Oleh: Wawan Eko Yulianto*
Tugumalang.id – Avatar adalah waralaba film yang kaya suara. Film ini seperti ingin mengatakan banyak hal sejak film pertamanya 13 tahun yang lalu. Representasi tokoh Jake Sully yang difabel, pemimpin spiritual kaum Na’vi yang perempuan, dan kisah terusirnya kelompok yang ingin mengeksploitasi alam dan mengkoloni Pandora adalah sebagian dari suara itu.
Tentu ini belum lagi soal efek 3D di alam Pandora yang cukup mengguncang pengalaman orang menikmati sinema. Bagaimana dengan film kedua ini?
Eksplorasi keindahan alamnya (yang kali ini dunia terumbu) dan efek 3D-nya tidak perlu lagi ditanyakan. Tidak kurang resensi baik di Indonesia maupun di luar negeri yang membahas soal ini nyaris tanpa sisa.
Namun, tentu saja film kedua Avatar ini tetap menawarkan banyak hal kepada penontonnya. Selalu ada pesan ekosentrisme yang memposisikan manusia atau yang mirip manusia hanya menjadi bagian dari seluruh proses alam. Ada pula suara tentang kolonialisme dan rasisme. Namun, ada suara-suara yang perlu lebih mendapat tempat dalam diskusi tentang film ini, yaitu perihal tubuh, komunikasi, dan identitas. Uniknya, ada kesan bahwa
Mengatasi Ableisme
Terlepas dari tema-tema kuat yang membuat film Avatar pertama menjadi inspirasi banyak orang, ada satu aspek yang problematis di film tersebut. Perihal tubuh, Avatar sempat mendapatkan kritik karena dipandang terjebak pada ableisme atau diskriminasi disabilitas. Beberapa kritikus menyoroti ini.
Dia terjebak dalam apa yang banyak terjadi di film-film aksi Hollywood: disabilitas ditampilkan sebagai sebuah derita besar atau diromantisasi untuk kemudian dijadikan bagian dari kekuatan super.
Seperti halnya Profesor Xavier dalam X-men dan Dare Devil si adiwira buta, Jake Sully yang mengalami paraplegia atau lumpuh dari panggul ke bawah itu justru yang menjadi hero dalam cerita.
Kritik tersebut ditujukan pada berbagai komentar tentang kondisi Jake Sully dan bagaimana film ini berakhir. Di akhir cerita, justru tubuh yang lumpuh itu dia tinggalkan sepenuhnya untuk kemudian menggunakan tubuh avatar Na’vi-nya.
Menurut kritik, film ini lebih memilih untuk “pulih” dari disabilitas sebagai solusi alih-alih “menyembuhkan” dunia yang memarginalkan orang difabel. Hal ini ikut diulas oleh Douglas Laman dalam artikel yang dia tulis sebelum Avatar: the Way of Water dirilis.
Di film yang kedua ini, kita mendapatkan sesuatu yang berbeda terkait tubuh dan disabilitas. Kali ini kita tidak ketemu lagi dengan Jake Sully yang difabel. Jake Sully sudah sepenuhnya hidup di tubuh Na’vi dan menjalani kehidupan sebagai Toruk Makto. Dia bahkan punya anak dengan Neytiri. Namun, persoalan tubuh tidak dengan serta merta selesai di dalam film ini.
Yang pertama adalah bagaimana satu insiden besar membawa Jake Sully kepada klan Metkayina yang tinggal di terumbu. Di situ, keluarga Sully mendapati bahwa tubuh mereka tidak begitu cocok. Berbeda dengan klan Metkayina yang tubuhnya cocok untuk hidup di darat sekaligus di air, bangsa Na’vi hutan membutuhkan usaha lebih untuk bisa hidup di darat dan air.
