Tugumalang.id – Kalaupun kita kaya, semua tercukupi tetapi masyarakat kita ribut terus gara-gara tidak toleran, apa hidup kita enak? Sepenggal tanya inilah yang membuat Ai Nurhidayat, menggagas sekolah multikultural di Cintakarya, Parigi, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat.
Kepada tim “Jelajah Jawa-Bali, Mereka yang Memberi Arti,” alumnus universitas Paramadina itu menceritakan perjalanannya menggagas sekolah multikultural. Yaitu SMK Bakti Karya pada tahun 2014 lalu.

Sekolah ini memiliki siswa hampir dari seluruh provinsi Indonesia. Berbagai etnis dan agama. Para siswa ini belajar secara gratis mulai tiket berangkat ke lokasi, tempat tinggal, makan dan minum. Semua diberikan hingga lulus.
Komunitas Sabalad
Cerita sang penenun toleransi ini berawal dari setelah dia lulus kuliah di Jakarta. Dia balik ke kampung halamannya, Kabupaten Pangandaran, dan membuat komunitas literasi yang diberi nama Sabalad. ‘Sabalad’ adalah bahasa Sunda yang berarti kawan atau pertemanan. Komunitas ini diikuti pemuda-pemuda sekitar Pangandaran.

Komunitas ini biasanya berkunjung ke sekolah-sekolah. Kegiatannya mengadakan workshop jurnalistik dan bikin media yang sederhana. Juga bikin taman baca. Selain itu, ada camping dan pelatihan lainnya yang mengajak warga mengenal lebih jauh soal ekologi atau lingkungan.
“Makanya itu, kami punya jaringan-jaringan ke petani dan ke pojok-pojok baca,” katanya.
Saat itu, komunitas Sabalad memusatkan kegiatannya di sebuah saung yang masih ada hingga saat ini. Saung ini menjadi pusat segala aktivitasnya kala itu.
Pada tahun 2013, ada sekolah yang mau bangkrut. Sekolah yang baru memiliki lima angkatan itu merupakan sekolah berjejaring yang bernama Asifa, pusatnya ada di Bekasi.
“Di sekolah ini terjadi konflik internal, sehingga saat itu dipecah jadi dua sekolahnya,” kata Kang Ai, sapaan akrabnya.
Salah satu pecahannya tidak bisa berjalan karena tak ada dana. Akhirnya bangkrut dan mau tutup. Sementara masih ada 20 siswa yang akan lulus di sekolah itu. Siswa itu sering ikut kumpul dengan komunitas Sabalad dan bercerita soal sekolahnya yang mau bangkrut.
Di situlah Ai Nurhidayat tergerak dan mengambil alih. Saat itu sekolah itu tidak punya gedung, gedung yang ditempati hasil nyewa. “Jadi asal tuh orang bikin sekolah waktu itu,” katanya.
Setelah diambil alih, dia masih sewa gedung bekas gudang kelapa untuk jadi tempat sementara. Namun perizinan belum ada, peraih Satu Indonesia Award itu harus bergulat dengan perizinan dan baru dapat izin operasional pada tahun 2014. Berdirilah sekolah SMK Bakti Karya Parigi dengan wajah baru dengan jurusan multimedia.

