Tugumalang.id – Yayasan Museum HAM Omah Munir (MHM) mengakhiri kerja sama dengan Pemkot Batu terkait penyelenggaraan Museum HAM yang dibangun di Kota Batu. Artinya, Museum HAM Omah Munir yang rencana akan segera dioperasikan itu terancam gagal terealisasi.
Keputusan ini didasarkan dari banyak ditemuinya inkonsistensi, kejanggalan dan itikad tidak baik yang ditemui sejak disepakatinya perjanjian kerja sama pengelolaan Museum HAM bersama Pemkot Batu per 28 November 2022.
Ketua Yayasan MHM, Suciwati, menuturkan sejak PKS itu terjadi, tidak ada langkah konkret dari Pemkot Batu yang dilakukan merujuk dari isi Perjanjian Kerja Sama tersebut.
Baca Juga: Operasional Museum HAM Omah Munir Molor, Yayasan: Kami Butuh Kepastian
Alih-alih merealisasikan sistem tata kelola yang baik, Pemkot Batu menurut istri mendiang Munir justru mendapati pengadaan-pengadaan barang yang tidak sesuai peruntukan pemajuan pendidikan HAM.
Terlebih, pengadaan barang tersebut tidak melalui pemberitahuan dan koordinasi dengan Yayasan MHM. Begitu juga saat dimintai tanggung jawab, kata Suciwati, pihak Pemkot Batu diduga tidak transparan.
”Misal dari pengajuan anggaran kita membangun wahana edukasi anak yang semula hanya Rp 1,5 miliar, tapi oleh mereka ditulis Rp13 miliar. Belum lagi transparansi catatan belanja yang tidak jelas, juga banyak kami temui,” terang Suciwati dalam konferensi persnya di UB Malang.
Baca Juga: Molor Lagi, Yayasan Museum Omah Munir Somasi Pemkot Batu
Bagi Suciwati, hal-hal seperti itu sangat riskan bagi pertanggungjawban publik lembaga penegak HAM seperti Yayasan MHM. Lagi pula, Suciwati menilai Pemkot Batu tidak punya niatan untuk terlibat dalam upaya pemajuan edukasi HAM ini.
“Dari sekian banyak inkonsistesi yang kita temui itulah, kami memutuskan mengakhiri kerja sama ini. Kami punya tanggung jawab publik yang besar jika terlibat di museum itu,” tegasnya.
Sejauh ini, berbagai langkah telah dilakukan oleh Yayasan MHM, termasuk mengajukan surat somasi sebanyak 2 kali sejak Februari 2023. Namun, tindak lanjut itu baru direspons pada September 2023 ini. Itu pun, kata dia masih sebatas membicarakan dana.
“Kami menilai Pemkot Batu tidak punya itikad baik, ditambah dengan banyak inkonsistensi yang kami temui. Dari pada kami berurusan dengan hal-hal yang urusannya substantif, kami putuskan untuk sekalian mengakhiri kerja sama ini,” ujarnya.
Imbau Tidak Pakai Nama Munir untuk Gedung
Suciwati menambahkan dengan pengakhiran kerja sama ini, gedung yang semula dinamai Museum HAM Munir diimbau nantinya tidak menggunakan nama ‘Munir’. Nama ‘Munir’ sendiri adalah milik masyarakat.
“Jika masih memaksakan pakai nama Munir, kami dari Yayasan MHM tidak bertanggung jawab atas semua penggunaan, penyelenggaraan maupun anggaran di gedung tersebut. Kami sudah resmi tidak terlibat apapun di sana,” tegasnya.
Seperti diketahui, Museum tersebut dibangun di atas lahan milik Pemkot Batu seluas 2.200 meter persegi di Kelurahan Sisir, Kecamatan Batu, Kota Batu dengan nilai anggaran Rp8,2 miliar dari APBD Provinsi Jatim itu belum beroperasi hingga kini. Saat ini, dinas pengelolanya adalah Dinas Pariwisata.
Sebagai informasi, Munir Said Thalib merupakan aktivis HAM kelahiran Malang, 8 Desember 1965 yang bersuara lantang memperjuangkan HAM di Indonesia. Dia menjadi korban pembunuhan saat penerbangan dari Jakarta menuju Amsterdam, Belanda pada 2004 silam.
Dalam jejaknya, Munir pernah memperjuangkan keluarga korban pelanggaran HAM pada Tragedi Tanjung Priok 1984 yang menewaskan 24 demonstran akibat tindakan aparat keamanan yang membubarkan demonstran.
Selain itu, Munir juga pernah melakukan investigasi terhadap pelanggaran HAM pada kasus pembunuhan aktivis buruh Marsinah serta menyuarakan kasus penculikan yang mengakibatkan 13 aktivis hilang pada 1997-1998.
Reporter: M Ulul Azmy
Editor: Herlianto. A