Kasus disabilitas kedua adalah ketika keluarga Sully bertemu dengan tulkun, makhluk mirip paus yang kehilangan salah satu sirip utamanya. Tulkun yang satu ini dipandang sebagai tulkun pembunuh dan dijauhi.
Ketika tubuh-tubuh yang tidak sempurna ini ditampilkan pertama kali, ada reaksi yang membuat siapa saja bisa merasa tersisih. Melihat tubuh keluarga Sully yang seperti tidak cocok untuk lingkungan air, ada ejekan dari sebagian remaja Metkayina yang merendahkan.
Melihat para Omatikaya ini tidak bisa lama menyelam, para remaja Metkayina tidak bisa memahami. Beberapa ucapan yang muncul dalam obrolan antara para remaja Na’vi ini sempat menghidupkan kembali ableisme yang muncul secara eksplisit dari mulut para tentara bayaran ketika melihat Jake Sully yang berkursi roda turun dari pesawat di Avatar pertama.
Namun, film kedua ini mendekati “ketidaksempurnaan” fisik dengan cara yang lain. Kali ini, kita tidak lagi karakter yang setengah mati ingin tubuhnya menjadi lebih cocok. Justru yang tampak adalah upaya untuk lebih menerima kondisi itu. Di sinilah sepertinya permata itu ada, dan di sinilah mestinya Avatar: The Way of Water ini perlu mendapatkan apresiasi terbesarnya.
Komunikasi
Ada satu lagi yang mendukung isu tubuh, yaitu adanya kesan Avatar: The Way of Water menawarkan satu angin segar tentang komunikasi inklusif. Sejak film pertama, Avatar selalu kaya dengan persoalan komunikasi.
Fiksi ilmiah yang tidak ingin jalan pintas selalu punya perhatian khusus terhadap urusan komunikasi. Sejak adegan awal Avatar hal ini sudah tampak, yaitu ketika Grace menyambut Norm yang baru datang dari bumi dengan menguji kemahiran bahasa Na’vinya.
Persoalan komunikasi muncul di bagian-bagian vital dalam film pertama. Di seluruh cerita, kita melihat bagaimana Jake Sully belajar bahasa Na’vi untuk lebih memahami dan bisa dipahami klan Omatikaya.
Tapi, bahkan pada keadaan kritis pun, kesadaran akan bahasa ini tetap menjadi perhatian utama. Perhatikan adegan ini, di mana untuk menyampaikan strategi peran Jake Sully membutuhkan peran juru bahasa. Avatar didasari kesadaran bahwa sering kali ada persoalan bahasa antar bangsa yang harus dijembatani ketika ada satu usaha bersama yang perlu dicapai.
Ikhwal komunikasi ini semakin kuat di Avatar: The Way of Water. Di film kedua ini, kemampuan berbicara bahasa Na’vi tidak lagi menjadi masalah bagi Jake Sully.
Di satu adegan dia sempat mengatakan bahwa ketika anak-anaknya ngobrol, dia bahkan seolah mendengar mereka seperti berbicara bahasa Inggris. Dengan kata lain, Jake Sully sudah mencapai level kompetensi bahasa Na’vi mendekati penutur asli.
Persoalan komunikasi ini muncul lebih kaut dalam bentuk lain: bahasa isyarat. Di film pertama, bangsa Na’vi memang suka berbicara sambil memberikan isyarat tertentu. Namun, di film kedua ini, bahasa isyarat memiliki porsi yang lebih besar.
Klan Metkayina yang dikunjungi oileh keluarga Sully adalah bangsa yang banyak menghabiskan waktu di air. Meskipun banyak bagian tubuh mereka sudah berevolusi sehingga cocok untuk aktivitas di air, mereka tetap tidak bisa berbicara di air. Untuk itu mereka berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat.
Di sinilah menariknya. Cukup banyak porsi penggunaan bahasa isyarat sepanjang film ini. Dan bahasa isyarat tersebut ternyata cukup konsisten. Kalau di film pertama Avatar mendapat kritikan karena karakter Jake Sully yang mengalami kelumpuhan itu diperankan oleh tokoh yang tidak lumpuh, di film ini ada gestur positif.
