Tugumalang.id – ‘September hitam’ merupakan sebutan untuk mengingat berbagai peristiwa kelam atau tragedi HAM yang terjadi di Indonesia di bulan September. Peristiwa kelam tersebut termasuk tragedi penculikan jenderal, kerusuhan, penembakan mahasiswa, pembunuhan berencana, hingga pembunuhan aktivis HAM Munir. Apa sajakah 4 tragedi tersebut? Berikut ulasannya.
1. G30S/PKI
G30S/PKI merupakan peristiwa penculikan dan pembunuhan 6 jenderal dan 1 letnan TNI AD yang terjadi 30 September 1965. Gerakan ini disebut-sebut didalangi oleh pemimpin terakhir PKI, Dipa Nusantara Aidit.
Tujuan pembunuhan itu didasari oleh keinginan untuk mengudeta pemerintahan Presiden Soekarno dan mendesak pergantian sistem pemerintahan.
Operasi penculikan dan pembunuhan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung ini dimulai menjelang pergantian hari. Letkol Untung bersama Pasukan Cakrabirawa menyusup dan menculik para jenderal di kediaman mereka. 3 jenderal yaitu Jenderal Ahmad Yani, Letnan Jenderal Mas Tirtodarmo Haryono, dan Mayor Jenderal Donald Isaac Pandjaitan dieksekusi langsung di kediaman mereka.
Sedangkan Letnan Jenderal Suprapto, Letnan Jenderal Siswondo Parman dan Mayor Jenderal Sutoyo diculik hidup-hidup kemudian dibunuh. Sementara Jenderal Abdul Harris Nasution berhasil lolos dari pasukan Cakrabirawa dengan cara melompat pagar rumahnya.
Sayangnya, anak bungsu Jenderal A. H. Nasution bernama Ade Irma Suryani Nasution yang kala itu masih berumur 5 tahun menjadi korban tertembak karena berusaha menjadi tameng ayahnya. Salah satu ajudannya, Letnan Satu Pierre Andreas Tendean, turut tewas dalam tragedi itu.

2. Tragedi Tanjung Priok
12 September 2022 yang baru berlalu kemarin merupakan peringatan 38 tahun terjadinya Tragedi Tanjung Priok. Tragedi ini terjadi di era pemerintahan Orde Baru pada tahun 1984, yang melibatkan massa Islam dengan aparat pemerintah.
Akar permasalahan tragedi ini bermula dari diterapkannya Pancasila sebagai asas tunggal negara sejak awal tahun 80-an. Jika tidak mematuhi, siapapun akan dianggap anti-Pancasila.
Dilansir dari Tempo.co, seorang ulama bernama Abdul Qadir Djaelani dan beberapa pemuka agama ditangkap karena dituduh kerap menyebarkan ceramah yang bertentangan dengan Pancasila.
Kemudian, pada 8 September 1984, dua Bintara Pembina Desa (Babinsa) itu mendatangi Mushola As-Sa’dah untuk mencabut pamflet yang dianggap berisik kritik dan kebencian pada pemerintah.
Namun, kedua Babinsa itu memasuki musala tanpa membuka sepatu dan menyiram tempat ibadah tersebut dengan air got. Hal itu menyulut amarah warga Islam, sehingga motor milik Babinsa tersebut dibakar. Warga semakin tidak terima dengan penangkapan 4 warga yang berniat melerai pertikaian antar dua kubu itu.
Dipimpin oleh Amir Biki, massa berjumlah 1.500 orang memulai demonstrasi ke Kodim dan Polres Jakarta Utara, menuntut agar 4 warga mereka dibebaskan. Namun, aparat keamanan tidak merespons baik demonstrasi massa Islam.
Mereka pun dikepung oleh aparat kepolisian maupun TNI dan ditembak membabi buta. Berdasarkan data Komnas HAM melalui KontraS, total 79 orang menjadi korban, di mana 23 orang tewas dan 55 orang mengalami luka-luka, sementara ratusan orang ditahan tanpa diproses sesuai hukum dan beberapa orang menghilang begitu saja.
Sampai detik ini, masih belum ada keadilan bagi korban dan keluarga yang ditinggalkan, karena 12 terdakwa atas tragedi kelam itu dinyatakan bebas setelah melalui proses kasasi.

