada untuk kita, Tahun lalu waktu outbreak itu kami merasa sendiri, dicecar sana-sini seolah-olah industri farmasi itu sengaja. Tapi kan gak mungkin kita begitu. Urusan nyawa,” jelasnya.
Dari pelatihan ini menunjukkan adanya sinergi baik antara pemerintah, BPOM dan juga industri untuk membangun kualitas produk obat yang aman. “Ini penting sekali bagi industri untuk mengetahui mana kadar kandungan obat yang aman,” tuturnya.
Reporter: Ulul Azmy
editor: jatmiko