Bahasa isyarat yang dipakai di film ini adalah rekaan C.J. Jones, aktor Hollywood tuli yang juga dikenal sebagai aktivis difabel.
Hadirnya bahasa isyarat dalam film kali ini seperti sebuah pengakuan tentang pola-pola komunikasi yang tidak hanya mengandalkan suara. Dengan kata lain, ada pengakuan atas moda komunikasi yang lazim dipakai di kantong-kantong tertentu di masyarakat.
Kalau di film pertama kita melihat peran seorang juru bahasa wicara, di episode kedua film ini kita disuguhi edukasi tentang bahasa isyarat sekaligus contoh penggunaan dan pembelajarannya. Bahkan, di dalam cerita, masih ada lagi penggunaan bahasa isyarat dan cara komunikasi khas Pandora, yaitu menyambungkan pikiran dengan kontak fisik.
Pendeknya, film kedua ini melanjutkan apa yang bagus dari film pertama, yaitu komunikasi, dan membawa tema ini lebih jauh. Dan tentu saja isu komunikasi ini merupakan sesuatu yang wajib jadi sorotan utama dalam film multi bangsa seperti ini.
Dan, tidak ada yang lebih memuaskan bagi penggemar fiksi ilmiah selain mendapatkan penjelasan tentang bagaimana kaum yang berbeda-beda itu akhirnya bisa saling memahami. Atau, setidaknya, saling mengetahui maksudnya saja sudah cukup. Ted Chiang memiliki contoh yang cukup ekstrim tentang bagaimana pemahaman bahasa bisa begitu mengasyikkan dalam “The Story of Your Life” yang difilmkan menjadi Arrivals.
Identitas
Satu isu terakhir yang sebenarnya tak terpisahkan dari Avatar: The Way of Water adalah identitas. Kali ini, identitas tidak hanya soal apakah seorang avatar bisa menjadi bagian dari kaum Na’vi sepenuhnya. Di film pertama, terdapat persoalan identitas yang lebih tradisional, soal bagaimana orang yang berasal dari satu klan bisa menjadi anggota klan yang lain.
Di film Avatar pertama, kaum Omaticaya tetap tidak bisa menerima Jake Sully. Baru setelah dia berhasil membuat koneksi dengan Toruk atau binatang terbang terbesar, dia pun diakui menjadi Omaticaya dan pendapatnya bisa didengar orang.
Di film kedua, isu identitas seperti ini tetap hadir dengan gaya yang berbeda karena ada krisis identitas remaja yang terlibat di sana. Relasi antara anak-anak remaja keluarga Sully dengan bangsa Metkayina dan kelayakan Jake Sully dan keluarganya untuk menjadi bagian dari Metkayina adalah pertanyaan dieksplorasi dengan asyik di sepanjang film.
Di sini, kita bisa melihat bagaimana perundungan adalah persoalan yang sepertinya tidak pernah absen dalam kehidupan remaja. Los Angeles atau Terumbu Pandora tidak ada bedanya di sini.
Selain itu, kita juga melihat dilema identitas yang lebih kompleks dalam sosok Spider. Spider adalah bocah manusia yang tumbuh bersama anak-anak Na’vi. Spider merasa sangat dekat dengan kawan-kawan yang tumbuh bersamanya.
Namun, pada saat yang sama, dia dalam kondisi yang tidak lengkap. Dia selalu merasa tidak lengkap karena tubuhnya tidak memungkinkan dia menjalani hidup di Pandora seperti teman-temannya bangsa Na’vi.