3. Tragedi Semanggi II
Tragedi Semaggi II telah menggambarkan kebebasan berekspresi rakyat dan mahasiswa yang tidak diindahkan. Pada 24 September 1999, para mahasiswa, aktivis, buruh, dan masyarakat sipil di berbagai wilayah di Indonesia seperti Jakarta, Lampung, Medan, dan lainnya turun ke jalan.
Mereka melakukan protes terhadap DPR karena telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB). Hal ini ditentang karena regulasinya mengancam hak-hak rakyat.
Aksi demonstrasi ini berujung bentrok dengan aparat keamanan. Timah panas dilepaskan, gas air mata membumbung tinggi, dan pertumpahan darah terjadi. Dilaporkan dari KontraS, total 11 orang tewas dalam bentrok ini.
Mereka adalah Yap Yun Hap, mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Zainal Abidin, Teja Sukmana, M Nuh Ichsan, Salim Jumadoi, Fadly, Deny Julian, Yusuf Rizal, para mahasiswa dari Universitas Lampung, serta Saidatul Fitria dan Meyer Ardiansyah dari Universitas IBA Palembnag. Selain itu, 217 orang dilaporkan luka-luka dalam peristiwa tersebut.
Sebelumnya, tragedi ini sudah pernah terjadi setahun sebelumnya, disebut dengan nama ‘Tragedi Semanggi I’. Pada tanggal 11-13 November 1998, massa menggelar demonstrasi untuk memprotes BJ Habibie yang akan ditunjuk sebagai presiden ketiga.
BJ Habibie dianggap akan melanjutkan pemerintahan Orde Baru dari Presiden Soeharto. Sebanyak 17 orang tewas dan 109 orang lainnya luka-luka dalam tragedi ini.

4. Kasus Pembunuhan Aktivis HAM Munir
Berita menghebohkan mendera Indonesia pada tanggal 7 September 2004. Aktivis HAM Munir Said Thalib tewas diracun saat akan melanjutkan pendidikannya ke University of Utrecht, Belanda.
Pria kelahiran Batu, Malang ini diracun saat dalam perjalanan dari Jakarta menuju Amsterdam, Belanda menggunakan pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA-974.
Setelah pesawat transit di Singapura, Munir merasa mual dan sering bolak-balik ke toilet. Ia sempat diperiksa dokter, namun dua jam sebelum tiba di tujuannya, ia meninggal dunia sekitar pukul 08.10 waktu setempat. Munir tutup usia di umur 39 tahun.
Dua bulan kemudian, Kepolisian Belanda mengungkap kematian Munir karena diracun dengan senyawa arsenik dengan dosis fatal. Diduga, racun itu dimasukkan ke dalam makanan yang dilahap Munir. Hasil otopsi menunjukkan urin, darah, dan jantungnya mengandung arsenik dengan kadar normal.
Sementara itu, Pilot Garuda Indonesia, Pollycarpus Budihari Priyanto diduga kuat sebagai pelaku dibalik pembunuhan berencana Munir dan Deputi Badan Intelijen Negara (BIN) Muchdi Purwoprandjono sebagai otak dari pembunuhan berencana tersebut.
Pollycarpus dianggap terbukti melakukan pembunuhan berencana dan menggunakan dokumen palsu, dan dituntut hukuman penjara seumur hidup oleh jaksa penuntut umum di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 1 Desember 2005.
Kemudian pada 27 Maret 2006, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis Pollycarpus dengan hukuman 14 tahun penjara. Sedangkan Muchdi dibebaskan setelah terbukti tidak terlibat dalam kasus ini.

Reporter: Nurukhfi Mega Hapsari
Editor: Herlianto. A