Kemudian, tahun 2015 dia mengubah semua sistemnya. Termasuk mendirikan yayasan baru yaitu Yayasan Darma Bakti Karya dan Ai Nurhidayat jadi ketua yayasannya.
Setahun kemudian diterapkan sekolah multikultur yang mendatangkan siswa dari hampir seluruh provinsi Indonesia mulai dari ujung barat hingga ujung timur.
“Baru pada tahun 2016, kami bikin sekolah multikultur. Semuanya gratis, tiket pesawat, tempat, makan dan minum sampai lulus,” kata Kang Ai.
Saat ini jumlah siswanya sebanyak 68 orang dari berbagai daerah. Pihaknya juga sedang mempersiapkan untuk jurusan perfilman dan penyiaran di sekolah tersebut. Karena multimedia masih terlalu luas cakupannya.
Yang menarik, sekolah ini melibatkan publik, informasinya seputar sekolah disebarkan semua ke publik. Apapun tentang sekolah itu ada di websitenya, mulai dari data siswanya, kurikulumnya, hasil karya-karya siswanya juga bisa diakses di websitenya.
“Semua aktivitas siswanya ada di website, ada juga yang di Youtube, sekarang kami sedang menyusun raport online dan karya-karya mereka juga terintegrasi di situ,” katanya.
Selain itu, untuk siswa baru sedang memprioritaskan pelajar dari Papua. Saat ini siswa yang dari Papu Barat sudah lebih 20 orang. Karena memang prioritasnya adalah Papua yang banyak sukunya, dari sisi akses pendidikan juga banyak tertinggal. Menurutnya, dari 60 juta orang usia sekolah itu, hanya 500 ribu orang yang berasal dari Papua.
“Jadi memang urgensinya tinggi, akhirnya kami prioritaskan Papua, Papua Barat, Maluku, NTT. Indonesia daerah timur lah pokoknya,” katanya.
Menenun Toleransi
Mengapa membuka kelas multikultural? Menurut Ai Nurhidayat, pemicunya banyak. Orang-orang Pangandaran itu sulit terhubung dengan daerah-daerah lain.
“Jadi relasi pertemanan itu sempit, sehingga kalau ditanya isu-isu nasional itu masa bodoh. Nggak ada sense of belonging,” katanya.
Bahkan sama daerah Cilacap aja jarang berjejaring. Menurutnya, tidak banyak cerita anak muda Pangandaran berteman dengan Cilacap. Sementara yang diinginkan adalah bisa berjejaring lintas daerah.

“Kami ingin membuka akses itu, dan ingin mengetahui Indonesia yang luas yang katanya beragam itu, yang katanya kaya akan budaya itu. Orang Pangandaran tak pernah tahu orang Papua,” katanya.
Walupun ada pariwisata, tetapi interaksi tidak ada. Karena ketiadaan ineteraksi ini, masyarakat malah lebih percaya pada media soal stigma-stigma orang lain dan itu kurang baik.
“Maka waktu itu, di kampung saya, tidak respek baget sama yang namanya China apalagi Kristen,” katanya.
“Pada tahun 1998, di sana (di Pangandaran, waktu itu masuk Kabupaten Ciamis) juga pernah ada konflik agama, dan itu belum terkonsiliasi dengan baik, jadi perang salib itu masih gentayangan di sana. Ditambah lagi doktrin keagamaan,” papar Kang Ai.
Pembiayaan Libatkan Publik
Adapun untuk pembiayaan SMK Bakti Karya yaitu melalui open publik dan kemitraan. Dari pemerintahan dapat juga tetapi tidak besar. Karena dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) yang diberikan menghitung per kepala siswa.
Kerena itu, pendanaanya mengandalkan donasi dari warga. Terlebih, kata Kang Ai, sekolah ini memang berupaya mengajak publik terlibat dalam pembelajaran di sekolah.
“Jika percaya bahwa peradaban ini bergantung pada pendidikan, maka pendidikan harus jalan. Sementara pemerintah tidak maksimal ngurus pendidikan. Kalau dibiarkan, peradaban ini tidak akan maju, lalu bagaimana?,” analisinya.
Menurut Kang Ai, ada satu cadangan kekuatan yang itu bisa dilibatkan ke sekolah, yaitu mereka yang kini merasakan manisnya pendidikan. Mereka yang hidupnya berubah karena pendidikan, tetapi kurang peduli selama ini.
“Jadi mereka yang sudah sukses ini, bisanya hanya bekerja, selesai. Padahal output dari sekolah itu akan menjadi tetangga mereka, rekan kerja mereka. Artinya, hasil sekolah ini juga akan dinikmati oleh publik,” katanya.
Untuk itu, mereka yang sudah lulus pendidikan ini ditarik ke sekolah. Baik datang ke sekolah sekedar untuk sharing, setahun sekali misalnya. Kalau tidak bisa, barangkali ada program apa saja yang bisa dikerjasamakan, kalau masih tidak bisa maka jadi donatur.
“Untuk donatur, kami dulu memulainya dengan Rp50 ribu perbulan, walaupun juga ada yang Rp25 ribu,” katanya.
“Tapi kalau masih tidak punya uang, bisa nyebarin konten edukasi, kalau masih tidak bisa ya minimal berdoalah,” pungkas dia.
Catatan ini adalah bagian dari program Jelajah Jawa-Bali, tentang Inspirasi dari Kelompok Kecil yang Memberi Arti oleh Tugu Media Group x PT Paragon Technology and Innovation. Program ini didukung oleh Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan (GWPP), Pondok Inspirasi, Genara Art, Rumah Wijaya, dan pemimpin.id.
Reporter: Herlianto. A
editor: jatmiko