Terakhir, ada pula persoalan identitas yang lebih eksplisit tapi juga misterius, yaitu tentang Kiri. Putri dari Grace ini tidak diketahui siapa bapaknya. Siapa bapak Kiri adalah pertanyaan yang tak kunjung habis dan terus menjadi misteri. Di sepanjang film, dia mencari tahu tanpa henti siapa dirinya yang sebenarnya. Tentu ada banyak teori, tetapi tentu saja itu semua cuma teori.
Film pertama Avatar menerima kritik cukup tajam terkait identitas. Kritikus membaca kehadiran Jake Sully sebagai penyelamat ini sebagai wujud eksepionalisme Amerika, pandangan bahwa Amerika adalah bangsa yang memiliki kekhasan yang menjadikannya bisa menjadi penyelesai masalah.
Susan Flynn membahas ini dalam tulisannya yang berjudul “’Gets Your Life Back’: Avatar (2009) and Re-booting of American Individualism.” Si orang Amerika yang kulit putih dan laki-laki ini menjadi orang yang bisa melebur secara budaya, menguasai ikran dan bahkan Toruk Makto, dan kemudian menjadi pengusir manusia bumi. Seolah-olah mengatakan bahwa bangsa Na’vi membutuhkan orang luar untuk membantunya menyelesaikan masalah.
Di film yang kedua ini, hal yang sama tampaknya tidak lagi menjadi persoalan lagi. Seperti halnya soal ableisme yang dibahas di atas, kali ini tidak ada lagi heroisme yang seperti itu. Persoalan identitas yang ada kini berjalin kelindan dengan persoalan yang elbih sehari-hari.
Apakah seorang manusia yang dibesarkan di lingkungan Na’vi tetap manusia? Apakah anak hibrida antara Na’vi dan separuh manusia bisa dengan nyaman menyebut dirinya bangsa Na’vi? Apakah ingatan seseorang yang dicangkokkan ke tubuh yang lain tetap menjadi orang yang sama? Ataukah dia hanya algoritma tanpa identitas? Bagaimana relasinya dengan teman-teman, keluarga, dan kerabat dari orang yang memorinya dihidupkan kembali itu?
Di bagian ini tampaknya Avatar 2: the Way of Water memiliki potensi lebih besar untuk dijadikan teman merenungkan persoalan identitas kita, terutama identitas remaja. Tapi, mungkin akan lebih mengasyikkan kalau kita mendengar sendiri bagaimana remaja merespons hal ini.
Tentu, ketiga hal ini baru bisa terjadi setelah kita membiarkan diri kita tercebur ke delam dunia Avatar: The Way of Water. Kita perlu melesap dan membiarkan diri terimersi ke dalam dunia 3D-nya. Film ini adalah rekreasi yang berlipat ganda. Dia mengobati kerinduan kita kepada tokoh-tokoh yang berhasil menyita perhatian kita 13 tahun yang lalu.
Penelusuran dunia bawah airnya seperti mengajak penonton untuk menikmati keindahan bawah air yang hanya bisa dinikmati mereka yang suka menyelam ke tempat-tempat eksotis semacam kantong-kantong terumbu di kepulauan nusantara atau bahkan Great Barrier Reef yang sempat dieksplorasi dalam film Finding Nemo.
Sebagaimana dibahas di atas, film kedua ini mau masuk ke wilayah yang lebih jauh dari sekadar memberikan hiburan yang memanjakan emosi, mata, telinga, dan imajinasi.
Dia juga mau repot-repot menjelajahi kompleksitas tersebut untuk menjadi pertanyaan yang harus dijawab dengan mempertimbangkan hal-hal lain di luar film ini sendiri. James Cameron dan timnya tidak takut menghadapi kritikan dan kemudian mencoba menjawabnya.
Mungkin, ini cara James Cameron atau film Avatar: The Way of Water mengatakan “aku dengar yang kalian katakan.” Atau, mungkin lebih tepatnya film ini mengucap salam kepada para kritikusnya: “I see you.”
*Penulis adalah Ddosen sastra Inggris Universitas Ma Chung