Di Balik Migrasi Besar-Besaran Petani Apel di Kota Batu Beralih Tanam Jeruk
Kota Batu, Tugumalang.id – Sejak tahun 1950-an, Kota Batu menjadi daerah di Jawa Timur yang dikenal dengan buah apel khasnya. Sampai-sampai, kota ini dijuluki sebagai Kota Apel. Ini karena daerah yang dikelilingi Gunung Arjuno dan Gunung Kawi itu menjadi daerah paling banyak memproduksi apel.
Di masa kejayaannya, di tahun 2004, tingkat panen apel di Kota Batu tercatat mencapai 46 ribu ton dari 2 juta pohon apel. Kini, masa keemasan itu semakin memudar. Jumlah produksinya dari tahun ke tahun mulai mengendur.
Dalam situasi yang runyam itu, petani apel mau tidak mau harus menentukan sikap untuk bertahan hidup. Kebanyakan, petani apel di Kota Batu mulai beramai-ramai bermigrasi atau beralih menanam komoditas lain yang lebih menjanjikan seperti jeruk, anggur, kesemek dan lainnya.
Informasi dihimpun, dari total lahan kebun apel di Kota Batu secara kasar hanya tersisa 20 persen. Para petani sudah tidak bisa menggantungkan hasil panenan apelnya dan mulai bermigrasi menanam jeruk. Meski berhasil panen berapa ton sekalipun, hasil penjualannya tak akan mampu menutup biaya produksinya.
Situasi runyam produktivitas apel sebagai ikon Kota Batu itu diceritakan oleh Kepala Desa Bulukerto, Suhermawan. Menurut Mawan, sapaan akrabnya, situasi itu juga terjadi di desanya yang juga dikenal sebagai sentra penghasil apel.
BACA JUGA: Pemkot Batu Mulai Peras Otak Merespon Sambatan Petani Apel
Menurut hitungan kasar, baik angka produksi hingga sisa lahan apel di desanya hanya tersisa 20 persen. Belum lagi di daerah lain, Kata dia, situasinya hari ini memang sangat dilematis bagi petani.
”Saya saja sudah sembilan musim ini gak panen. Ya sebenarnya tetap panen, tapi hasilnya gak bisa buat nutup biaya operasional. Aslinya ya malah minus,” ungkap Mawan pada tugumalang,id, Senin (10/7/2023).
Mawan menambahkan, kerunyaman situasi itu sudah terjadi berlarut-larut hingga memaksa petani menggunakan pupuk kimia untuk menjaga pohon apel agar tidak kena penyakit. Dimana upaya itu justru semakin menambah biaya pengeluaran dan memperburuk kualitas tanah yang ada.
Malah yang terjadi hari ini kata Mawan, dinas terkait justru mendukung petani untuk beralih tanam ke komoditas jeruk. Kalau seperti itu terus-menerus, bukan tidak mungkin ikon apel yang sudah melekat hanya jadi sejarah di buku-buku.
Harusnya, kata Mawan, dinas terkait harus mencari segala cara agar apel ini tetap bertahan. ”Kan lucu kalau ada program wisata petik apel, tapi apelnya gak ada. Saya sebagai petani apel cukup miris melihatnya,” ucap mantan Ketua BPD Bulukerto ini.
Sejauh ini, dirinya dan bersama petani apel lain di desanya tetap teguh pendirian memproduksi apel, meski memang tergolong merugi. Untuk menutupi biaya produksi, biasanya petani melakukan sistem tumpang sari. Entah diselingi pohon kopi atau sayur mayur yang lain.
Sejauh ini selain di desanya, daerah yang masih tetap memproduksi apel eecara signifikan terletak di Desa Tulungrejo dan Djunggo. Rerata, jenis apel yang masih dibudidayakan adalah jenis apel Anna dan Apel Manalagi.
Tak hanya Suhermawan, Utomo (62), warga Dusun Gerdu, Desa Tulungrejo, Kota Batu yang juga petani apel membenarkan jika banyak petani bermigrasi besar-besaran beralih menanam jeruk. Penghasilan dari komoditas jeruk masih terbilang untung daripada apel.
Penyebabnya, menurut Utomo, selain karena biaya produksi apel yang tinggi, kualitas kondisi tanah di lahan apel kini terancam mengalami penurunan akibat penggunaan pupuk kimia berlebih.
Petani apel juga dihadapkan dengan biaya obat tanaman apel yang menembus angka Rp30 juta per musim atau selama 6 bulan. Sementara, hasil panen hanya berkisar di angka Rp 24 juta. “Itu masih belum pas harga pasaran turun lho. Kita enggak mungkin jual mahal juga,” timpalnya.
Keluhan ini menurut dia sebenarnya sudah terbilang klise. Berkali-kali dia berbagi keluh kesah dengan pejabat dinas maupun legislatif. Namun, tak pernah ada solusi jitu. Bahkan sebenarnya pertanian apel di sini masih lebih baik daripada produksi apel di Polandia, New Zealand hingga Vietnam.
“Setahun kita masih bisa panen dua kali, mereka hanya bisa satu kali. Bedanya, kalau di sana hasil panen langsung di setor ke pemerintah. Petani hanya fokus menjaga kualitas buah, enggak perlu bingung jualan,” harapnya.
Sementara itu, Kabid Perdagangan Dinas Koperasi, Usaha Mikro, Perindustrian dan Perdagangan Kota Batu Nurbianto Puji menuturkan meski situasi itu sangat nyata, meski begitu Kota Batu masih memegang predikat sebagai daerah dengan penghasil apel terbaik.
“Maka dari itu, Kota Batu masih bisa memanfaatkan penjualan dengan memasok apel dari daerah lain, karena reputasi Kota Batu sebagai kota apel ini masih tetap terjaga,” ujarnya.
BACA JUGA: Berita tugumalang.id di Google News
Reporter: Ulul Azmy
editor: jatmiko