Malang, Tugumalang.id – Sejumlah akademisi mulai meragukan pondasi bangunan ilmiah Rancangan Undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Menurut mereka, jika disahkan, RUU ini masih terbilang terlalu prematur untuk disahkan tahun ini.
Argumentasi ini datang dari Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Prof Pujiyono yang menjadi pembicara di Semnas Rancangan KUHAP Dalam Perspektif Keadilan Proses Pidana: Menggali Kelemahan dan Solusi di Fakultas Hukum UB Malang, Rabu (12/2/2025) kemarin.
Menurutnya, rancangan KUHAP ini harus diikuti dengan kesadaran memahami perkembangan yang ada. ”Apa yang ada dalam RUU KUHAP ini telah dibuat sejak 2012 lalu. Tentu harus pula disesuaikan dengan perkembangan KUHP baru yang akan berlaku mulai 2 Januari 2026.
Baca Juga: Ulas Dampak RUU KUHAP, Kampus UB Hadirkan Para Pakar Hukum
Namun seharusnya, kata dia, pembahasan RUU KUHAP mestinya mengacu dari perkembangan dalam KUHP Nasional. Bicara tentang RUU KUHAP 2012 sebenarnya merupakan produk yang disiapkan pemerintah yang kini menjadi inisiasi DPR.
”Nah yang jadi pertanyaan, sekarang DPR apa sudah membuat draft RUU KUHAP atau belum?, kan belum. Naskah akademiknya saja belum ada, baru disiapkan. Jadi menurut saya RUU KUHAP yang kita bicarakan ini masih sangat prematur,” ungkapnya.
Artinya, sambung dia, sebelum kita lebih jauh membahas RUU KUHAP ini, harus ditelaah dulu maksud dari DPR RI untuk merancang RUU baru atau melakukan pengkajian kembali. Sebagai akademisi, tentunya akan tetap memberikan telaah yang konstruktif, argumentatif yang non-partisan.
Menurutnya, kajian hukum RUU KUHAP secara menyeluruh penting dilakukan agar produk hukum yang dihasilkan baik dan benar. Tidak didasarkan dari kepentingan secara parsial dari masing-masing Aparat Penegak Hukum (APH).
Baca Juga: Akademisi UB Minta RUU KUHAP dan RUU Kejaksaan Dikaji Ulang
Sebagai akademisi, Prof Pujiyono berharap dalam menyikapi huru-hara ini tidak melakukan resistensi. Ia berharap, kepada para akademisi hukum lainnya tidak terjebak dalam dukung-mendukung secara parsial.
”Akademisi harus berpihak terhadap kajian akademis, jangan sampai terjebak dukung nendukung kepentingan secara parsial. Ini tidak baik,” katanya.
“Kami sendiri baru melakukan kajian melalui seminar-seminar. Harapannya bisa menjadi masukan kepada DPR RI sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun RUU KUHAP,” pungkasnya.
Di sisi lain, Guru Besar FH UB Prof. Dr.Sudarsono menyatakan kritiknya atas rencana penyusunan RUU KUHAP. Menurutnya, dalam draft RUU KUHAP yang beredar dinilai masih bersifat tumpang tindih kewenangan antara lembaga penegak hukum, seperti kejaksaan, kepolisian, dan peradilan.
Jika dipaksakan, ia mengkhawatirkan terjadinya konflik kewenangan antar-institusi dalam menjalankan sistem peradilan pidana di Indonesia.
Sebagai contoh, pada draf RUU Kejaksaan, ada sejumlah poin yang memperluas kewenangan kejaksaan dalam hal penyelidikan hingga penyidikan yang selama ini menjadi tugas utama kepolisian.
“Kami khawatirnya ini akan menjadi ‘perang RUU’ tanpa solusi yang solutif. Tapi semoga tidak terjadi. Seminar seperti ini harus terus dilakukan. Ini adalah kewajiban akademisi,” tuturnya.
Ia mengungkapkan sebenarnya yang dibutuhkan saat ini adalah keseimbangan kewenangan yang proporsional agar tidak memunculkan fenomena ego sektoral. ”Ada banyak cara dan pendekatan. Misal, ketahui saja jati diri institusi masing-masing. Kira-kira kalau punya kewenangan itu overlapping tidak,” jelasnya.
Sedangkan Dr Muhammad Rustamaji SH MH selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret juga menyampaikan jika kewenangan ini diperluas tanpa batasan yang jelas maka dapat berpotensi menimbulkan gesekan di lapangan antara jaksa dan polisi.
“Dari sisi kewenangan, RUU Kejaksaan memberikan ruang cukup besar bagi lembaga ini untuk melakukan proses-proses mulai dari penyelidikan hingga penyidikan. Padahal, secara alami, ini adalah fungsi dari kepolisian,” jelasnya.
Di sisi lain, revisi RUU KUHAP juga harus dipastikan tetap menjaga keseimbangan dalam proses hukum. Salah satu poin utama dalam RUU ini adalah adanya usulan peran hakim komisaris, yang berfungsi sebagai pengawas aparat penegak hukum agar tidak sewenang-wenang melakukan penangkapan dan penahanan.
“Di KUHAP nanti kita lihat lagi bagaimana pengaturannya. Jangan sampai ada pasal yang justru melemahkan perlindungan hak asasi manusia dalam proses hukum. Semua ini perlu ditempatkan secara proporsional,” katanya.
Baca Juga Berita Tugumalang.id di Google News
Reporter : M Ulul Azmy
redaktur: jatmiko